Pohon Plastik Seharga Rp2,2 Miliar, bahkan ada yang bilang Rp8 miliar? Ya, ini nyata!
Pohon plastik yang lagi heboh dicemooh sepanjang hari ini merupakan salah satu contoh betapa kita ini memiliki duet gubernur dan wakil gubernur yang kalau orang Betawi bilang "kerja tapi gak tau mau ngapain".
Dua orang itu melakukan sesuatu tapi tidak tahu harus berbuat apa. Alias tidak punya visi dan misi bagaimana melanjutkan pembangun ibukota. Alih-alih meneruskan apa-apa yang sudah baik yang diwariskan Jokowi-Ahok-Djarot dan membenahi yang terasa masih tertinggal dari kota-kota metropolitan dunia lainnya, duet ini malah bekerja sebaliknya.
Tanah Abang kembali semrawut dipenuhi pedagang kaki lima yang menggelar lapaknya di mana-mana. Jalan protokol Sudirman - Thamrin kembali diramaikan motor yang sering berjalan zig zag dan contra flow seenaknya. Sistem parkir yang modern kembali ke zaman manual lewat tangan preman.
Sementara Ibukota butuh gairah menyambut perhelatan akbar pesta olahraga antar negara-negara Asia tapi seperti tak ada program-program yang dibuat keduanya. Promosi Asian Games 2018 ramai hanya pada hari Minggu, saat hari bebas kendara, itu pun dikerjakan tim kerja promosi INASGOC.
Pemprov sepertinya tak menganggap penting event internasional ini dan memilih tidur pulas daripada bikin keriaan yang heboh menyambut Asian Games di seluruh pelosok ibukota yang melibatkan seluruh warga.
Justru keduanya sibuk dengan agenda masing-masing. Gubernurnya jalan-jalan piknik melulu. Mengejar idola para pemujanya untuk foto bareng setelah lama menunggu di pinggir jalan atau beraudiensi dengan staf perwakilan kantor walikota di negara tempat dia kuliah dulu.
Sementara wakilnya sibuk mencari jodoh buat majikannya yang kembali mau ikutan kontestasi tahun depan. Yang lebih lucu dia sok-sokan menilai kinerja Presiden Jokowi kayak dia berbuat sesuatu yang sudah terbukti saja. Dan dia asal ngomong menyamakan Jokowi yang lagi memerangi korupsi dengan pemimpin negeri jiran yang jatuh karena korupsi. Kayaknya bagian terpenting tubuhnya perlu di-scan MRI di RSUD Pasar Minggu yang jadi megah dan modern hasil kerjaan Ahok.
Kita bingung lihat dua orang lulusan Amerika ini. Kita kira lulusan Amerika itu pasti keren. Pasti modern. Pasti top. Pasti berpikiran jauh lebih maju. Apalagi keduanya dibantu 74 orang ahli dalam TGUPP dengan total gaji Rp 28,99 miliar per tahun.
Tapi kenyataanya tak sehebat yang kita bayangkan. Justru apa yang mereka lakukan kayak orang lagi jungkir balik. Lapangan Monas mau dijadikan tempat sembahyang padahal kita punya Masjid Istiqlal yang terbesar di Asia Tenggara, untung saja tidak jadi setelah dijewer MUI. Penghijauan taman-taman di sepanjang Thamrin yang seharusnya pakai pohon-pohon alami betulan malah diganti pohon-pohon plastik.
Pohon-pohon plastik ini bukan cuma menjadi simbol kepalsuan dan selera rendah. Tapi juga menjadi tanda bahwa kedzaliman sedang terjadi di ibukota. Dua orang ini sudah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya seperti menaruh golok di kamar mandi. Mereka juga melakukan hal-hal yang mubazir. Membuang-buang uang pajak dari warga ibukota sebesar Rp 2.229.150.000,00 - buat bikin 48 pohon plastik yang cuma dipajang dalam 4 hari - kayak orang "nabun" bakar sampah.
Kita membayangkan dua orang alumni bergelar master dari universitas-universitas prestisius di Amerika Serikat ini akan seperti Bill Gates dan Mark Zuckerberg yang walaupun keduanya drop-out tapi mampu membawa perubahan besar pada kemajuan negerinya dan dunia.
Kenyataannya pada diri mereka kita hanya menemukan sosok Thomson dan Thompson seperti dalam cerita komik Tintin: yang satu namanya tanpa huruf "p", yang satunya lagi dengan huruf "p". Nama-nama yang selalu membuat kita tertawa ngakak saat membaca sepak terjang keduanya di ibukota dengan pose unyu-unyu dan jurus bangau bergincu yang menurut mereka itu sangat instagramable.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews