Rekonsiliasi Jokowi GNPF-MUI di Musim Kontestasi

Rabu, 25 April 2018 | 14:41 WIB
0
717
Rekonsiliasi Jokowi GNPF-MUI di Musim Kontestasi

Baru saja tersiar berita politisi PDIP menemui Habib Rizieq Shihab di Arab Saudi, kemarin teriar berita Presiden Jokowi menemui Persaudaraan Alumni 212 di sebuah Masjid di Bogor. Tentu saja pertemuan itu bernilai politis. Padahal baru saja relawan Jokowi bikin program yang nggak jelas juntrungannya, Anti Politisasi Masjid. Coba mau bilang apa mereka dengan pertemuan itu?

Terhembus kabar pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Persaudaraan Alumni 212 dalam rangka rekonsiliasi. Hembusan itu layak dipercaya, mau apa lagi coba? Cuma saja niat baik itu kurang tepat waktunya. Rekonsiliasi di tengah kontestasi politik, di tengah maraknya perang tagar #2019 GantiPresiden versus #2019 Jokowi2Periode, seperti membuat bangunan pasir di pinggir pantai. Perang tagar yang menurut beberapa sumber dimenangkan oleh tagar ganti presiden membuat niat baik rekonsiliasi itu dicurigai sebagai alat peredam lajunya tagar gahar itu.

Mestinya rekonsiliasi dimulai saat kabinet kerja baru terbentuk. Atau yang paling mendesak saat lagi ramainya aksi 212 . Buka lagi jejak digital. Waktu itu Ketum MUI Kyai Haji Ma’ruf Amin mengusulkan rekonsilaisi. GNPF-MUI juga mengharapkan hal yang sama. Tapi apa respon Presiden?

Sebelum aksi 212, MUI sudah menawarkan rekonsiliasi bertajuk rujuk nasioanal. Presiden menjawab santai saja,

"Rujuk apa? Yang berantem siapa? Saya kira rujuk-rujuk itu, la wong kita enggak berantem, kok. Kita ingin mengingatkan kembali betapa kita ini beragam, betapa kita ini majemuk. Enggaklah, saya kira rujuk, rekonsiliasi, kalau kita berada pada posisi apa? Posisi apa? "

Maka terjadilah aksi lebih besar, aksi 212 yang berujung dijebloskannya penista agama di penjara. Waktu itu GNPF-MUI menawarkan rekonsiliasi dengan pemerintah, juga dengan kubu Ahok. Plt Gubernur DKI, Djarot menjawab santai, "Siapa yang ngomong? Rekonsiliasi itu seperti apa? Kami tidak pernah menganggap mereka lawan. Kok, aneh, orang kami enggak ada macam-macam, kok, rekonsiliasi."

Memang ada pertemuan di istana antara GNPF-MUI dengan Presiden pada hari pertama idul fitri 1438 H. Tapi nampaknya cuma silaturahmi biasa saja, belum ada agenda rekonsiliasi. Walaupun ada kesepakatan akan membangun komunikasi lebih intens dengan agenda akan sering berkomunikasi.

Seusai Lebaran, nggak jelas lagi kabar beritanya. Barangkali orang-orang di sekeliling Presiden punya cara sendiri untuk meredam kelompok yang berseberangan ketimbang cara rekonsiliasi. Maka terjadilah sejumlah fitnah dan ketidakadilan hukum.

Kalau mau dibuka daftarnya cukup panjang. Tahu sama tahu sajalah. Salah satunya fitnah melalui isu Saracen yang secara tidak langsung dialamatkan kepada kelompok yang bersebarangan dengan pemerintah. Presiden pun menanggapinya dengan serius, setelah pengadilan mementahkan dengan keputusan bahwa Saracen tidak terbukti sebagai penyebar ujaran kebencian, pemerintah bungkam seribu bahasa, boro-boro minta maaf

[caption id="attachment_14708" align="alignleft" width="564"] Rizieq Shihab (Foto: Facebook.com)[/caption]

Perang di medsos ditandai dengan diblokirnya akun HRS dan FPI dan sejumlah akun aktivis Islam lainnya. Walaupun Menkominfo tidak mengakui, tapi warganet menilai itu ada campur tangan pemerintah. Dan satu hal yang sampai sekarang masih diyakini sebagai fitnah kalangan atas adalah tuduhan chat mesum pada HRS yang berujung hijrahnya HRS ke Arab Saudi.

Bulan Juni 2017, melalui Yusril Ihza Mahendra, diperdengarkan rekaman suara HRS dari Arab Saudi. "Karena itu kepada bapak Yusril Ihza Mahendra dan kawan-kawan yang lainnya perlu membuat satu format yang tepat bagaimana rekonsiliasi yang bisa mengantarkan kepada kedamaian dan menyetop segala kegaduhan. Bagi saya di Tanah Suci tentu saya selaku pembina GNPF MUI tetap ingin mengedepankan dialog dan musyawarah dan lebih mengutamakan rekonsiliasi," tutur Rizieq.

Tidak ada tanggapan dari pemerintah. Jadi kalau sekarang ujug-ujug Presiden datang menemui PA 212 di sebuah Masjid di Bogor, di tengah hangatnya kontestasi politik, kalau tujuannya rekonsiliasi sebaiknya ditunda dulu sajalah.

Tapi kalau sebagai cikal bakal rekonsiliasi ya boleh-boleh saja. Rekonsiliasi kan enak di semua pihak, bukan enak di sana nggak enak di sini. Bagaimana dengan Perppu Ormas yang sangat ditentang oleh alumni 212? Bagaimana dengan kriminalisasi ulama dan aktivis Islam atas nama hukum positif yang sudah dan masih berlangsung?

Tapi sebaiknya memang rekonsiliasi dilaksanakan oleh Presiden ke-8 nanti seusai pilpres 2019. Jadikan rekonsiliasi sebagai ruh visi misi, lupakan saja revolusi mental yang kurang berhasil itu. Presiden ke-8 adalah presiden yang bisa merangkul semua pihak, bukan hanya asyik dengan kelompok sendiri saja.

***

Editor: Pepih Nugraha