"Jangan bawa-bawa agama ke dalam Politik!"
Pastinya kata-kata di atas seringkali dan berulangkali mulai ramai terdengar menjelang Pemilihan Kepala Daerah, misalnya Pilkada serentak esok lusa.
Lucunya tuduhan politisasi agama biasanya hanya selalu menunjuk ke Umat Islam.
Strategi dan fitnah ini biasanya terjadi untuk pemilihan-pemilihan Kepala Daerah di wilayah mayoritas muslim tapi ada Calon Kepala Daerah Non Muslim.
Misalnya di Pilgub DKI yang lalu, ketika 83 persen umat Islam di Jakarta disodorkan Ahok.
Suara-suara yang didanai para cukong dengan memanfaatkan kaum sekuler anti Tuhan pun aktif berusaha menjauhkan agama dari politik, bahkan Ahok sendiri sampai ikut campur-tangan dengan menista Al-Quran.
Ketika akhirnya Anies Baswedan memenangkan pertarungan, sampai sekarang mereka dituduh menang dengan menjual ayat dan mayat. Tuduhan yang lucu, karena Faktanya yang seagama dengan Ahok justru solid hampir 90 persen memilih pasangan Ahok-Djarot. Jadi siapa yang menjual ayat, ya?
Menjadi semakin lucu karena tuduhan menjual mayat berasal dari penolakan segelintir umat Islam men-sholatkan jenazah pendukung Ahok yang dianggap menista Al-Quran. Bukannya sebagian besar pendukung dan pemilih Ahok dari kalangan Islam juga. Apakah Muslim pemilih Ahok termasuk Anggota Banser, Pengurus Partai Ka'bah, PKB dan lain-lainnya tidak pandai sholat jenazah?
Atau diam-diam di hati yang paling dalam mereka meyakini hanya muslim kader PKS, PAN dan Gerindra yang sholat jenazahnya bisa diterima Yang Maha Kuasa.
Entahlah, tapi sampai sekarang Umat Islam di Jakarta masih dianggap umat paling Intoleran. Sebaliknya, andai saja mereka memenangkan Ahok, akan dianggap sangat toleran.
Kasus yang sama sekarang juga terjadi di Sumatera Utara di mana Umat Islam ada sekitar 64 persen dan kebetulan salah satu kandidatnya adalah calon yang kalah dari Jakarta.
Himbauan-himbauan jangan membawa-bawa agama kedalam politik berulang-kali disampaikan pihak-pihak yang merasa keberatan karena sadar mereka sudah hampir kalah seperti di Pilkada Jakarta dan mencoba mempengaruhi para pemilih yang selama ini menjadikan agama hanya sebagai pelengkap identitas di KTP.
Menariknya sama seperti di Jakarta, di Pilgub Sumut juga saya yakin suara pemilih non muslim akan solid mendukung salah satu calon tetapi tetap saja umat Islam yang akan dituduh mempolitisasi agama. Kalau tidak percaya, tinggal kita buktikan nanti perolehan suara di wilayah-wilayah seputaran Danau Toba.
Lebih luar biasa adalah Pilgub Kalimantan Barat. Daerah bekas Kesultanan Melayu Pontianak ini umat Islamnya hampir 60 persen tapi sudah dua periode dipimpin Gubernur Non Muslim.
Bahkan di Pilkada Serentak besok lusa dari tiga pasangan Cagub/Cawagub, ada dua Cagub Non Muslim dan dua Cawagub Non Muslim.
[irp posts="7846" name="Torpedo Politik Maut Pilkada Sumut"]
Artinya hanya satu Cagub Muslim dan dua cawagub Muslim dari wilayah yang umat Islamnya Mayoritas.
Apakah ada masalah?, tidak...!!!
Karena Umat Islam Indonesia dimana-mana taat konstitusi dan sudah tamat nilai-nilai Demokrasi.
