TKI Dipancung di Arab Saudi dan Hukuman “Qishash”

Selasa, 20 Maret 2018 | 08:27 WIB
0
958
TKI Dipancung di Arab Saudi dan Hukuman “Qishash”

Untuk kesekian kalinya, kasus hukuman mati TKI di Arab Saudi terjadi lagi walaupun dengan berbagai upaya diplomatik sudah dijalankan, namun nampaknya sulit menembus “kerelaan” pihak pemerintahan Raja Salman untuk memberikan keringanan hukuman. Bahkan, sebagaimana dilansir situs detik.com, Presiden Joko Widodo sudah tiga kali melobi pihak pemerintahan Arab Saudi, namun hukuman pancung tetap dilaksanakan kepada Muhammad Zaini Misrin Arsyad, TKI asal Madura, Jawa Timur.

Zaini yang bekerja sebagai supir ini dituduh telah melakukan pembunuhan atas majikannya, Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy pada 2004 silam.

Praktik hukuman pancung memang sudah diberlakukan di Arab Saudi dengan mengacu pada hukum “qishash” yang tertuang secara tekstual dalam kitab suci Al-Quran. Setiap negara memang mempunyai delik hukumnya sendiri-sendiri dan tentu saja menjadi wilayah otoritatif negara yang bersangkutan.

Arab Saudi, sebagai negara Islam, tentu saja dalam soal penetapan hukum, mengacu kepada hukum Islam, sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Quran dan perluasannya disesuaikan dengan praktik umat muslim masa lalu (syar’un man qablana) yang umumnya dapat ditemukan dalam riwayat-riwayat hadis yang berasal dari ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad.

Hukum pancung selalu saja menjadi pro dan kontra, terutama bagi suatu masyarakat yang tidak menerapkan kebijakan hukum agama didalamnya. Walaupun tak sedikit, ada juga kebijakan negara-negara tertentu yang menerapkan hukuman mati untuk kasus-kasus yang dianggap pelanggaran berat.

Di Indonesia saja, hukuman mati itu tetap diberlakukan, bagi mereka yang terbukti membunuh dengan perencanaan atau kepemilikan narkoba dalam jumlah besar. Melihat dari model hukuman mati dengan cara yang berbeda-beda, memang hukuman pancung tampak terkesan “mengerikan”, walaupun melihat dari sebab diberlakukannya jelas terkait dengan perbuatan seseorang yang melanggar hukum juga karena sebelumnya membunuh orang lain.

Tujuan ditegakkannya sebuah hukum tentu saja menjaga keteraturan hidup dalam masyarakat, sehingga setiap hak dan kewajiban masyarakat akan dipenuhi oleh negara. Hal ini selaras dengan ditegakkannya hukum dalam koridor syariat Islam (maqashidu as-syari’ah) yang juga bermuara pada “hifdzunnafs” (menjaga kehidupan); “hifdzu ad-diin” (memelihara agama); “hifdzul ‘aql” (memelihara akal); dan “hifdzu an-nasb” (memelihara keturunan).

Kesemuanya tentu saja bertujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia, sehingga dengan tegaknya suatu hukum yang disepakati—baik hukum moral, sosial dan negara—adalah upaya membangun tata kelola masyarakat yang lebih adil dan beradab.

Kembali pada praktik hukuman pancung yang diberlakukan di Arab Saudi, kepada siapapun yang berada dalam wilayah hukumnya, pasti memiliki tujuan yang sama, yaitu menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat manusia. Praktik hukum pancung yang diberlakukan pemerintahan Raja Salman, tentu saja berasal dari hukum Islam, dengan Al-Quran sebagai pedomannya, sebagaimana tertulis dalam surat Al-Maidah ayat 45: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.

Hukum Islam yang berdasarkan pada Al-Quran, seperti penetapan hukum “Qishash”, mengacu pada kitab suci sebelumnya, yaitu Taurat. Dalam Kamus Mu’jam al-Jaami’, “al-qishash” berarti “an yuwaqqa’a ‘ala al-jaani mitslu maa jaana” (sesuatu yang ditetapkan—melalui hukuman—kepada orang yang berbuat kesalahan atau dosa) sesuai dengan dosa atau kejahatan yang diperbuatnya).

Pola hukum seperti ini tentu saja “paling adil” karena setiap seseorang melakukan perbuatan salah dan melanggar hukum, maka ganjarannya sama dengan hukuman atas perbuatannya yang telah  dilakukan. Maka, ketika seseorang membunuh, hukumannya adalah dibunuh, melukai maka hukumannya sama harus dilukai secara setimpal.

Walaupun hukum qishash diterapkan sedemikian ketat, namun upaya pemberian maaf oleh pihak korban kepada pelaku, tentu saja dapat membatalkan hukuman apapun, termasuk qishash. Hal ini sesuai dengan praktik yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dimana salah satu bibi dari sahabatnya Anas bin Nadlir bernama Rabi’ dituduh melakukan pelanggaran hukum sebanyak dua kali. Lalu, pihak keluarga Rabi’ meminta agar dapat dimaafkan oleh masyarakat, namun mereka menolaknya.

Maka, Nabi Muhammad ketika mengetahui hal ini, menyatakan, “lakukan qishash”. Lalu, Anas melobi kepada Nabi dan menyakakan,”benarkah anda akan melakukannya, padahal kesalahannya baru dua kali?”. Nabi menjawab, “Hai Anas, ketetapan hukuman yang dilakukan sesuai dengan kitabullah adalah qishash”. Lalu, Anas menyatakan, “demi dzat yang mengutusmu dengan benar, dirinya tidak melakukan kesalahan dua kali”. Lalu, masyarakat akhirnya memaafkan Rabi’ dan batallah hukuman qishash atasnya.

Saya kira, hukum qishash menjadi sesuatu hukuman yang tak juga “mengerikan” jika mampu masing-masing pihak berdamai, melalui kekuatan lobi yang tidak hanya dilakukan pemerintah ke pemerintah yang bersangkutan, tetapi juga lebih intensif untuk melobi pihak keluarga korban. Ketulusan hati keluarga korban yang mau memaafkan, mungkin saja dapat membebaskan Zaini dari hukuman pancung atau minimal diganti dengan hukuman lainnya.

Saya kira, pernyataan Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo yang menyoal bahwa hukuman pancung yang ditimpakan kepada Zaini di Arab Saudi, merupakan pelanggaran hak asasi manusia paling dasar, yaitu hak untuk hidup tak juga dapat dibenarkan. Pasalnya, jika memang bukti-bukti sudah terpenuhi dan tertutupnya pintu maaf dari pihak korban, maka pengadilan setempat sudah tentu akan memberlakukan hukuman qishash atas pelaku yang terbukti melakukan pembunuhan.

Lagi pula, setiap negara memiliki otoritas hukum tersendiri yang tak mudah diintervensi pihak lain karena itu merupakan kedaulatan hukum yang sudah semestinya ditegakkan. Sulit rasanya jika-pun pemerintah melakukan langkah diplomatik dengan mengirim nota protes kepada pemerintahan Arab Saudi, lalu kejadian seperti serupa tak akan terulang.

Toh, seperti nota protes pemerintah Indonesia kepada pemerintahan AS atas kasus penolakan Jenderal Gatot Nurmantyo sejauh ini ditanggapi secara biasa dan pemerintah AS cukup meminta maaf dan selesailah kasus ini. Setiap negara memiliki kedaulatan hukum tersendiri yang tak mungkit dapat mudah diganggu-gugat oleh pihak atau kepentingan lainnya. Jadi, yang terpenting, kita memang harus sama-sama menghormati hukum, jika salah ya tentu saja harus menerima konsekuensi hukumannya dan mengikuti sesuai dengan tradisi hukum yang telah ditetapkan.

***