Menjelaskan Terorisme dari Sudut Keyakinan

Jumat, 15 Juni 2018 | 22:54 WIB
0
768
Menjelaskan Terorisme dari Sudut Keyakinan

Terorisme bisa dijelaskan dari berbagai sisi. Secara perbuatan adalah kejahatan, secara agama adalah paham radikal dan penyimpangan, secara psikologis adalah ungkapan rasa marah, dendam dan perlawanan, secara politik adalah perebutan pengaruh dan kekuasaan, secara bisnis adalah proyek, secara global adalah jaringan internasional dan konspirasi dst. Semuanya benar karena semua sisi itu memang ada.

Saya akan menjelaskan dari sisi yang jarang diungkapkan: aspek keyakinan. Terlepas dari keyakinan itu salah atau benar, terlepas juga para teroris itu berdasar keyakinan atau bukan. Tapi jelas keyakinan itu ada. Saya akan menjelaskan bukan akan menilai. Penjelasan ini mudah-mudahan menambah wawasan bagi yang tak terpikirkan kesitu.

Melihat "aspek dalam" (inner reality) yaitu fungsi keyakinan dalam diri manusia adalah penting untuk mengetahui bagaimana aspek ini bisa membuat seseorang jadi teroris, jadi mujahid, jadi pejuang atau pahlawan. Sebutan-sebutan itu adalah penilaian luar, tapi "realitas dalam"-nya sama: Dahsyatnya keyakinan.

Kalau keyakinan agama sudah merasuk ke dalam jiwa dan memenuhi hati seseorang, tak ada sesuatu pun yang ditakutinya kecuali Tuhan atau kebenaran yang diyakininya. Kalau keyakinan sudah bulat, manusia semuanya akan dianggap kecil.

Ketika seseorang berjuang sepenuh keyakinannya, sakit seperih apapun tak akan dirasakan, tak ada ketakutan istri dan anaknya akan kelaparan ketika ditinggalkan, jihad dicita-citakan, darah siap dimuncratkan, kepala siap diledakkan, kematian jadi keindahan, surga jadi buruan dan yang didamba hanyalah Tuhan yang akan memberikan sejatinya kebahagiaan.

Keyakinan seperti inilah ketika para sahabat berebut mati di medan jihad bersama Nabi, keyakinan seperti inilah ketika para sahabat berebut kepala orang-orang kafir dalam perang Badar: "Ya Rasulullah, dia bagianku." Keyakinan seperti inilah ketika Bilal bin Rabbah tegar menahan tindihan batu besar di tubuhnya dan hanya berdzikir: "Ahad. Ahad, ahaad ..."

Keyakinan seperti inilah ketika Sumayyah binti Khayyat, istrinya Ammar bin Yasir ditusuk kemaluannya oleh orang kafir agar ia tidak megikuti Muhammad SAW. Keyakinan mereka tidak goyah dan Nabi menjanjikannya surga. Bagi kalangan pembesar kafir Quraisy saat itu: "Betapa bodoh, sesat dan hilang akal pikiran para pengikut Muhammad yang gila itu."

Di kalangan para sufi, keyakinan seperti inilah ketika Abu Mansur Al-Hallaj mulutnya berucap aneh: "Ana al-Haq" (Akulah Sang Kebenaran). Keyakinanya pulalah yang membuatnya kemudian rela menerima kematiannya di tiang gantung.

Keyakinan seperti inilah ketika Syekh Lemah Abang alias Siti Jenar mulutnya berucap aneh di dalam kamar ketika dia ditanya untuk dijemput, adakah Lemah Abang di dalam? Dia menjawab: "Tidak ada Lemah Abang disinii ... yang ada hanyalah Allaah ..." Keyakinanya pulalah yang membuat Siti Jenar tersenyum dihukum mati oleh parawali.

Keyakinan seperti ini pulalah ketika seorang ulama bernama Abdul Hamid alias Raden Mas Antowiryo alias Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830). Keyakinan seperti inilah ketika seorang perempuan bernama Tjut Nyak Dien hidup menderita bertahun-tahun di dalam hutan memimpin Perang Aceh hingga ditangkapnya dan dibuang ke Sumedang.

Keyakinan seperti inilah ketika para ulama Nusantara mengobarkan peperangan memimpin pemberontakan kepada Kolonial Belanda sebelum kemerdekaan. Keyakinan seperti inilah ketika KH. Zainal Mustafa Sukamanah menahan sakitnya siksaan ketika jari-jari kakinya ditindih meja dan kuku-kukunya dicabut oleh tentara Jepang usai melakukan pemberontakan di Tasikmalaya tahun 1944.