Makanya saya berulangkali sampaikan bahwa Umat Islam di Indonesia ini terlepas dari segala macam fitnah tapi sudah khatam dengan nilai-nilai Demokrasi.
Saya bisa sebutkan banyak daerah-daerah mayoritas muslim tapi Kepala Daerahnya mulai dari Bupati/Walikota sampai Gubernur yang terpilih Non Muslim. Misalnya Jakarta, Solo, Belitung Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Tapi apakah mungkin seorang muslim akan menjadi Kepala Daerah di Sulawesi Utara, NTT, Bali dan Papua?
Menurut saya tidak mungkin.
Jangankan seorang muslim, sefanatik-fanatiknya Ahoker dari Bali, saya jamin tidak akan mungkin memilih Ahok dan memenangkan Pilkada di Pulau Dewata.
Bahkan segelap-gelap matanya Orang Papua yang membela Ahok, mustahil Ahok jadi Gubernur di Papua.
Tapi kenapa selalu umat Islam yang dituduh Intoleran? Silahkan tanya rumput yang bergoyang.
Sampai sekarang saya berpendapat, politisasi agama termasuk memilih berdasarkan tuntunan agama adalah sah secara Konstitusi!
Nilai-nilai Demokrasi harus dituntun oleh Ajaran Agama yang berlandaskan Ketuhanan.
Justru Demokrasi termasuk memilih Kepala Daerah yang mengenyampingkan tuntunan Kitab Suci sangat berbahaya.
Kalau tidak di tuntun oleh Firman Tuhan, berarti di tuntun oleh bisikan Setan.
Pilihannya tuntunan Tuhan atau ajakan Setan, sederhana, bukan?
Hanya saya juga sepakat, melarang orang lain memilih yang tidak seiman termasuk pelanggaran nilai-nilai Demokrasi. Sama jahatnya dengan nyinyir atau mencibir orang lain yang memilih karena kesamaan iman.
Memilih karena kesamaan iman, silahkan. Memilih yang berbeda iman juga tidak dilarang. Inilah nilai Demokrasi yang sesungguhnya.
Paling berbahaya dan seringkali menjadi luput dari perhatian kita semua adalah praktek suap-menyuap dan jual-beli suara rakyat. Termasuk "serangan fajar" yang biasa dilakukan para Timses kandidat Calon Kepala Daerah. Mulai dari bingkisan berisi beras dan Indomie sampai lembaran-lembaran Rupiah.
Bahkan di Pilgub DKI yang lalu tidak cukup beras, sapi juga ikut diamankan.
Sayangnya praktek-praktek busuk yang menodai pesta Demokrasi ini tertutupi karena masyarakat kita lebih tertarik dengan isu-isu politisasi agama yang sengaja dihembuskan oleh cukong-cukong politik yang tidak bertuhan.
Terakhir, menurut saya politik identitas termasuk politisasi agama adalah sah karena tidak melanggar nilai-nilai demokrasi.
Justru suara-suara yang nyinyir terhadap politisasi agama adalah suara-suara kemunafikan dari para penyembah setan.
Jangankan Papua yang secara Undang-undang otsus-nya mewajibkan syarat Putra Papua Asli (ras melanesia) yang jadi Kepala Daerah di sana, Bali saja tidak mungkin Gubernurnya berasal dari kalangan Non Hindu.
Bahkan Jawa Timur saja tidak mungkin Kepala Daerahnya non-NU.
Lucunya mereka-mereka dan sebagian orang-orang NU selalu merasa mewakili Muslim paling Demokratis sedunia. Eh, lupa... saya juga NU karena Qunutan dan maulidan.
Selamat berpesta Demokrasi kawan-kawan.
Jangan takut dituduh jualan ayat Tuhan karena mengajak dan memilih Calon Kepala Daerah yang seiman. Karena yakinlah, si penuduh adalah Hamba Setan yang pastinya anti dengan ayat-ayat Tuhan.
Jadi kenapa heran...?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews