Pada pertemuan dengan Persaudaraan Alumni 212, mereka meminta agar Presiden Joko Widodo intervensi hukum dengan mengusahakan SP3 untuk Rizeq.
Jawaban Presiden tegas, "Saya serahkan semuanya pada proses hukum!"
Jawaban itu sama persis ketika Jokowi dulu ditanya mengenai kasus Ahok. Proses hukum punya jalan dan logika sendiri. Semua orang, selayaknya memandang hukum sebagai sebuah sistem yang mengatur kehidupan bersama. Di sana ada logika sendiri yang rigid dan kaku. Jauh berbeda dengan logika politik yang cair dan akrobatik.
Sebagai seorang Presiden RI, siapa saja yang merasa penting untuk bertemu, rasanya tidak ada alasan untuk ditolak. Tinggal lagi dicarikan waktu yang tepat dan dipahami urgensinya.
Pertemuan dengan PA 212 sendiri, prosesnya gak sebentar. Sebelumnya beberapa person PA 212 melakukan lobby ke Presiden. Lalu dicarikan waktunya. Akhirnya, ahad pekan lalu terjadilah pertemuan itu di Bogor.
Sebagai ajang silaturahmi, kita mengapresiasi saja pertemuan itu. Orang yang selama ini duduk berseberangan dengan Jokowi, ternyata gak susah untuk bisa berjumpa. Mereka bisa menyampaikan aspirasi dan uneg-unegnya kepada Presiden.
Tapi jangan lupa. Jokowi bukan raja. Bukan orang yang berdiri di atas hukum. Dia adalah Presiden di sebuah negara yang didasari UUD yang menjelaskan dengan detil fungsi-fungsi semua elemen kenegaraan. Ada legistalitf, eksekutif, yudikatif. Kesemuanya tidak bisa saling mengintervensi.
Memaksa Presiden melanggar etika jabatan dengan melakukan intervensi terhadap kasus hukum, sama saja membuat lubang jebakan yang berbahaya. Saya yakin, Jokowi memahami posisi itu.
Masalahnya permintaan itu disampaikan oleh kelompok yang selama ini mewanti-wanti Presiden untuk jangan melakukan pembelaan pada Ahok ketika kasusnya mencuat dulu. Dan sebagai Presiden, Jokowi memahami itu. Sampai kasusnya selesai dan PK ditolak, tidak keliatan sama sekali ada intervensi kekuasaan.
Nah, kalau kelompok yang sama kini meminta privilage untuk diperlakukan di atas hukum, itu adalah inkonsistensi. Logika seperti itu, jika dituruti akan menyebabkan hilangnya kepercayaan publik pada hukum. Sebab hukum jadi tunduk dengan tekanan dan lobby politik.
Jadi apa mungkin kasus Rizieq Shihab mendapat SP3? Secara hukum mungkin saja. Masalahnya ada banyak kasus yang menjerat dia. Gak mungkin juga semua kasus mendapat perlakuan yang sama. Jadi, jika kita ikuti logika hukum, ya Rizieq harus tetap menjalani prosesnya. Jangan karena mentang-mentang banyak pengikut bisa lepas begitu saja.
Logika menempatkan semuanya pada tempatnya yang selama ini konsisten dijalani Jokowi. Ketika naik menjadi Walikota Solo, misalnya, dia juga gak setuju anaknya yang berbisnis catering mengerjakan proyek pemerintah. "Saya gak mau ganggu bapak," ujar Gibran.
Demikian juga saat puterinya Kahiyang berniat jadi PNS di Solo. Dia harus mengikuti tes dan ujian sebagai layaknya para pelamar lain. Duduk di stadion bersama ribuan anak-anak muda untuk mengikuti proses seleksi.
Apa hasilnya? Kahiyang tidak lolos seleksi. Dan cita-citanya sebagai PNS kandas. Padahal bapaknya adalah seorang Presiden. Orang nomor satu di Indonesia.
Kita tahu, keadilan adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Kekuasaan seorang Presiden dibatasi etika dan UU. Tidak bisa berbuat semaunya.
Bahkan saat menggunakan jalan saja, jarang kita temui rombongan Presiden nguing-nguing menghalau pengguna jalan lain. Presiden sering terjebak kemacetan. Itu pemandangan biasa sekarang.
Nah, jika terhadap anak-anaknya dan dirinya sendiri saja Jokowi sangat hati-hati menggunakan kekuasaanya. Apalagi cuma karena didesak-desak sekelompok orang untuk intervensi kasus hukum. Saya yakin, itu tidak mungkin dilakukan Jokowi.
Silaturahni boleh saja. Itu sah dalam negara demokratis ini. Memberikan masukan dan aspirasi silakan saja. Itu hak semua warga negara. Tapi memaksa Presiden melakukan abuse of power, itu sejenis godaan setan yang terkutuk. Sangat terlarang.
Bukan saja merusak sistem hukum, juga menciptakan antipati publik.
"Mas, kalau Presiden mengijinkan pedagang kaki lima jualan di jalan raya, bisa gak?," tanya Abu Kumkum.
"Kang, jangankan Presiden. Camat juga gak boleh lakukan itu," potong Bambang Kusnadi.
"Jadi yang bisa kasih ijin PKL jualan di jalanan siapa dong?"
"Preman!"
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews