Menteri Susi Minta Kepastian Hukum Pembudidaya Ikan Arapaima Gigas

Sabtu, 30 Juni 2018 | 21:57 WIB
0
720
Menteri Susi Minta Kepastian Hukum Pembudidaya Ikan Arapaima Gigas

Dua ikan Arapaima Gigas memasuki perairan Kali (Sungai) Surabaya, Jum’at (29/6/2018) pukul 15.00 WIB. Araipama terlihat mengapung/ngantang di daerah Lebaniwaras. Beberapa pemancing dan pemilik perahu penyeberangan melihat jelas dengan panjang lebih dari 1 m.

Pada Sabtu (30/6/2018) araipama mengejutkan pemancing di Desa/Kecamatan Wringinanom, Gresik. Slamet (30) warga Krajan, Wringinanom melihat araipama dan kemudian berusaha menjaring, namun lolos menuju ke hulu.

Slamet menceritakan, araipama muncul ke permukaan memakan ikan kutuk. “Saya lihat ikan besar memakan ikan kutuk, sambil gemeteran saya ambil jaring dan menjaringnya, namun ikannya lolos,” ungkap Slamet kepada Pepnews.com.

Lebih lanjut Slamet menceritakan bahwa ekor ikannya hitam pekat dan tubuh ikan memutih. Ecoton saat ini sedang menurunkan tim pemburu araipama untuk menangkap dan evakuasi. Sebelumnya, total jumlah ikan yang sudah ditemukan sebanyak 13 ekor arapaima.

“Sampai 28 Juni 2018 sore, total jumlah ikan yang sudah ditemukan sebanyak 13 ekor ikan arapaima,” ujar Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton kepada Pepnews.com. Atas temuan itu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bereaksi cepat.

Ikan Arapaima itu dilarang dibudidayakan di Indonesia. Susi meminta ada kepastian hukum untuk menjerat pihak yang membudidayakan ikan jenis predator tersebut. Ikan ini merupakan ikan monster Amazone pemangsa dan sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia.

Susi menyampaikan itu saat menggelar video conference terkait delapan ekor ikan Arapaima gigas yang dilepas ke Sungai Brantas, Jatim. Video conference dilakukan dari kediamannya di Pangandaran, Jabar bersama dengan Kepala BKIPM Jakarta dan BKIPM Surabaya, Kamis (28/6/2018).

“Konpers hari ini saya ingin menanggapi beberapa berita pelepasan Arapaima. Yang kedua, tentang keberhasilan kita mengamankan sumber daya, baik dari penyelundupan. dan lainnya," katanya dalam video conference yang dilihat dari kantor BKIPM di Gedung Mina Bahari II lantai 6, Jakarta Pusat.

Susi mengatakan, perlu ada sosialisasi terkait ikan Arapaima gigas yang aturannya dilarang berada di perairan Indonesia. Susi menekankan sosialisasi aturan ini sangat penting. “Saya melihatnya, saya rasa peristiwa ini harus disosialisasikan,” tegas Susi.

Karena banyak yang belum tahu dan mengapa tak bisa dilepas hidup di perairan Indonesia. “Ini sangat penting. Khawatirnya, orang yang hobi gini, yang punya memelihara, karena makannya rakus, tak sanggup beri makan, akhirnya dilepas di sungai,” ujar susi.

Susi juga meminta kepastian hukum untuk menjerat pihak yang membudidayakan ikan Arapaima. Sebab, jika tidak ada penindakan, dikhawatirkan bisa merusak ekosistem ikan lokal di perairan Indonesia.

“Ini yang harus dimengerti dan pasti tahu itu dilarang. Jadi semestinya penegakan hukum harus dilakukan. Tolong apa aturan yang bisa dipakai untuk menjerat karena, kalau tidak, ikan lokal bisa habis gara-gara ikan Arapaima,” tutur Susi.

Video conference ini diikuti Kepala BKIPM Rina dan Direktur Jenderal PSDKP Nilanto. Demikian dilansir Detik.com, Kamis (28/6/2018). Menindaklanjuti Menteri Susi itu, Kepala BKIPM mengeluarkan Surat Nomor : 636/BKIPM/VI/2018, 29 Juni 2018.

Dalam surat ditujukan kepada Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun/Wilayah Kerja KIPM di Seluruh Indonesia itu berisi tentang Larangan Pemasukan Jenis Ikan Berbahaya ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Larangan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41/PERMEN-KP/2014.

“Serta sebagai tindak lanjut terhadap upaya pencegahan penyhebaran ikan invasif di dalam wilayah NKRI, maka diinstruksikan kepada seluruh UPT dan Wilayah Kerja PKIPM agar melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan tersebut,” tulisnya.