Dan keyakinan seperti ini pulalah ketika teroris bunuh diri meledakkan kepalanya, merobekkan tubuhnya dan meluluhlantakkan isi perutnya demi memperjuangkan apa yang menjadi keyakinannya dan yang ada dalam alam pikirannya. Bayangan surga karena membela agama seperti yang diajarkan Nabi telah memenuhi relung keyakinan dan jiwanya. Mengejar mati malah jadi kenikmatan.

Keyakinan sangat subjektif dan irasional alias tak masuk akal, makanya yang memakai pikiran untuk memahaminya tak akan paham bagaimana orang mengekspresikannya diluar akal sehat, diluar common sense, bagaimana nyawa dan kematian begitu mudah disuguhkan. Oleh pikiran, bukankah lebih enak hidup damai, tenang dan senang?

Keyakinan yang diwujudkan menjadi gerakan radikal, menjadi positif atau negatif tergantung perspektif yang menilainya. Para ulama yang mengorbankan nyawa dalam peperangan zaman kolonial disebut "pemberontak" oleh pemerintah Belanda dan disebut "pahlawan" oleh kita. Mereka yang melawan hegemoni Barat dengan bom bunuh diri disebut "teroris" oleh Barat, oleh pemerintah dan oleh kita, disebut "mujahid" oleh komunitas dan kelompoknya.

Seharusnya para teroris itu tak mengorbankan nyawa orang-orang yang tak berdosa. Cukup mereka saja yang mati meregang nyawa. Ini pikiran. Kalau pikiran mudah dipatahkan dengan pikiran lagi.

Misalnya, dalam sebuah kuliah tentang terorisme di Amerika, ketika Islam diidentikkan dengan terorisme oleh mahasiswa Amerika pasca peristiwa 9/11, seorang mahasiswa Irak dengan geram mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa Amerika itu yang membuatnya terdiam: "Berapa ratus ribu korban nyawa anak-anak dan perempuan tak berdosa di Palestina, di Afghanistan, di Irak, di Chechnya? Berapa ribu Muslim Bosnia Herzegovina dibantai dan diperkosa oleh tentara Sebia dan belakangan ribuan Muslim Rohingya di Myanmar?"

Itulah kalau memahami terorisme hanya dengan pikiran. Mudah dipatahkan karena hanya tinggal adu argumen dan data. Keyakinan bekerja secara berbeda.

Dalam alam pikiran yang merasa sedang berperang, di mana kebenaran subjektifnya sudah bulat berdasarkan akumulasi pengetahuan dan informasi yang sudah dikuasainya, keyakinan kemudian bekerja dengan caranya sendiri. Bisa bunuh diri, meledakkan kepala atau mengorbankan keluarga yang pikiran tak bisa memahaminya.

Nabi SAW sendiri berucap: "Tak beriman seorang di antara kamu sebelum aku lebih dicintai melebihi orang tuanya." Bagaimana kita harus lebih mencintai orang lain melebihi ibu kita sendiri? Itulah keyakinan.

Apakah akar-akar yang menumbuhsuburkan keyakinan radikal? Fakta-fakta sosial: Kekecewaan atas ketidakdilan, kewenang-wenangan, penindasan, standar ganda, kacaunya kehidupan karena dikuasai oleh keburukan, dimusuhinya ajaran agama dll yang kemudian bersenyawa dengan keyakinan.

Semua itu adalah lahan-lahan subur bagi tumbuhnya keyakinan-keyakinan dahsyat yang bisa berubah menjadi kekerasan.

Bagaimana menghentikan keyakinan radikal yang bisa mewujud dalam tindakan? Para ulama radikal dulu di Nusantara hanya berhenti memberontak ketika Belanda sudah angkat kaki, kalah atau Indonesia merdeka. Artinya, akarnya atau penyebab pemberontakan, yaitu penjajahan, dihilangkan.

Sekarang? Akar-akar itu sudah menglobal, makin luas, makin masif dan makin hegemonik dan berkaitan antar bangsa. Ketidakadilan, kesewenang-wenangan, penguasaan, kerakusan, penindasan dan kejahatan sudah mengkonspirasi antar negara, untuk menguasai suatu bangsa oleh bangsa yang lain: Narkoba, antar bangsa; pornografi, antar bangsa; ketidakadilan sosial-ekonomi, antar bangsa, pemusuhan kepada aspirasi agama, antar bangsa, dst.

Sumber utamanya? Sesuatu yang alamiah ada sejak zaman purba: Kerakusan manusia. Dalam konteks ini, terorisme bisa jadi adalah respon atas itu semua. Terorisme adalah gerakan perlawanan ketidakberdayaan atas ketidakadilan berdasarkan keyakinan dalam bentuk agresi menyerang dan mengorbankan diri.

Jadi kapan terorisme akan berakhir? Ebiet G. Ade dulu sudah memberikan jawabannya yang bagus: "Coba bertanya pada rumput yang bergoyang."

***