Terorisme sebagai Proyek, Adakah Kaitannya dengan Pilpres?

Sabtu, 12 Mei 2018 | 05:24 WIB
0
739
Terorisme sebagai Proyek, Adakah Kaitannya dengan Pilpres?

Ketika seorang mantan Panglima TNI lengser, meracau bisa memenangkan Pilpres dengan menyatukan Partai-partai Islam. Lalu buummmm... muncul kerusuhan tahanan teroris!

Ini untuk ke sekian kalinya, menunjukkan bahwa kaum militer di Asia, Afrika, dan juga Amerika Latin masih memiliki watak yang sama. Ia selalu harus membayar mahal kekuasaan tertinggi yang ingin diraih, dengan merangkul-rangkul kaum-kaum agamawan sebagai bagian dari proyek besar mereka.

Mereka selalu ingin mencitrakan diri sebagai berpihak kepada kelompok yang dianggap mayoritas, dengan biaya yang sebenarnya tidak murah. Biaya tinggi itu bisa diperoleh dari mana saja, tidak harus dari pasar uang gelap, juga terutama bisa bersekongkol dengan pihak sponsor asing atau pengusaha "hitam" lokal.

Pasar paling gelap (dan tentu saja laknat) adalah dengan perlindungan lalu lintas narkoba, perlindungan human traficking, penyelundupan, kartel sumberdaya, atau apa pun. Siapa sih di antara jenis kelompok ini, yang tidak butuh perlindungan militer? Dalam hal ini militer (baca tentara), tentu punya harga yang lebih mahal daripada polisi.

Kenapa juga, saya tidak pernah lagi bisa suka atau membiarkan militer, di mana pun berkuasa kembali. Abadnya, eranya sudah berganti. Tentara harus tetap ada di barak dan berurusan dengan kedaulatan negara! Biarkan polisi (betapa pun tidak sempurnanya mereka), mengurus kaum sipil dan urusan sosial!

Saya tidak tahu mengapa Jokowi itu punya "ciri kelemanan" yang linier, sangat mudah dikhianati oleh orang-orang yang selama ini sangat ia percaya.

Tapi kecenderungan ini umum terjadi di wilayah Asia Tenggara, peristiwa muthakir terjadi di Malaysia. Mahathir Mohammad yang mestinya madeg pandhita, nyepi untuk lebih khusyu mengisi hari tua dengan mendekat dengan Tuhan-Nya terpaksa turun gunung dan melawan suksesor-nya sendiri, orang yang pernah paling ia percaya Najib Razak. Hal ini dimungkinkan, karena tentu saja ia sangat merasa dikhianati dan dikecewakan, dan satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah naik panggung kembali.

Dalam kasus Jokowi, mereka yang dieleminasi dari Kabinet-nya, umumnya adalah mereka yang di luar bad-profiler adalah para pembonceng yang secara sangat dini bisa dikategorisasikan sebagai penghamba kekuasaan. Dalam konteks "si Om ini", sampai detik ini saya tidak bisa mengerti bagaimana mungkin ia bisa sampai ke titik tertinggi jabatan dan kepangkatan militer di Indonesia.

Di luar hubungannya dengan para "konglomerat hitam", yang jejaknya sudah berpuluh tahun. Namun rumors bahwa ia memiliki istri empat, yang tampaknya sangat sulit dibantah itu. Bagaimana mungkin, gak usahlah salahkan publik, tapi "salahkan" saja Jokowi sampai kecolongan sedemikian jauh. Kalau sekarang, GN menjadi "kerikil" buat dirinya, tentu kita harus menunjuk hidung ada apa dengan intelejen dalam pemerintahan Jokowi? Karena banyak jendral lain yang lebih loyalis, nasionalis, berkomitmen, dan berintegritas!

Dan beberapa hari setelah ia bersuara secara tidak langsung ingin nyapres, lalu mengatakan bahwa masjid sah sebagai tempat siar politik.

Mengingkari pendapatnya sendiri, saat ia jadi panglima! Lalu bermaksud menyatukan seluruh partai Islam sebagai kendaraannya untuk nyapres. Ia tahu betul, siapa yang mula-mula harus ia beli. Tentu saja, pertama ia harus beli gambar kaos!

