Kisah Sufi: Kearifan Tertinggi Dipungut al-Ghazali dari Perampok

Minggu, 10 Juni 2018 | 11:24 WIB
0
1433
Kisah Sufi: Kearifan Tertinggi Dipungut al-Ghazali dari Perampok

Imam al-Ghazali adalah seorang ulama Sunni paling masyhur yang bergelar Hujjatul Islam (Argumen Islam). Ia berasal dari Thus, sebuah kampung di dekat kota Mashad (Iran saat ini).

Sebagaimana ulama pada zamannya, ia kerap bepergian ke kota Nishapur yang merupakan pusat ilmu di abad ke-5 Hijriah. Kepergian al-Ghazali ke Nishapur dan juga Jurjan, tiada lain adalah untuk berjumpa ulama-ulama beken di zaman itu, demi menuntut ilmu dan kemuliaan.

Dan salah satu cara belajar favorit al-Ghazali di masa itu adalah dengan mencatat semua hal yang dia dengar dari gurunya. Akibatnya, dia menimbun banyak sekali manuskrip dan catatan pelajaran.

Tatkala dia ingin mudik ke kampung halamannya, al-Ghazali memasukkan semua manuskrip dan catatan itu ke dalam kopor lalu menumpang kafilah yang akan berangkat ke kampung Thus.

Malangnya, di tengah perjalanan kafilah itu dicegat oleh kawanan perampok yang ingin mendapat hal-hal berharga. Semua barang berharga mereka jarah. Tiba giliran al-Ghazali, dia bermohon sekali agar para perampok itu tidak mengambil barang bawannya.

Para perampok itu pun curiga dan mengira bahwa al-Ghazali membawa barang-barang mewah. Sekali kopor dibuka, yang ditemukan tak lebih dari setumpuk manuskrip dan catatan pelajaran tak berguna.

Demi menjumpai tumpukan manuskrip itu, si perampok bertanya: "Apa isi manuskrip ini, dan apa faidahnya buat kamu?" al-Ghazali menjawab: "Itu hanya barang-barang yang berharga bagiku dan nir-faidah bagi kalian."

"Apa pula faidah kertas-kertas hina ini bagimu?" kata perampok. "Itu adalah catatan ilmu yang kudapat dari para guruku. Kalau kau ambil, ilmu dan jernih payahku akan hilang sia-sia," jawab al-Ghazali.

"Apakah benar semua yang kau tahu ada di catatan-catatan ini?" tanya perampok. "Ya, tolonglah jangan dicuri," bujuk al-Ghazali.

"Hm, ketahuilah wahai penuntut ilmu, ilmu yang hilang karena dicuri sesungguhnya bukanlah ilmu!" petuah para perampok itu sambil berlalu.

Demi mendengar itu, al-Ghazali pun terkejut dan mulai merenungkan ulang caranya dalam menuntut ilmu.

Selama ini dia hanya bersikap seperti beo yang meniru apa-apa yang didiktekan padanya. Sejak peristiwa itu, dia mengubah cara belajar.

Al-Ghazali mulai menggunakan metode penalaran sembari menghafal hal-hal penting yang ia dengar. Ia mulai menyusun daftar pelajaran dan persoalan yang terbetik di benaknya untuk kemudian dia analisis dan cari jawabannya.

Begitu dalam peristiwa itu membekas di diri al-Ghazali, sampai-sampai ia sempat berkata:

"Nasihat terbaik yang sempat kudengar dan langsung memicu pencerahan terhadap pikiranku adalah nasihat yang kudapat dari kawanan perampok itu!"

***

Novriantoni Kahar

Dikutip dari kitab Qishash al-Abrar (Kisah Orang-Orang Baik), karya Murtadha Mutahhari, halaman 40-42.