Advokator atau Provokator? Membidik Mahasiswa sebagai "Billboard"

Rabu, 21 Maret 2018 | 22:07 WIB
0
736
Advokator atau Provokator? Membidik Mahasiswa sebagai "Billboard"

Awal tahun 2000-an, setidaknya ada tiga kawasan wisata di Jabodetabek yang rajin menempel-nempelkan sticker mereka di kaca belakang kendaraan para pengunjungnya. Seaworld Ancol dengan sticker ikan lumba-lumbanya, Taman Safari Puncak dengan sticker harimaunya dan Taman Buah Mekarsari dengan tulisan warna-warninya. Sticker itu seakan-akan tanda bahwa yang punya kendaraan itu adalah tukang piknik yang mabrur.

Kegiatan branding memang memerlukan kreativitas yang tinggi, karena tidak saja bertujuan sekedar sebuah merk dikenal saja, tetapi jauh melampaui itu. Merk dikenal tapi produknya tidak ada yang beli pun tak ubahnya gadis cantik yang ditakdirkan menjomblo. Bahkan, setelah produknya pun dibeli orang, kegiatan branding tidak berhenti sampai di situ.

Dalam dunia marketing, tahapan kegiatan branding secara teoritis harus mencakup 5 tahapan kegiatan yang merupakan pola pembelian konsumen, yaitu: aware, appeal, ask, act dan advocate. Pada mulanya orang kenal dulu, lalu tertarik, kemudian tanya, dilanjut dengan proses pembelian dan berakhir di tahap merekomendasikan.

Perubahan perilaku pasar di zaman digital ini menyebabkan adanya pergeseran barometer ketika seorang konsumen dikatakan loyal. Dulu, loyalitas itu dilihat saat konsumen melakukan pembelian kembali (repeat order), namun sekarang tidaklah cukup, loyalitas tertinggi ada pada saat orang tersebut selain membeli, juga merekomendasikan ke orang lain.

Nah, pada saat sticker oleh si pengelola kawasan wisata itu ditempelkan ke kendaraan pengunjung, dan pengunjung dengan senang hati menerimanya, bahkan kadang minta sticker lebih ke petugasnya, hal ini menunjukkan bahwa si pengunjung itu telah menjadi tukang merekomendasikan alias advocator secara gratis.

Saat di kampung dulu, saya pun sering memperhatikan Wa Haji dengan mobil Kijang kotaknya selalu bangga dengan sticker itu seakan dia berkata, “Nih gw sudah ke Ancol, lo semua kapan? Kurang piknik banget dah kalian semua…!!!”

Jaman now bagaimana?

Yang punya merk boleh-boleh saja menempel atribut merknya di mobil, motor, helm atau media apa pun yang kita pakai asal saja mereka bayar. Generasi jaman now harus mata duitan. Kalau bisa saat batuk didengar oleh orang lain pun, maka batuk itu harus di-monetized, harus jadi duit.

Wrapify, sebuah start up dari Amerika, pada tahun 2015 meluncurkan aplikasi dimana setiap mobil yang ditempeli sticker dan atribut sebuah merk, maka si pemilik mobil akan mendapat imbalan sejumlah uang. Dalam kurun waktu hanya 1,5 tahun saja, mereka sukses dengan bisnis itu yang dibuktikan dengan suntikan dana dari Avery Dennison, perusahaan branding dan data informasi terkemuka di AS.

Kepopuleran Wrapify ini mendorong banyak start up Indonesia melakukan hal yang serupa. Sebut saja start up seperti Karta, Ubiklan, StickEarn, Iklanqu, KarAds, Promogo, Doqar, Sticar dan yang terakhir ADSvokat. Mereka akan menempelkan materi iklan di badan kendaraan (mobil, motor, bahkan helm) untuk kemudian membayar ke yang punya kendaraan (Advocator) sejumlah uang berdasarkan jarak yang ditempuh, bahkan sebagian besar dari mereka menyaratkan minimal jarak tempuh.

Ini akan menarik bagi kalian yang punya kendaraan baik mobil maupun motor, jarak tempuh dari rumah ke tempat gebetan saat mau ngajak kencan gebetan, bisa dijadikan uang. Ini berarti biaya pacaran jatuhnya akan semakin murah. Apalagi kalau pacarnya senang “memanfaatkan” pasangannya untuk antar sana-sini termasuk antar keluarganya ke hajatan kawin.

Khusus start up yang disebutkan terakhir, ADSvokat, mereka jeli melakukan positioning sekaligus diferensiasi dengan para kompetitornya. Segmen yang dibidiknya lebih tajam dengan mengambil ceruk segmen mahasiswa. Para mahasiswa akan menjadi brand ambassador dari merk-merk yang menjadi mitra ADSvokat.

Mahasiswa tidak saja sebagai media berjalan, tetapi mereka harus tampil menjadi brand ambassador yang sesungguhnya dari merk yang dia usung. Sehingga, para mahasiswa yang sudah tergabung menjadi ADSvokator akan dibekali dan dilibatkan dalam wadah networking untuk pengembangan diri serta trik pemasaran dari para pakar.

Hal yang menarik lainnya adalah kegiatan yang ditawarkan oleh ADSvokat ini adalah penggabungan dari medium iklan konvensional dan digital yang dilakukan oleh para mahasiswa. Kalau bahasa kerennya disebut aggregating youth, kalau bahasa Orba-nya disebut ‘pemberdayaan kawula muda’, kalau bahasa Pantura-nya disebut ‘Yang Muda Yang Berkarya’.

[irp posts="12677" name="Jackie Chan Ciptakan 4 Personal Branding Ini dari Bruce Lee"]

Contoh kegiatan mereka misalnya kegiatan atribut sticker di laptop, helm atau property mahasiswa lainnya, photo selfie dan sharing media, serta berbagai kegiatan off line yang lain. Semua itu ada parameternya masing-masing yang kemudian dihitung dan muncul dalam bentuk nominal sejumlah uang yang akan diterima oleh mahasiswa ADSvokator ini. Seru ya…

Intinya gini, seorang brand ambassador itu harus bisa menjadi atau mendekati pusat perhatian. Hal ini penting untuk mendapatkan impresi dari merk yang diusungnya. Nah, jika kamu seorang yang belum berpasangan dan setiap jalan di keramaian selalu merasa seolah-olah selalu diperhatikan orang karena kesendirianmu, maka kamu layak menjadi brand ambassador.

Bayangkan, rasa minder pun bisa menjadi uang.

Kreatif sekali, bukan?

***

Editor: Pepih Nugraha