Penangkapan Dosen USU, Emak-emak Laper atau Rezim Baper?

Rabu, 23 Mei 2018 | 06:00 WIB
0
820
Penangkapan Dosen USU, Emak-emak Laper atau Rezim Baper?

Penangkapan Dosen Universitas Sumatera Utara, Ibu Himma Dewiyana Lubis menambah panjang deretan emak-emak yang ditangkap rezim sekarang. Sebelumnya aparat kepolisian juga menangkap Ibu FSA, seorang Kepala Sekolah SMPN Kayong-Kalimantan Barat.

Ketidakpekaan baik Ibu Dosen maupun Ibu Kepala Sekolah yang memposting status yang mengganggap tragedi kemanusiaan akibat ulah biadab para teroris itu sebagai pengalihan issue, sangat kita sayangkan.

Berulangkali saya sampaikan, tidak ada pembelaan untuk setiap aksi terorisme dan juga siapapun yang mendukung aksi terorisme, apalagi yang sampai menimbulkan korban jiwa!

Sebagai manusia seharusnya kita lebih mengedepankan sisi kemanusiaan dengan memberikan simpati dan rasa hormat kepada keluarga korban yang berduka.

Bukankah selama ini masyarakat kita juga dengan ikhlas mengalah memberikan jalan kepada rombongan pengantar jenazah?

Seringkali sudah meminggirkan kendaraan tapi kadang masih tetap dibentak karena terlambat berhenti.

Pertanyaannya: "Apakah kita marah...?"

Tidak, karena kita paham orang yang berduka membutuhkan penghiburan dan semua tindakan mereka selalu dimaafkan.

Jadi apa susahnya menahan jari dari memposting hal-hal yang melukai hati para keluarga korban dan juga keluarga besar Polri yang menjadi target utama para teroris.

Kawan-kawan, tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban dan tidak semua misteri harus anda pahami. Jadi bijaklah mengomentari setiap masalah.

Tapi di sisi lain dengan berat hati saya menganggap reaksi penangkapan dan kemungkinan hukuman pemenjaraan kepada para netizen khususnya emak-emak yang "laper" terlalu berlebihan.

Maaf, sampai sekarang saya menganggap UU ITE adalah produk hukum yang melanggar konstitusi khususnya hak kebebasan berpendapat.

Benar bahwa fitnah tidak boleh dibiarkan.

Justru karena itu menurut saya tugas Pemerintah untuk membuktikan opini masyarakat itu sesat atau tuduhan rakyat itu tidak berdasar dan tidak benar.

Tapi kalau setiap opini sesat dijawab dengan penangkapan, maaf saya khawatir demokrasi kita sudah mati.

Kita Indonesia bukan Korea Utara, bukan?

Kita adalah salah satu Negara Demokrasi terbesar didunia, tapi dikebebasan berpendapat kita masih memiliki dua masalah.

Pertama, masyarakat kita belum siap untuk bermedia-sosial secara dewasa.

Melihat contoh dua orang "korban" undang-undang diatas adalah orang-orang terdidik bahkan berprofesi sebagai tenaga pendidik, saya tidak bisa bayangkan dengan ulah masyarakat awam.

Kalau saja semua orang "baperan" seperti Pemerintah, contohnya saya sendiri yang berulangkali dihujat karena berbeda pendapat, kalau saya laporkan maka bisa jadi sudah ada seribu orang lebih yang harus dipenjara karena melanggar UU ITE dengan pasal penghinaan.

Siapa yang dirugikan? Tentu saja Negara karena setiap narapidana adalah beban Negara.

Kedua, menurut saya beberapa pasal di UU ITE penafsirannya masih mengambang sehingga berpotensi jadi pasal karet yang akan rentan digunakan untuk membungkam suara publik yang berseberangan dengan Pemerintah.

Masalahnya sampai sekarang di negeri kita ini hukum itu belum tentu berbicara tentang keadilan tapi masih lebih sering tentang kebutuhan.

Terakhir bagi anda-anda yang mendukung UU ITE khususnya yang mendukung rezim sekarang, ini cuma masalah waktu.

Kalau rezim berganti mungkin saja anda-anda yang akan gantian "sport jantung".

Karena setiap menulis opini yang berseberangan dengan Pemerintah, anda akan dibayang-bayangi undangan makan malam di Penjara.

Sekarang giliran Bang Jonru, habis Pilpres 2019 mungkin giliranmu, mau...?

***