Gerakan Tukang Pulsa ke Istana Minta Jokowi Pecat Menkominfo

Kamis, 10 Mei 2018 | 06:15 WIB
0
987
Gerakan Tukang Pulsa ke Istana Minta Jokowi Pecat Menkominfo

 

Dua hari tanpa kouta rasanya seperti punya hape pintar tiba-tiba dungu. Sudah lama simcard telepon saya menganggur. Walaupun sekali-sekali saat beli kouta internet, pulsa telepon saya isi juga seharga limaribuan, tapi jarang sekali saya gunakan. WA lebih komplet, nelepon juga pake WA. Ketika Ketika tiba-tiba muncul SMS, saya seperti terlempar ke masa lalu.

Seperti biasa saya beli kartu perdana kuota internet ke konter pulsa langganan saya. Kartu perdana lebih menguntungkan ketimbang isi kouta. Beli kouta telkomsel 17 giga, taruhlah yang unlimited kita dapat 15 giga, harganya cuma seratus ribuan. Bandingkan kalau isi kouta 1 giga tiga puluh lima ribu perak. Kalikan 15 giga, berapa selisihnya?

Soal registrasi saya terima beres saja. Berbulan-bulan berjalan dengan lancar walaupun belakangan tukang pulsa ngomel panjang lebar soal kebijakan Menkominfo yang dianggap membunuh tukang pulsa secara sistematis.

Tapi hari selasa kemarin, sampai keringatan dua ember tukang pulsa gagal meregistrasi kartu perdana yang sudah saya beli. Sudah berbagai cara, dari mulai unreg, pake KK, dan berbagai cara lain, tetap gagal. Biasanya kalau dia gagal, anak saya bisa entah pake cara apa. Tapi ternyata gagal juga. Kembali ke konter pulsa, masih tetap gagal. Dijanjikan besok pagi.

Pagi saya datang, tukang pulsa langganan saya tidak ada. Rupanya dia ikut demo ke Istana. Tentu saja bukan karena gagal meregistrasi kartu perdana yang sudah terlanjur saya beli, tapi demo itu sudah terencana sejak jauh hari. Cuma sayangnya, malam rabu terjadi kerusuhan di Mako Brimob. Berita demo tukang pulsa tidak ada secuil pun muncul di televisi. Tentu saja yang paling berbahagia adalah Menkominfo. Tuntutan agar Presiden Jokowi memecat Menkominfo seperti tidak ada media yang peduli.

Tukang pulsa adalah pekerja informal. Seperti halnya para pekerja informal, mereka menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, tanpa mengemis pekerjaan pada pemerintah. Tapi tanpa disadari, pemerintah membunuhnya secara perlahan tapi pasti.

Kebijakan Menkominfo I NIK 3 nomor menurut paguyuban tukang pulsa yang tergabung dalam Kesatuan Niaga Celular Indonesia (KNCI) bisa membunuh mereka.

Koordinator Paguyuban Arisan Jakarta Pusat, Masbukhin, mengatakan, dengan adanya pembatasan SIM card, seluruh pedagang pulsa akan terancam tutup. Aturan itu, kata dia, akan mengurangi pendapatan pedagang pulsa secara signifikan

"Kami dari KNCI mendukung sepenuhnya adanya aturan itu bahwa aturan itu tidak dipakai orang sembarangan maka identitas memang perlu didaftarkan. Tapi kami menolak keras aturan pembatasan untuk mendaftarkan nomor ID. Kami sudah baca di Peraturan Menteri itu bahwa satu NIK dibatasi tiga nomor SIM card itu yang kami tentang. Karena itu akan membatasi penjualan kami. Masalahnya apa, NIK benar terus ngapain sih harus dibatasi. Itu pasti berdampak pada penjualan kami, " ucap Masbukhin kepada wartawan.

Sementara itu, Agus Alpriantoro, salah satu pemilik kios di Kebayoran lama, Jakarta Selatan, mengaku penghasilannya berkurang akibat adanya aturan itu. Biasanya ia bisa memperoleh Rp 15-20 juta per hari, tapi kini turun drastis menjadi Rp 1-5 juta.

Masuk diakal juga sih. NIK kan cuma satu untuk satu orang warga negara. Kalau dia memakai simcard berapapun, identitasnya kan masih dia-dia juga. Atau kalau misalnya, tiga simcard itu hilang bersama hapenya.

Apakah dia tidak berhak beli hape baru plus simcard baru? Dengan kata lain, tiap tiga simcard baru, konter pulsa akan kehilangan satu pelanggan. Bisa dibayangkan kedepannya akumulasi kehilangan pelanggan benar-benar akan membunuh tukang pulsa.

Kalau simcard untuk telepon okelah Pak Menteri mungkin punya alasan dan jalan keluar. Tapi bagimana dengan simcard khusus internet? Apa alasan pengguna internet hanya boleh mendaftar tiga kali untuk simcard perdana? Lalu apa gunanya Menkominfo bikin program internet masuk desa? Sedangkan yang di kota saja penggunanya dipersulit? Kalau untuk mendeteksi lalu lintas berinternet sehat, registrasi akun lebih masuk akal ketimbang membatasi warganegara mendapatkan internet murah.

Registrasi akun bisa memperkecil jumlah akun abal-abal. Di medsos, berhadapan dengan akun abal-abal sama dengan melawan bayangan. Dia bisa memaki siapa dan kelompok apa saja sesukanya, ketika balik dimaki, dia cuma ketawa saja karena yang dimaki kan bukan nama dia, bukan jati diri dia. Akun abal-abal cara pengecut di medsos.

Kebijakan Menkominfo menambah daftar panjang kebijakan para menteri yang memandang satu persoalan dengan kaca mata kuda. Hanya memikirkan satu hal tapi mengabaikan hal lain.

Seperti halnya kebijakan cuti lebaran tanpa memikirkan para pengusaha, setelah pengusaha protes, baru mau dikaji ulang. Tapi karena takut kehilangan dukungan rakyat yang akan mudik yang jumlahnya bisa jutaan, terpaksa membatalkan mengkaji ulang keputusan itu, terpaka mengalahkan pengusaha.

Maka tidak salah kalau Presiden minta para pengeritiknya harus menyertai data dan solusi. Karena nampaknya para pembantunya memang krisis solusi. Salah satu contoh lagi, kedatangan para sopir truk ke istana yang mengadukan dipalak oleh preman dan oknum aparat di jalanan, karena para sopir truk sudah tidak percaya kalau mereka mengadu pada para pembantu presiden akan mendapatkan solusi.

Kembali ke soal tukang pulsa. Sampai sekarang tidak jelas nasib kouta perdana saya. Sudahlah, anggap saja sebagai rasa empati saya pada tukang pulsa yang belum jelas nasibnya. Kok sekarang saya bisa fesbukan? Iyalah, kan saya bukan satu-satunya pengguna internet.

Mumpung konter pulsa masih diramaikan gambar Indosat,simpati,XL, Axis, telkomsel, Tri, sebaiknya pemerintah mendengarkan keluh kesah para tukang pulsa. Kalau sudah konter pulsa ramai oleh tagar ganti presiden, kan ceritanya bisa beda lagi.

***