KPK Tangkap 600 Birokrat, Menunjukkan Patologi Birokrasi yang Akut

Senin, 9 April 2018 | 04:03 WIB
0
881
KPK Tangkap 600 Birokrat, Menunjukkan Patologi Birokrasi yang Akut

Sebagai pembuka penyampaian pemikiran yang saya sampaikan pada Seminar Motivasi "Spirit Of Infonesia", Sabtu 7 April 2018 pukul 09.00-12,30 Wita di Auditorium Universitas Udayana, Bali, saya memulai dengan angka-angka yang sudah dihapal sedemikian rupa menjadi bagian dari "kamus berjalan" orang-orang Komisi Pemberantansan Korupsi.

Angka koroptur telah terkumpul sejak KPK berdiri pada 2003 hingga Januari 2018, di mana KPK sudah menangkap dan memenjarakan 600 koruptor. Sebagian besar di antara mereka adalah anggota DPR/DPRD, yakni sebanyak 146 koruptor, disusul 82 bupati/walikota dan 19 gubernur.

Celakanya lagi, di antara para koruptor itu tidak sedikit yang menjadi pejabat publik ternama, antara lain sejumlah menteri, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, dan Ketua Dewan Perwakilan. Bagi saya, terjeratnya para birokrat dalam urusan rasuah uang negara menunjukkan kondisi patologi birokrasi atau penyakit birokrasi yang sangat akut.

Saya sebut akut karena sampai sekarang masih sulit disembuhkan, kendati KPK terus bekerja. Patologi birokrasi sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa Indonesia, khususnya KPK yang memang diberi tugas dan wewenang khusus menanganinya. Untuk mengatasi penyakit birokrasi akut yang berujung pada prilaku koruptif para pejabat birokrasi, saya pikir diperlukan obat manjur untuk memberantasnya.

Penanggulangan yang sistematis dan terarah dimaksudkan untuk memperbaiki birokrasi agar lebih baik, cepat tanggap dan mampu merespon apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengobati penyakit birokrasi atau menyembuhkan penyakit-penyakit kronis yang melekat pada birokrasi antara lain mengembangkan kebijakan pembangunan birokrasi yang holistis (menyeluruh) agar mampu menyentuh semua dimensi baik itu sistem, struktur, budaya, dan perilaku birokrasi.

Tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan sistem politik yang demokratis dan mampu mengontrol jalannya pemerintahan dengan maksud agar pemerintah lebih transparan, tanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan dan masyarakat dengan mudah mengakses informasi publik.

Mengembangkan birokrasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi seperti e-government dan e-procurement juga harus diprioritaskan untuk mempermudah interaksi antara masyarakat dengan para pemberi layanan.

Namun demikian saya memandang sistem berbasis teknologi ini tetap perlu dimonitoring dan dikawal, khususnya terkait implementasinya guna meminimalisir terjadinya kecurangan yang dilakukan birokrasi.

Di Bali, saya mengemukakan kepada hadirin mengenai macam-macam patologi birokrasi antara lain:

(a) Paternalistik, yaitu atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa yang telah dilakukan atasan yang penting bagaimana menyenangkan atasan (ABS: Asal Bapak Senang). Birokrasi cenderung mengabaikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin.

(b) Mark Up  Anggaran.

Semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan semakin besar pula peluang untuk memark-up anggaran, tidak adanya kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran atas dasar input. Mark Up anggaran akan semakin meluas ketika kekuatan masyarakat sipil lemah dalam mengontrol pemerintah.

(c) Prosedur berbelit/ tidak transparan.

Ada anggapan agar publik menyerah yang akhirnya menyogok pejabat, ada pepatah bernada tanya yang sangat terkenal, "Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?" Prosedur berbelit yang melibatkan banyak meja untuk satu urusan pengurusan KTP atau izin usaha saja, misalnya, sudah berapa pejabat yang harus diberi uang pelicin.

(d) Pembengkakan Struktur Birokrasi.

Penambahan jumlah struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan lain-lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan keberadaannya. Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak langsung dapat merugikan Negara. Sehingga anggaran menjadi kurang tepat sasaran.

(e) Fragmentasi birokrasi.

Banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh pemerintah lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk merespon kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi tetapi lebih kepada motif tertentu.

***

Editor: Pepih Nugraha