Gubernur Rasa Jalanan, Karma Kekuasaan yang Didapatkan

Jumat, 6 April 2018 | 21:01 WIB
0
1148
Gubernur Rasa Jalanan, Karma Kekuasaan yang Didapatkan

Sahabat saya, mboggeg Dayujiwa, seorang perempuan Bali yang nyangkut hidup tentram di Jogja, beberapa waktu yang lalu sedemikian ingin membuat buku tentang masa lalunya. Sejarah hidupnya yang katanya selalu "tunggang langgang".

Sejak perkawinannya yang pertama dengan maestro musik trabadur Leo Kristi, membesarkan anak secara single parent, hingga akhirnya kini sukses sebagai seorang business woman.

Setelah lama diskusi, saya ejek ngapain juga menuliskan masa lalu malah bikin mellow. Mbok nulis saja tentang aktivitasnya hari ini sebagai seorang tokoh fashion, wa bil khusus sebagai seorang perancang, pemikir dan penggiat kain-kain tradisional.

Perempuan multi-talent ini, mula-mula memang menggeluti batik, lalu bergerak ke shibori, lalu belakangan malah nyangkut di ecoprint. Dari ketiganya, saya pikir sumbangannya terhadap perkembangan shibori di Indonesia paling penting dicatat. Bagaimana tidak, teknik pewarnaan tekstil, batik ala Jepang ini telah mengubah hidupnya.

Bukan saja, ia berhasil dapat pengakuan internasional, namun juga memberi manfaat sedemikian banyak bagi orang lain. Bukan saja mereka yang dalam mata-rantai produksinya, tetapi juga ketika ia bagi-bagi "ilmu nyibori" kepada banyak orang. Ia berhasil memberdayakan kampung di mana saat ini tinggal, kelak di kampung inilah akan hadir Kampung Shibori. Mosok kampung batik melulu!

[caption id="attachment_13884" align="alignleft" width="400"] Dayu Jiwa (Foto: Kompas.com)[/caption]

Setelah diskusi panjang dan menyebalkan, akhirnya ia bisa menemukan judul bukunya, yang menurut saya keren dan seksi sekali: Shibori Street. Maknanya, bagaimana teknik shibori yang sedemikian rumit itu bisa disederhanakan, sehingga semua orang dengan hanya membaca buku saja langsung bisa.

Mungkin, ia terinspirasi karena berkali-kali jalan kaki mengelilingi kampung-kampung shibori di Jepang. Bagaimana spiritualisme para perajin di negeri asalnya, mengembangkan teknik shibori sehingga menginspirasi banyak peminat lain dari seluruh penjuru dunia.

Buku ini kelak (kalau jadi) akan menjadi buku yang asyik, karena inilah buku bergaya "low budget, high mindset" namun sangat eksklusif dengan foto-foto yang ciamik pol. Low budget, tentu saja karena ia didukung suaminya yang sekarang, Erik Snoek seorang pensiunan fotografer profesional. Foto modelnya juga ngirit karena kedua anaknya yang ganteng dan cantik itu yang jadi modelnya.

Saya dan istri sudah cukup senang jadi tukang kompor, rewo-rewo, dan juru ejek. Mungkin karena saking asketis-nya, proses menulisnya jadi sangat lama, musti banyak jalan-jalan, musti keroncong-an dulu dengan "yayang-nya" itu. Gak sekedar keliling Endonesah, Jepang, tapi sampai jauh ke Eropah sana.

Inilah contoh spirit jalanan, hobi jalan-jalan yang akhirnya jadi energi positif untuk belajar bersama, berbagi dan menginsipirasi orang lain. Sebuah buku menarik yang layak dinanti.

Jauh sebelum ini, nun jauh di kota ruwet bin semrawut, Gubernur yang terpilih juga berbekal spirit jalanan, sayangnya sebaliknya sangat negatif. Demonstrasi jalanan berjilid-jilid yang sedemikian menghabiskan energi, hanya untuk menjatuhkan seorang Ahok. Pilkada paling brutal yang pernah terjadi di Indonesia.

Konon ini semacam test case bagaimana kombinasi antara penggunaan strategi Cambridge Analytica, pengerahan aksi masa jalanan, dan juga kampanye di rumah-rumah ibadah bisa memenangkan seorang calon. Mungkin sejenis tes awal untuk kelak dipakai dalam Pilpres.

