5 Alasan Radikalisme Tumbuh Subur di Perguruan Tinggi

Senin, 18 Juni 2018 | 09:36 WIB
0
665
5 Alasan Radikalisme Tumbuh Subur di Perguruan Tinggi

Mengapa radikalisme belakangan justru tumbuh di perguruan tinggi yang seharusnya tempatnya berpikir logis, rasional dan objektif? Gejala apakah ini?

Beberapa hal bisa dijelaskan:

Pertama, saluran aspirasi dan ekspresi keberagamaan yang bebas dan terbuka kian menyempit dan terhambat. Semakin menyempit dan terhambat, maka saluran-saluran itu akan mencari bentuk-bentuk ekspresi yang lain, bisa sebagai bentuk gugatan bahkan perlawanan.

Kedua, perguruan tinggi atau kampus sejatinya adalah media bebas menyatakan pendapat, di dalamnya ada kebebasan mimbar akademik, tempat berdiskusi dan debat secara terbuka dengan pendekatan logis, rasional dan ilmiah. Tidak ada yang haram dan dilarang di kampus, yang ada adalah argumen.

Ketika ini semua dihambat oleh aturan, birokrasi dan kekuasaan, kebebasan akan berubah menjadi ketertutupan, akademik berubah menjadi politik, inklusifisme akan berubah menjadi eksklusifisme, moderatisme akan menjadi radikalisme.

Ketiga, kegagalan perguruan tinggi yang belakangan ini semakin birokratis-administratif. Dosen-dosen diarahkan bukan pada keberhasilan pendidikan membentuk kesadaran dan sikap mental mahasiswa tapi sibuk diarahkan pada urusan teknis administrasi penulisan jurnal-jurnal ilmiah yang spesifik dan tak berhubungan dengan masyarakat.

Dosen berprestasi adalah yang banyak menulis dijurnal, ukuran karya ilmiah yang bagus bukan pada produksi ide-ide baru, pemikiran-pemikiran alternatif, pengembangan ilmu dan manfaat ilmu buat kehidupan tapi jumlah kutipan atau sitasi. Paling banyak kutipannya disebut dosen berpengaruh dan berprestasi.

Lingkungan akademikpun kehilangan daya kritisnya, semua turut gembira, melimpah ucapan selamat dan kebanggaan atas banyaknya kutipan, padahal selain bisa direkayasa, selama ini sitasi terbanyak didapatkan dari buku-buku untuk mahasiswa bukan dari tulisan-tulisan jurnal yang eksklusif.

Perguruan tinggi yang makin serba administratif akan kehilangan orientasi dan manfaat ilmunya. Salah satu dampaknya yang membuat heboh, Google membuka calon karyawannya dengan mengabaikan ijazah tapi murni keahliannya. Ini dianggap menampar profesionalisme yang selama ini dibangun perguruan tinggi. This is the end of university.

Keempat, perguruan tinggi Islam tidak mampu memberikan tawaran sekaligus jawaban atas persoalan yang berkembang. Mahasiswa lebih tertarik dengan tawaran keberislaman di luar kampus ketimbang di dalam kampus.

Wajar karena di perguruan tinggi, Islam hanya sebagai objek studi (makalah, diskusi, penelitian) tidak menggairahkan rasa keberagamaan yang disebut ghirah. Ghirah keagamaan itu tumbuh dan diberikan oleh pengajian-pengajian, oleh masjid-masjid termasuk masjid kampus.

Kelima, pengaruh tren radikalisme global ke Indonesia yang diciptakan oleh konflik-konflik ideologi besar: Islam, Barat, demokrasi, sekularisme, kapitalisme, khilafah dll. Radikalisme global ini baik yang ciptaan, rekayasa atau yang asli.

***