Dan memberikan himbauan kepada masyarakat pemilik ikan berbahaya/invasif untuk dapat menyerahkan secara sukarela kepada UPT atau Wilayah Kerja BKIPM. Serta, membuka Posko Penyerahan Ikan Berbahaya/Invasif dari masyarakat terhitung mulai1-31 Juli 2018.

“Apabila sampai dengan batas waktu berakhirnya pembukaan Posko masih ditemukan jenis ikan berbahaya/invasif di masyarakat, agar dilakukan penindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tegas Rina.

Sebelumnya, hingga 28 Juni 2018 sore, Ecoton bersama nelayan sepanjang Sungai Brantas dan Porong menemukan 13 ekor ikan Arapaima Gigas. Jadi, “Total jumlah ikan arapaima yang sudah ditemukan sebanyak 13 ekor,” Rulli Mustika Adya, SH, MHum.

“Kami meminta Kepala Karantina Ikan Pengendalian Mutu (KIPM) dan Keamanan Hasil Perikanan yang notabene UPT-nya Badan KIPM Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mempidanakan pelepas ikan arapaima ke Brantas,” lanjut Advokat Ecoton itu.

Menurut Rulli Mustika, pelepasan ikan monster Amazone ini merupakan tindak pelanggaran hukum. Karena ikan arapaima ini juga dikategorikan ikan invasif yang dapat menimbulkan kerugian ekologi, sosial, dan ekonomi.

“Dalam Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2014 ikan arapaima gigas masuk jenis ikan yang berbahaya yang bisa merugikan dan membahayakan kelestarian sumberdaya ikan, lingkungan, dan manusia,” ungkap Rulli Mustika kepada Pepnews.com.

Merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 94 Tahun 2016, sanksi pelaku yang memasukkan ikan ini ke alam Indonesia sebesar Rp 1,5 miliar. Ecoton bersama masyarakat di Sungai Brantas sejak 2000 telah melakukan upaya konservasi dan perlindungan ikan Sungai Brantas.

“Dengan adanya arapaima membuat aktivis lingkungan Ecoton getem-getem. Kami telah berupaya untuk merehabilitasi brantas agar kembali menjadi habitat bagi 25 spesies ikan asli Brantas seperti rengkik, jendil, papar, palung, dan keting,” lanjut Rulli Mustika.

Dan, untuk niatan itu Ecoton membangun kawasan suaka ikan, sebuah kawasan yang sehat dan mendukung berkembang biaknya ikan. Pelepasan arapaima jelas menghancurkan mimpi indah Ecoton.

Dampak Ekologis

Bolivia Utara mengalami penurunan populasi ikan asli akibat lepasnya Arapaima, termasuk jenis ikan asli bernilai ekonomis tinggi. Peristiwa yang terjadi di Bolivia itu menunjukkan besarnya ancaman lepasnya Arapaima ke perairan terbuka, sehingga menyebabkan penurunan tangkapan nelayan.

Cenderung piscivorus atau pemakan ikan lainnya. Arapaima dalam tangkapan mengkonsumsi > 8% dari biomas/hari. Arapaima yang dilepaskan di Sungai Brantas memiliki berat berkisar antara 20 – 40 kg, maka rata-rata konsumsinya > 2,4 kg/ikan/hari.

“Arapaima mengambil nafas dengan muncul ke permukaan (air breather), sehingga pada kondisi sungai/perairan yang kurang oksigen (DO < 2 ppm) bisa tetap hidup,” ungkap Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton kepada Pepnews.com.

Suhu air yang paling baik untuk pertumbuhan Arapaima antara 24 – 31ºC . Suhu air Sungai Brantas berkisar antara 27 – 31ºC, sehingga memberikan kondisi lingkungan yang tepat untuk tumbuh dan berkembangbiak.

Usia minimum untuk matang gonad/siap memijah berkisar antara 3 – 5 tahun (Arantes et al., 2010). Ukuran minimum untuk memijah berkisar antara 115 – 127 cm (jantan) dan 145 – 154 cm (betina).

“Berdasarkan pengakuan pemilik bahwa ikan yang dimiliki berusia > 8 tahun, sehingga telah memenuhi batas usia, panjang dan berat minimum untuk bisa melakukan pemijahan,” lanjut Prigi Arisandi.

Betina bertelur antara 11,700 – 25,600 dan jantan yang akan menjaga telur dan juvenile/anak ikan, sehingga membuat tingkat ketahanan hidup (survival rate) meningkat. Dan, arapaima merupakan spesies yang memiliki kemampuan untuk berkolonisasi/beradaptasi dengan baik

“Ditambah lagi dengan tidak adanya predator, membuat spesies ikan arapaima ini dengan cepat berkembangbiak dan menjadi ancaman bagi spesies asli,” tutur alumni Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya itu.

***