Nyaris tak ada ruang kosong yang luput dari serangan yang tujuan akhirnya "sekedar" mengalahkan Ahok. Ahok kalah dan bahkan harus berakhir di penjara. Tentu saja, segala hal yang dilakukan tersebut, menunjukkan bahwa Ahok sebenarnya "bukan sekedar", ia memang dianggap berbahaya, sedemikian berbahaya sehingga ia tak pernah dipenjara di LP Umum.

Ia kelak akan tercatat sebagai "pesakitan" yang selamanya berstatus titipan. Lalu tanggung jawab negara membina-nya sebagai Bang Napi di mana? Nggak penting!

Saya yakin, ia memang sebaiknya disimpan dulu, gak perlu buru-buru keluar. Untuk apa? Saya yakin bahwa penjara juga tempat belajar yang baik. Kalau tidak baik, mungkin kita akan mengenal lebih banyak hukuman purba seperti pancung, potong tangan, atau cambuk. Sebagaimana yang akhir-akhir ini secara absurd gencar ditawarkan sebagai alternatif.

Konon saat ini, balasan kepada tindakan buruk itu tak lama harus menantinya. Dulu hukum karma itu harus ditunggu puluhan tahun untuk bisa dilihat wujudnya. Anies-Sandi yang dulu bisa berkuasa melalui aksi jalanan, belum lagi setahun duduk sudah disibukkan berbagai persoalan yang berasal dari jalanan. Apa yang dulu sudah "agak tertib" di bawah Ahok-Djarot dibikin berantakan.

Coba kita urai satu persatu: bagaimana mungkin, jalanan khusus mobil diubah menjadi pasar. Bahkan ketika Lembaga Ombudsman memerintahkan untuk menutup karena jelas ia melanggar aturan, ia cuek. Ya harus cuek, karena kalau ia menurut, wibawanya yang akan jatuh seketika.

Mungkin ia sekedar mengulur, menunggu momentum yang tepat agar tidak kehilangan muka. Karena konsekuensinya sangat jelas: bila tetap ngotot dan ngeyel, ia harus dinonjob-kan. Persoalan lebih lanjut muncul, mulai dilegalkannya lagi becak jalanan, demo moda angkutan on-line yang tak berkesudahan, menjamurnya lagi pedagang kali lima di jalanan. Belum lagi berbagai pembangunan konstruksi yang, ndilalah, kok banyak ambruk dan terjadi kecelakaan sejak ia berkuasa.

Dan yang terakhir, tentu saja kasus absurd, rekan seperjuangannya, Ratna Sarumpaet yang mobilnya harus diderek karena dianggap melanggar aturan lalin. Persoalan yang sebenarnya sangat sederhana ini, mustinya tak harus melibatkan seorang gubernur. Tapi demikianlah nasib, "horor jalanan" seperti inilah yang akan terus menghantui Anies sepanjang ia duduk di kursi panas Gubernur DKI Jakarta. Ia akan selalu dikejar "hal-hal jalanan", hukum jalanan yang tak akan berakhir.

Jalanan itu, juga laksana senjata tajam. Ketika kita berpikir dan memanfakannya secara positif, ia akan memberi banyak solusi. Sebagaimana apa yang dilakukan oleh Dayujiwa di atas: ia tiba-tiba menemukan jalan baik. Sebaliknya, seperti Anies-Sandi, yang mengubah jalanan sebagai arena unjuk rasa dengki dan kuasa yang memabukkan.

Nyaris musykil keduanya akan berdampingan menyelesaikan tugas sebagai Gub-Wagub. Saya pikir, tak lama lagi ia akan maju jadi Capres atau Cawapres untuk menutupi ketidakmampuan dan ketidakbecusnya itu.

Bagi orang hipokrit seperti dia, prestasi dan jejak baik bukanlah segalanya. Apalagi ia telah punya sebuah mantra ampuh: pemimpin itu yang penting seiman!

Ia akan terus jualan agama. Sebuah preseden yang terasa primitif sekali di masa, di mana semua manusia saling terhubung di dunia maya dan mereka saling berkelindan satu sama lain. Mereka ini mengingkari harkat kemanusiaan paling dasar bahwa mereka harus hidup di masa datang!

***

Editor: Pepih Nugraha