Kepala Daerah Bermental Nyanyian Hetty Koes Endang, Apa Maksudnya?

Minggu, 1 April 2018 | 19:04 WIB
0
752
Kepala Daerah Bermental Nyanyian Hetty Koes Endang, Apa Maksudnya?

Pada masa lalu, sekira tahun 1980-an, penyanyi melankolis pernah mendendangkan lagiu "Dingin" yang liriknya antara lain, "Janji-janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi". Dalam konteks janji-janji kampanye kepala derah baik yang akan menjadi maupun yang sudah jadi, sudah seharusnya meninggalkan "mental" atas lirik penyanyi ini. Jangan cuma tinggal janji, sebab janji harus ditepati.

Tahu, apakah yang mereka janjikan kepada masyarakat itu kewenangannya kelak kalau jadi kepala daerah atau kewenangan provinsi atau kewenangan pemerintah pusat? Hampir tidak ada seorang kepala daerah punya kewenangan mutlak terhadap program-progaram janji kampanye, maksudnya kebijakan atau janji kampanye calon kepala daerah selalu terkait atau beririsan dengan kebijakan pemerintah pusat.

Misal, pemerintah pusat juga ada program membangun pasar-pasar untuk rakyat di setiap wilayah, provinsi dan kabupaten.

Di satu sisi ada calon gubernur dalam janji kampanyenya menjanjikan kalau terpilih akan membangun pasar, padahal pasar yang mereka janjikan adalah di wilayah kabupaten, bisa jadi pembangunan pasar ini kewenangan seorang bupati, bukan kewenangan seorang gubernur.

Tugas seorang gubernur yang membawahi banyak kabupaten/kota hanyalah mengkoordinasikan, supaya tidak saling tumpang tindih dengan program pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Makanya kadang ada seorang bupati tidak patuh dan melawan dengan kebijakan seorang gubernur. Bahkan ada seorang bupati diundang oleh seorang gubernur tidak mau datang terkait kebijakan yang mereka lakukan. Atau tugas seorang gubernur menjadi perantara antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Begitu juga dengan kebijakan menurunkan harga kebutuhan pokok, ini tugas pemerintah pusat, ada yang lewat Bulog atau Kementerian perdagangan dengan “operasi pasar” seperti menjelang bulan puasa.

Ada lagi soal kesehatan masyarakat, pemerintah pusat sudah mewajibkan masyarakat untuk ikut BPJS Kesehatan supaya kalau sakit sudah terlindungi dengan asuransi BPJS. Sekalipun ada juga biaya premi yang dibayar oleh seorang kepala daerah. Tapi program ini dari pemerintah pusat.

Bantuan kapal untuk nelayan, ini juga program Kementerian Kelautan dan Perikanan.artinya kebijakan pemerintah pusat.

Jadi, janji-janji yang oleh para calon kepala daerah mereka kampanyekan dalam bentuk program-program akan terkait dan beririsan dengan program pemerintah pusat.

Tugas kepala daerah membantu pemerintah pusat, misal ikut membantu pembebasan lahan untuk pembuatan Bendungan, pasar, jalan tol, dan lain-lain. Di sini tugas seorang kepala daerah, baik bupati dan gubernur, tanpa itu semua program-progaram pemerintah pusat dan daerah tidak berjalan.

Dalam kampanye-kampanye calon kepala daerah malah lupa, malah seakan tidak ada kalau diperhatikan dalam program-progaram kebijakan kalau terpilih seperti berkaitan dengan pelayan birokrasi yang lambat yang kadang bikin jengkel masyarakat.

Misal pelayanan dirumah sakit daerah yang begitu lambat dalam pelayanan, bahkan keburu mati. Pelayanan Dukcapil (akte kelahiran, kartu keluarga), bahkan masyarakat kadang seperti “bola pingpong” disuruh bolak-balik tidak jelas.

Atau dalam hal dunia usaha akan memangkas ijin-ijin yang terlalu banyak, mencabut Perda-Perda yang justru tumpang tindih dengan pemerintah pusat atau yang menghambat terkait dunia usaha,intinya reformasi birokrasi di pemerintah daerah.

Tapi sepertinya malah tidak menjadi perhatian oleh para calon kepala daerah karena para calon kepala daerah lebih menyasar pemilih dengan terjun langsung menemui mereka dengan janji yang “bombastis alias ngibul”.

Dan banyak calon gubernur seakan mereka menyamakan, seperti gubernur DKI Jakarta yang bisa mempunyai wewenang atau bisa mengeksekusi program janji kampanye secara langsung, bahkan bisa mengganti seorang walikota kapan dia suka dan mau. Ini berbeda dengan seorang gubernur di provinsi lain yang tidak bisa seperti gubernur DKI Jakarta.

Jangankan seorang calon kepala daerah, seorang panelis dalam debat terbuka para calon kepala daerah yang diisi oleh kalangan dunia kampus dengan gelar profesor dan doktor kadang pertanyaannya juga terlalu mengawang-awang dan tidak membumi yang sering dihadapi oleh masyarakat, cara mengajukan pertanyaannya-pun kadang seperti menguji mahasiswanya dalam sidang sekripsi atau tesis doktoral.

Mudah-mudahan para calon kepala daerah tidak terlau banyak “ngibul”. Boleh saja berjanji, tapi yang reaslis saja dan memang kewenangannya. Masyarakat juga sudah males dengar janji para politikus atau pemburu jabatan.

***

Editor: Pepih Nugraha