Kaos yang lagi populer #2019GantiPresiden di Jogja diplesetkan jadi #2019GantiPesinden! Realitas paling gampang, di bawah Jokowi konon hidup makin sulit, harga-harga naik tanpa penghasilan naik. Dan kaum emak-emak pada satu nada kompak berteriak setuju! Dan di tengah situasi absurd itu, tiba-tiba teroris yang ditahan di Mako Brimob memberontak.

Pernyataan pers resmi Polri mengatakan awal mula penyebabnya sepele: masalah makanan! Bagi saya ini luarbiasa absurd! Teroris yang konon tidak takut mati itu, ternyata takut lapar dan bermasalah dengan menu makanan. Kredonya mungkin tidak takut mati, tapi tidak berani hidup. Bagi saya ia mungkin salah pilih bulan, mereka terburu-buru mustinya nunggu beberapa minggu lagi.

Sependek pengetahuan saya, tentu ini alasan yang mengada-ada, Mako Brimob tentu saja beda dengan rutan kelas maling ayam atau kurir narkoba. Di sana juga ada Ahok, artinya tentu fasilitasnya pasti lebih baik dan manusiawi. Saya tidak tahu, bagaimana mungkin rutan yang semula untuk koruptor itu berubah jadi rutan untuk teroris. Apalagi ternyata, fasilitas penjagaannya sangat minimal 156 teroris hanya dikawal oleh 9 orang. Tidak masuk akal!

Rentannya sistem pengamanan inilah, yang menyebabkan para teroris itu berani berontak dan membuat kerusuhan. Sudah terlalu banyak kritik terhadap sistem penanganan yang di luar "terlalu manusiawi" untuk ukuran pelaku terorisme: Hukuman yang terlalu ringan, perlakuan pasca hukuman yang sangat "memanjakan" dibanding kriminal lainnya, sifat persuasif yang terkadang lebih dekat pada unsur pembiaran.

Karena itulah banyak pengamat mengatakan bahwa terorisme di Indonesia tak lebih sebagai proyek. Para pengguna jasanya ibarat mereka yang sedang bercocok tanaman, jualan bibit, menyemai, membesarkan dan memodali belajarnya. Sedangkan para pemberantasnya adalah mereka yang mengamati, mengawasinya sejak mereka belajar, mencokoknya saat akan bertindak, menghukumnya, lalu berusaha membiananya sampai beberapa saat mereka keluar dari penjara.

Siklus ini berjalan terus, dan rakyat jadi penonton (dan kalau sial jadi korbannya). Dalam lingkaran "persengkonkolan proyek" seperti inilah, kita juga harus memahami terorisme di Indonesia. Dan dalam konteks seperti ini pulalah "pembagian proyek" antara kelompok tentara dan polisi. Di dunia intelejen yang supra modern ini, terorisme itu bukan lagi jarum dalam jerami. Sangat mudah diidentfikasi dari hulu sampai hilirnya. Kenapa tidak bisa hilang? Sederhana karena ada pengguna jasanya! RIP untuk para korbannya.

Ia memang bisa saja membeli semua partai Islam dengan kekuatan dana yang dimiliknya. Ia bisa saja memercikkan api di mana-mana, dengan seluruh jaringan yang pernah ia miliki. Ia bisa saja memprovokasi siapa saja, merebut senjata dan berbuat kerusuhan.

Namun satu hal yang ia lupa, partai itu hanya kendaran politik yang miskin loyalitas. Mungkin dananya partai terima, tapi dukungannya bisa untuk siapa saja yang memberinya kuasa lebih besar. Ia sebagaimana penerima derma, akan menerima uang dari siapa saja, tapi loyalitas hanya diberikan kepada yang memberi paling besar! Dan itu negara!

Dan ia sama sekali bukan lagi representasi negara. Sekali lagi, sinyalemen ini hanya penguatan hipotesis kuno rejim militer: belilah agama, kendalikan pengusaha, tapi tetaplah pegang senjata, maka kau akan bisa (terus) berkuasa.

Saya sangat mencurigaimu...

***