Seluk Beluk Kerakusan dan Bagaimana Mengatasinya

Minggu, 17 Juni 2018 | 23:46 WIB
0
1070
Seluk Beluk Kerakusan dan Bagaimana Mengatasinya

Rasa rakus itu merongrong dari dalam. Ia selalu ingin lebih, daripada apa yang ada. Tak ada batas dari keinginan tersebut. Kenikmatan apapun, baik dalam bentuk makanan, nama besar, uang, barang, maupun seks, tak akan pernah bisa memuaskan.

Rasa rakus ingin mengumpulkan barang-barang mewah. Untuk itu, ia butuh uang. Orang pun didorong untuk melakukan beragam cara, guna memuaskan rasa rakus yang bercokol di dalam dirinya.

Tak heran, banyak orang kaya tetap saja menjadi maling, supaya ia bisa mendapat uang lebih banyak, dan mengumpulkan lebih banyak harta benda yang, sebenarnya, tak ia butuhkan.

Rasa rakus tak hanya soal harta atau nama besar. Ada juga rasa rakus spiritual. Orang menekuni jalan-jalan spiritual untuk memenuhi kekosongan di dalam dirinya.

Banyak yang terjebak ke dalam sekte-sekte sesat yang justru semakin mengobarkan hasrat kerakusan. Banyak pula yang terjebak ke dalam radikalisme agama, dan bahkan menjadi teroris yang menciptakan penderitaan bagi banyak orang.

Rasa rakus juga bermata dua. Ia merusak kedamaian hati orang, dan membuatnya terjebak di dalam penderitaan. Ia juga merugikan orang lain, terutama orang yang terinjak hak-haknya oleh kerakusan orang lain. Orang yang tenggelam dalam kerakusan pasti hidup dalam penderitaan.

Akar Kerakusan

Apa akar dari rasa rakus? Ia lahir dari rasa hampa di dalam diri manusia. Manusia modern, seperti sedikit disinggung pemikir Prancis, Jacques Lacan, memang adalah subyek yang selalu kurang. Ia selalu mencari sesuatu, tanpa pernah sungguh menemukan. Rasa hampa ini berakar pada sesuatu yang lebih mendasar, yakni kesalahpahaman tentang diri sendiri.

Orang mengira, dirinya adalah pikirannya. Lalu, mereka akan menganalisis segala sesuatu dengan logika dan rasionalitas. Ini akan bermuara pada kehampaan batin yang berujung pada banyak hal, mulai dari kerakusan sampai dengan bunuh diri. Logika dan rasionalitas berguna untuk hidup, jika mereka digunakan pada tempatnya, dan bukan untuk memahami keseluruhan kehidupan.

Rasa rakus juga muncul di dalam keinginan untuk memahami segala sesuatu dengan logika. Inilah bentuk rasa rakus yang begitu halus, sehingga kerap tak terlihat.

Memahami berarti mengenggam sesuatu dengan konsep. Padahal, hidup terlalu luas dan beragam untuk bisa digenggam dengan logika. Kerakusan untuk memahami akan berakhir dengan penderitaan.

Keinginan untuk mengontrol juga sebenarnya adalah sebentuk rasa rakus. Orang ingin semuanya berjalan sesuai rencana. Ketika ada perubahan mendadak, kemarahan dan penderitaan muncul seketika. Ini akan terus berlangsung, sampai orang sungguh sadar, bahwa hidup terlalu luas dan bebas untuk bisa dikontrol oleh kekuatan manusia.

Pengaruh keluarga dan masyarakat juga besar. Orang tua yang rakus akan mengajarkan kerakusan pada anak-anaknya. Penguasa politik yang rakus akan mengajarkan kerakusan pada rakyatnya. Yang lebih parah, pemuka agama yang rakus justru akan meracuni pikiran umat agamanya.

Melampaui Kerakusan

Untuk mengatasi rasa rakus yang bercokol di dalam diri, orang perlu memahami jati dirinya yang asli. Rasa hampa di dalam diri, sebenarnya, adalah ilusi. Ia datang dan pergi seperti asap, serta tak memiliki isi yang tetap. Pemahaman ini datang dari spiritualitas yang sejati, dan bukan dari agama yang kerap kali dibebani kepentingan politik yang busuk. Dengan memahami jati dirinya yang asli, rasa rakus akan secara alami pergi, dan tak akan kembali.

Keteladanan juga amat penting di dalam membasmi kerakusan. Orang tua dan tokoh masyarakat perlu memberi contoh tentang hidup yang bersahaja dan bijak. Harta benda digunakan seperlunya, dan tak berlebihan, apalagi untuk pamer dan menciptakan rasa iri hati. Hanya dengan begini, kerakusan tidak lagi menjadi masalah yang mendorong lahirnya korupsi, dan berbagai masalah sosial lainnya.

Rasa rakus yang halus, seperti ingin memahami dan mengontrol segala sesuatu dengan kekuatan akal budi, juga perlu dilampaui. Ia hanya bisa dilampaui dengan “melepas”.

Orang hidup, melakukan apa yang ia perlu lakukan, sambil “melepas” apa yang tak bisa ia pahami dan kontrol dengan kekuatannya yang terbatas. Ada secercah kedamaian di dalam melepas. Itulah setitik kebebasan di dalam hidup yang tak sepenuhnya bisa dipahami.

***