Inilah satu jenis tafsir Al Quran yang baru terbit. Dikhususkan untuk kalangan sarjana. Atau intelektual muslim.
Rasanya baru kali ini ada terjemahan Al Quran yang seperti ini: bentuk, tebal dan ukurannya seperti buku biasa. Atau seperti novel. Tidak terlihat seperti kitab suci: Quran atau pun Bibel.
Kalau saya tidak membaca judulnya saya tidak tahu: bahwa ini Al Quran dan terjemahannya.
Bahkan lihatlah sampulnya. Kertas biasa. Bukan kertas tebal seperti biasanya. Dan … tidak ada satu pun huruf Arab di sampulnya.
Mengapa dibuat seperti itu? Saya pun penasaran. Saya cari nomor tilpon penyusunnya. Maka saya pun langsung bertanya ke penyususun tafsir tersebut: Usep Fathuddin. Yang dikenal dekat dengan tokoh pembaharu seperti Nurcholish Madjid. Dan memang segenerasi.
Kang Usep terlihat sangat prihatin. “Umumnya para cendekiawan, ICMI atau bukan ICMI, tidak suka membaca Quran, termasuk terjemahannya,” katanya.
“Terjemahan yang ada selama ini hampir selalu menggunakan huruf yang kecil dengan lebar terjemahan 1/3 halaman atau kurang,” tambahnya.
Karena itu Kang Usep membuat edisi yang berbeda. Terjemahannya tidak ditulis di bawah atau di samping ayat asli.
Terjemahannya dikelompokkan jadi satu. Jadi, kalau membuka buku ini dari kiri, tidak ada huruf Arabnya.
Sejak halaman satu sampai seterusnya isinya penuh dalam bahasa Indonesia. Baru kalau kita buka buku ini dari kanan isinya Al Quran dalam bahasa aslinya.
Dengan demikian pembaca bisa membaca tafsir dari awal sampai selesai. Tanpa perlu melihat huruf aslinya. Bahkan Kang Usep memberi judul. Untuk setiap tiga atau empat ayat. Yang isinya berada dalam satu tema.
“Setahu saya cara ini belum ditemukan pada terjemahan lain,” kata Kang Usep.
Agar ketebalan kitab ini bisa mirip buku biasa Kang Usep membaginya dalam dua jilid. Masing-masing 15 juz. Dengan demikian bentuk, ukuran maupun tebalnya mirip buku biasa. Kalau ada orang membawa buku ini tidak akan terlihat sedang membawa kitab suci.
Saya sudah membacanya beberapa juz. Termasuk terjemahan surah Al Maidah ayat 51.
Saya tidak melihat adanya penerjemahan beda. Standar terjemahan yang sudah kita kenal. Lalu mana yang dimaksudkan khusus untuk cendekiawan itu?
Terjemahan Al Quran versi Kang Usep ini sangat standar. Tidak ada pemikiran baru. Tidak ada tafsir yang berbeda. Termasuk untuk Al Maidah 51.
Ini berbeda kalau saya melihat tafsir lain. Misalnya tafsir Quran berbahasa Jawa: Al Ibriz. Terbitan 1938. Oleh KH Bisri Mustofa. Ayah KH Mustofa Bisri dari Rembang itu.
Lihat kata ‘persasat’ di tafsir Al Maidah ayat 51 di Al Ibriz itu. Kata ‘persasat’ memang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa Arab sangat kaya akan makna. Seperti juga bahasa Mandarin. Tafsir bahasa Jawa pasti bisa lebih pas dalam mengimbangi kekayaan bahasa Arab.
Lihat juga kata dalam bahasa Jawa ‘asih asihan’ di tafsir ayat itu. Sama sekali tidak berbau pilih-memilih pemimpin. Mungkin di tahun 1938 ketika tafsir Al Ibriz diterbitkan memang belum ada istilah ini: pilkada.
Saya juga pernah membaca tafsir Al Quran versi Iran. Yang saya beli saat saya ke Iran dulu. Artinya: versi Syi’ah.
Saya bisa menangkap nuansa yang berbeda dalam pemaknaan istilah. Sayang tafsir itu dipinjam orang. Dan saya lupa: siapa yang meminjam. Sudah begitu lama.
Namun tafsir Kang Usep yang khusus diperuntukkan cendekiawan ini benar-benar sangat standar. Lantas di mana letak kecendekiawanan tafsir ini?
Kang Usep ternyata punya maksud khusus dengan buku tafsirnya ini. Yaitu agar lebih banyak cendekiawan muslim yang memahami Quran.
Sebab, tulisnya di kata pengantar, Al Quran adalah salah satu kitab suci yang paling tidak dipahami oleh umatnya. Meski begitu banyak yang membacanya. Bahkan menghafalnya.
Tujuan Kang Usep adalah: memudahkan orang membawanya. Dan membaca terjemahannya.
Ya sudah. Alhamdulillah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews