Wiranto Inisiatif, KPK Tunda Penetapan Tersangka Calon Kepala Daerah?

Minggu, 11 Maret 2018 | 17:45 WIB
0
744
Wiranto Inisiatif, KPK Tunda Penetapan Tersangka Calon Kepala Daerah?

Akhirnya, Menko Polhukam Wiranto turun tangan untuk “menyelesaikan” polemik adanya calon kepala daerah yang berpotensi dijadikan tersangka oleh KPK terkait kasus korupsinya, seperti yang telah disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo dalam pekan lalu.

Wiranto pun memanggil Mendagri Tjahjo Kumolo dan Pimpinan KPK untuk membicarakan hal tersebut. Sebelumnya, Agus Rahardjo mengatakan, menjelang Pilkada Serentak 2018 ada beberapa cakada yang akan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

“Ini coba saya akan minta Mendagri, KPK bincang-bincang, kita bicarakan yang terbaik bagaimana,” kata Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat 9 Maret 2018, seperti dikutip CNN Indonesia.

Ia berharap, dengan adanya perbincangan antara kedua pihak tersebut, kegaduhan menjelang pilkada 2018 tidak akan terjadi. Namun, di sisi lain pertemuan tersebut diharapkan tidak akan menganggu proses penegakan hukum.

Menurut Wiranto, pemerintah telah melakukan evaluasi terkait banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) terhadap cakada di tengah proses pelaksanaan pilkada. Ia menilai, sejumlah penangkapan tersebut meresahkan masyarakat.

Sehingga mungkin perlu bicara dengan KPK, semuanya bisa dibicarakan dengan baik. Jangan dipolemikan di masyarakat. Begitu pesan Wiranto. Senin, 12 Maret 2018, Wiranto berencana melaksanakan rapat dengan KPU untuk membahas berbagai persiapan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019 serta berbagai permasalahan yang berpotensi akan muncul.

Komisioner KPU Ilham Saputra membenarkan adanya rencana pertemuan dengan Wiranto. Meski begitu, ia mengaku masih belum menerima undangan pertemuan tersebut. “Persiapan pemilu saja, dua-duanya (pilkada dan pemilu),” ujar Ilham saat dikonfirmasi media.

Pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengaku sudah mengantongi nama-nama calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2018 yang berpotensi menjadi tersangka korupsi telah membuat gerah banyak pihak, terutama para cakada tersebut.

“Informasi yang kami dapatkan saat ini ada beberapa calon yang maju Pilkada Serentak 2018 most likely (di antaranya) 90 persen lebih akan menjadi tersangka,” katanya saat memberikan sambutan pada acara Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK tentang Penanganan Korupsi dalam Pelaksaan Pilkada Serentak 2018, pada Selasa 6 Maret 2018 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara.

Agus Rahardjo belum mau membocorkan siapa saja para calon kepala daerah yang dimaksud. Ia hanya berkata bahwa sebagian besar cakada yang akan menyandang status tersangka itu bertarung di Pilkada Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Ia hanya memberikan kriteria, status tersangka membidik calon petahana dan yang sudah berhenti dari jabatan lama, namun mencalonkan kembali untuk jabatan yang lebih tinggi. Sayangnya Agus Rahardjo tak mau menyebutkan siapa saja mereka.

“Ada yang petahana, ada yang sudah berhenti dari jabatannya, tapi sekarang maju untuk pilkada pada tingkatan yang lebih tinggi,” ujarnya. Pihaknya akan melakukan gelar perkara untuk mempertimbangan status hukum dan waktu pengumuman cakada yang tersandung kasus korupsi itu.

Menurut Agus Rahardjo, KPK ingin pengumuman itu dilakukan sebelum hari pemungutan suara berlangsung. Harapannya, supaya masyarakat tidak salah memilih calon pemimpin di daerahnya.

“Kalau bisa, sebelum pemilihan berlangsung. Sehingga, tidak perlu dipilih dan masyarakat tidak kecewa atas pilihannya nanti,”tegasnya. Hal itu disampaikannya merespons pertanyaan terkait terjaringnya kembali kepala daerah, yaitu Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra dan calon gubernur Sulawesi Tenggara Asrun, lewat OTT.

“Jadi sebenarnya kami sudah mempelajari juga karena ada beberapa cakada yang mau kompetisi di Pilkada yang akan datang ini, padahal kami tahu persis yang bersangkutan tidak akan lama lagi jadi tersangka,” kata Agus di gedung KPK, Jakarta, Rabu 28 Februari 2018.

Ia menyebut saat ini pihaknya tengah mendiskusikan kemungkinan para cakada yang bakal menjadi tersangka diumumkan kepada publik agar masyarakat tak salah pilih dalam pesta demokrasi lima tahunan di daerahnya masing-masing.

Sementara itu, Agus Rahardjo menyebut OTT yang menyasar cakada dalam beberapa pekan belakangan adalah bentuk peringatan keras agar tidak main-main dalam berkompetisi dan menggunakan uang rakyat.

Dari pendalaman KPK, lanjutnya, para cakada yang tertangkap tangan menerima suap, kerap menggunakan uang tersebut untuk kampanye dan pemenangan mereka dalam Pilkada. “Jadi, peringatan keras buat teman-teman terutama incumbent yang kemudian melakukan kompetisi itu,” ujar Agus Rahardjo.

Nama-nama tersangka

Menurutnya, sejauh ini pihaknya terus mendapat informasi dari masyarakat terkait dugaan penerimaan uang oleh cakadaepala daerah, terutama petahana yang berlaga dalam Pilkada serentak 2018. Namun, dia tak menyebut calon kepala daerah yang dimaksud.

“Oleh karena itu, info sudah banyak yang masuk, dan tidak menutup kemungkinan daerah lain bisa bertambah lagi kalau mereka tidak berhenti,” kata Agus Rahardjo. Dalam dua bulan terakhir, KPK menangkap cakada yang ikut kontestasi Pilkada Serentak 2018.

Nama-nama tersebut termasuk Bupati Jombang Nyono Suharli yang maju kembali sebagai cabup Jombang dan Bupati Ngada Marianus Sae yang maju sebagai cagub Nusa Tenggara Timur (NTT), Bupati Subang Imas Aryumningsih yang maju sebagai cabup Subang.

Selain itu, ada pula Bupati Lampung Tengah Mustafa yang maju menjadi cagub Lampung, dan terbaru mantan Walikota Kendari Asrun yang maju sebagai cagub Sulawesi Tenggara. Dus, siapa yang dimaksud Agus Rahardjo cakada bakal menyusul mereka?

Yang jelas, menurut Ketua KPK itu, mereka adalah cakada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Ia hanya memberikan kriteria, calon petahana dan yang sudah berhenti dari jabatan lama, namun mencalonkan kembali untuk jabatan yang lebih tinggi.

Menurut Agus Rahardjo, KPK mendapatkan 368 laporan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh cakada.‎ Laporan tersebut diterima KPK dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Dari 368 laporan tersebut, pihaknya bersama dengan PPATK telah menganalisa dan ada 34 cakada yang terindikasi kuat terlibat dalam praktik korupsi.‎ Ia pun berjanji akan mengusut dugaan korupsi yang dilakukan oleh 34 cakada tersebut.

“PPATK sudah sampaikan laporan hasil pemeriksaan, (ada) 368 laporan. Hasil analisanya 34 (calon kepala daerah). Itu pasti akan jadi bahan kami untuk tindaklanjuti di KPK,” katanya usai pertemuan penguatan kerjasama dengan PPATK di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 6 Maret 2018.

Menurutnya, dari 34 cakada yang diduga terlibat tindak pidana korupsi, hampir seluruhnya akan menjadi tersangka.‎ Namun memang, KPK butuh waktu untuk menetapkan tersangka para cakada tersebut. Siapa saja mereka ini, KPK belum membukanya.

Langkah KPK menangkapi cakada yang tersangkut kasus korupsi harus dipandang sebagai langkah konkrit dalam mempertahankan demokrasi yang substansial. Dan, KPK ingin Pilkada Serentak 2018 tidak tercederai dengan kasus korupsi cakada tersebut.

Langkah KPK yang secara terbuka untuk “menghadang” cakada yang terlibat kasus korupsi ini mestinya segera ditindaklanjuti oleh KPU dengan terobosan hukum dan Peraturan KPU. Artinya, jika cakada itu sudah cukup bukti korupsi, dia harus didiskualifikasi.

Sehingga, tidak harus menunggu selesainya persidangan di Peradilan Umum (pidana) atau di Peradilan Tipikor (korupsi). Sebab, kalau dia harus mengundurkan diri dalam kontestasi itu, cakada ini bisa terancam Pasal 191 ayat (1) UU Pilkada.

Dalam Pasal 191 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota itu disebutkan, para cagub-cawagub, cabup-cawabup hingga cawali-cawawali tidak boleh mengundurkan diri hingga sampai tahap pelaksanaan pemungutan suara.

Bagi cakada yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon akan dipidana penjara paling singkat 24 bulan hingga paling lama 60 bulan. Tak hanya itu, denda juga akan dikenakan pada cakada yang mengundurkan diri tanpa alasan yang kuat paling sedikit Rp 25 miliar dan paling banyak Rp 50 miliar (sesuai Pasal 191 ayat (2) UU/2016).

Bisa jadi, “pasal denda” inilah yang menghantui para cakada yang mundur dari pencalonan tersebut. Namun, jika dia dinyatakan sebagai tersangka dengan cukup bukti sesuai peraturan perundangan yang berlaku, mestinya ini masuk katagori force majeure.

Karena, ditangkapnya cakada itu merupakan suatu peristiwa yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan, sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Solusinya: diskualifikasi!

Di sinilah sudah seharusnya KPU bertindak lebih bijak dengan membuat PKPU soal bacada yang dijadikan tersangka oleh KPK. Sehingga, Pilkada Serentak 2018 sesuai dengan yang diinginkan KPK, tidak ada lagi cakada yang terlibat korupsi!

***

Editor: Pepih Nugraha