Masihkah Kita Mengakui Indonesia?

Rabu, 9 Mei 2018 | 19:59 WIB
0
693
Masihkah Kita Mengakui Indonesia?

Insiden yang terjadi di CFD Bundaran HI pada 29 April 2018 adalah sebuah bentuk kegagalan peradaban bangsa kita. Dua kali perang dunia telah kita lewati, sekarang kita berada pada ambang peradaban baru. Efek yang terjadi dari perang besar tersebut adalah kondisi dan bentuk tragik kemanusiaan.

Bangsa kita telah melewati paruh pertama abad 21, abad dengan kecanggihan teknologi dan kecepatan informasi dengan berbagai perkembangan media massa, yang kian mendekati fiksi-ilmiah hollywodean ini, ternyata dalam benak pikiran kita masih membayangkan kegetiran dan paradoks abad yang baru saja terlewat. Abad 20 yang telah kita lewati membuat kita optimis terhadap masa yang akan datang.

Namun, perlu kita ketahui kedatangan optimisme itu bersamaan dengan wajah yang menyiratkan kegetiran pada prestasi terburuk sejarah manusia. Korban kekejaman dua kali perang dunia adalah terorisme, kekerasan, genocide, narkotika, penyakit, dan kriminalitas hi-tech. Ini adalah abad yang sangat tragis di mana tak ada satu bangsa pun yang dapat menghindarinya.

Indonesi telah melewati semua abad itu. Namun, ambiguitas keberhasilan dan kegagalan peradaban manusia membuat akhir abad millenium ini tak lagi menjadi titik lepas landas pertumbuhannya, justru malah menjadi mimpi buruk yang menggentayanginya. Ketika krisis mengahantam semua penyangga sistem ekonomi dan politik kita yang dikotori dengan merebaknya kekerasan dalam masyarakat kita yang mempunyai sejarah persaudaraan dari berbagai suku dan etnik, dan kini mesti menanggalkan kenangannya sebagai bangsa yang “ramah”.

Dampak dari kegagalan peradaban ini adalah kekerasan yang menjamur di kalangan masyarakat kita, baik itu kekerasan fisik atau psikis, bisa juga kekerasan dunia sosial faktual atau dunia sosial media, dan ini terjadi secara vertikal atau pun horizontal, institusional atau individual. Ini menjadi problem bagi bangsa kita, bukan hanya menjadi problem kesadaran kolektif tetapi juga menjadi problem kesadaran individual.

Konflik dan kekerasan menjadi persoalan yang tidak hanya mampu menghancurkan kemungkinan-kemungkinan masa depan masyarakat di semua lini, namun juga dapat meruntuhkan pijakan kultural kita sebagai bangsa yang “ramah”. Sebenarnya ini merupakan bentuk pengingkaran dan pengkhianatan pada pijakan dan realitas itu; realitas mengapa kita hidup berdampingan dan bersamaan dalam kesatuan bangsa yang utuh, di antaranya; pijakan yang sesungguhnya mengukuhkan dan mengokohkan keberadaan eksistensial kita. Akibatnya secara subtansial, pijakan kultural kita retak dan hancur.

Pramoedya Ananta Toer pernah menulis dalam sebuah media asing, ia mengatakan konflik yang disertai kekerasan adalah ekspresi dari “intuisi barbar” masyarakat Indonesia. Politik yang refresif dengan bentuk kekerasan memunculkan kembali emosi primitif itu. Masihkah kita mengakui Indonesia dalam pijakan yang sama?

Sebagian dari kita menempatkat prasangka rasial sebagai penyebab utama dari kekerasan yang terjadi di Indonesia. Ditekannya ekspresi yang bersifat SARA oleh ideologi oposisi, turut mendukung terpeliharanya rasialisme di kalangan rakyat Indonesia. Dan kekerasan ini bukan muncul dari orang-orang yang primitif (berpendidikan rendah), tetapi ia muncul dimotori oleh para orang yang beradab (civilized), seperti pemuka agama, politisi, perwira militer, atau bahkan intelektual?

Banyak sekali akhir-akhir ini kekerasan yang menjadi sebuah patologi penyakit SARA di masyarakat kita. Di lain risiko bisa juga naluri-naluri primitif ini terjadi bukan akibat karakter atau sifat barbarisme tadi, melainkan sebagai pelampiasan untuk tercapainya ekstase sosial. Ekstase sosial ini lah yang yang lahir dari ketidaksadaran sosial, karena kesadaran sosialnya terpenjara dan terbui dalam samudera hawa nafsu yang akhirnya menjadikan rakyat kita buta.

Seorang sufi kelahiran Spanyol yaitu Ibn ‘Arabi pernah mengatakan; Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu. Barang siapa yang mengenali dirinya, maka ia telah mengenali Tuhannya.

Mahfudzat atau kata mutiara ini bukan hanya saja sebagai dimensi transendental antara makhluk dan penciptanya, melainkan juga adalah bentuk kritik sosial bagi individu diri manusia yang masih menyembah berhala yaitu hawa nafsu. Ketika manusia memaksakan kehendaknya sendiri dan tidak menerima selainnya maka ia adalah pemuja berhala hawa nafsu.

Karakter itu tiada lain adalah simtom psikologis yang dapat terjadi pada siapa saja, secara sosial maupun individual. Dan memang pada kenyataannya dapat terjadi pada kepribadian yang gamang dan rapuh, yaitu kepribadian manusia yang mengalami kesulitan untuk menempati danmengenali dirinya sendiri; suatu keadaan yang membuat seseorang kehilangan kepercayaan, dalam bahasa Ibn ‘Arabi manusia yang tidak mampu mengenali Tuhannya.

Melihat akhir-akhir ini banyak manusia Indonesia dari bangsa kita sendiri, saudara kita sendiri yang gamang dan rapuh tidak mempunyai jati diri. Apakah kita masih mengakui Indonesia dalah satu tarikan nafas?

Misalnya gerakan populisme Islam atau Islamisme (Islam Politik) aksi 212 sangat resisten bagi keutuhan bangsa kita. Mereka merasa lebih Palestina dari pada orang Palestina sendiri, menjadi lebih Suriah dari pada orang Suriah sendiri, bahkan merasa menjadi lebih Islam dari pada kiai-kiai, guru-guru kita di pesantren. Kondisi inilah yang mengkhawatirkan kita.

Kejadian kekerasan terhadap wanita dan anak kecil di CFD Bundaran HI adalah bentuk efek dari gerakan populisme Islam tersebut. Sah-sah saja berkampanye dengan model apapun kecuali SARA dan Kekerasan, karena itu yang tak bisa ditolerir dan tak ada dalil sahih manapun yang melegitiumasi kebenaran tersebut.

Bangsa kita hari ini telah dihadapkan kepada masyarakat yang chauvinisme etnik, yaitu bangsa yang ke-Aku-an, bukan bangsa yang ke-Kita-an. Padahal dalam norma bangsa ini, lebih menghargai istilah “Kita” ketimbang “Aku”, bahkan seorang menteri akan menyebut dirinya “Kami” di hadapan presidennya. Oleh karenanya, masihkah kita mengakui Indonesia?

Sebuah solusi yang sangat penting adalah kembali kepada diri kita sendiri mempertanyakan pertanyaan tersebut; masihkah kita punya ikatan bersama dalam naungan Pancasila yang diambil dari butir-butir perjalanan berabad-abad lamanya bangsa kita. Masihkah kita punya pijakan kultural bersama. Masihkah kita mengakui Indonesia?

***

Rikal Dikri