Tsamara Amany; Junior, Women, and Citizen

Sabtu, 10 Maret 2018 | 15:05 WIB
0
903
Tsamara Amany; Junior, Women, and Citizen

Namanya Tsamara, tapi saya sering membaca dan melafalkannya sebagai Asmara. Lebih mudah diingat dan dirasakan. Hacis...!!!

Tulisan ini tidak membahas tentang pribadi dia secara khusus, apalagi sampai ngulik-ngulik apakah sudah berpasangan atau belum. Tidak sama sekali. Photo itu sengaja diunggah sebagai stopping power aja bagi yang sedang scrolling timeline.

Beberapa pakar marketing menyebut zaman now ini sebagai New Wave Culture, sebuah budaya gelombang baru yang juga bermakna adanya pergeseran yang (bahkan) berkebalikan. Di dalamnya ada sebuah kenyataaan bahwa dunia marketing sekarang didominasi oleh 3 kekuatan besar yaitu JUNIOR, WOMEN dan NETIZEN.

Para orang tua zaman dulu, untuk membangun sebuah brand perusahaan mereka memerlukan puluhan tahun dengan biaya yang tidak sedikit. Namun anak JUNIOR sekarang, untuk melakukan hal yang sama mereka hanya perlu beberapa tahun saja dengan biaya yang relatif lebih murah.

Coba kita tengok cerita kripik singkong Mak Icih yang melejit hanya bermodal dan memanfaatkan kehiruk-pikukan permainan di media sosial saja, atau cerita sukses steak Holycow yang lahir dan tumbuh dengan kekuatan endorser orang radio di media sosial.

Pergeseran dari dominasi Senior ke Junior ini tetap mempunyai gap yang cukup serius. Para orang tua merasa merekalah sebagai pemilik kebijaksanaan (wise) karena usia dan pengalaman hidupnya, sementara para anak muda melihat cara-cara yang dilakukan oleh para orang tuanya sudah tidak relevan lagi. Bahkan bisa jadi, sang Senior tiba-tiba terjangkit gejala post power syndrome dan melihat sang Junior itu sebagai "ancaman".

Di tataran kehidupan politik kita bisa dengan jelas melihatnya. Misalnya, beberapa politikus senior seakan melecehkan sang Junior dengan menyampaikan beberapa wejangan satire seperti diminta untuk meluruskan kencing dulu atau mereka berbaik hati akan membawakan permen kepada para politikus Junior.

**

Nah, kekuatan kedua dipegang oleh WOMAN.

Di zaman dulu seakan sudah menjadi ketetapan final kalau kaum pria (MEN) sebagai pengatur dunia ini. Kaum perempuan cukup sebagai secondary layer bahkan sekedar pelengkap.

Kehidupan internet telah memberikan pintu yang sangat luas bagi mahluk ciptaan Tuhan yang hobinya ngomel dan cerewet seperti kaum hawa ini. Kondisi ini memberi keuntungan bagi kaum perempuan untuk eksis, beraktualisasi diri dan terbuka menyampaikan gagasan.

[irp posts="8546" name="Selamat Datang di Dunia Politik Tsamara Amany!"]

Dan kita lihat, tanpa gembar-gembor atas nama kesetaraan gender, kaum perempuan semakin banyak yang tampil menjadi srikandi-srikandi dunia yang sesungguhnya.

Pergeseran dari MEN ke WOMAN ini bukan tanpa gap. Banyak kaum pria yang masih gagap dan belum bisa move on dengan perubahan ini.

Di tataran politik kita pun bisa melihatnya, sampai-sampai sebuah partai baru yang 66% keterwakilannya adalah kaum perempuan tak luput dijadikan target perundungan (bully). Coba lihat bagaimana mereka memplesetkan nama partai itu ke dalam singkatan yang hanya dimengerti oleh kaum yang (maaf) gampang ngacengan.

Atau ketika seorang perempuan tampil menjadi pemimpin sebuah negeri atau wilayah, maka rujukan ayat kitab suci dan hadist menjadi pelurunya.

**

Sampailah kita kepada kekuatan yang terakhir, yaitu NETIZEN.

Pergeseran dari CITIZEN ke NETIZEN adalah konsekuensi logis zaman internet yang membuat dunia menjadi flat dan nyaris ada di genggaman. Dunia ada dalam kendali jari jemari kita yang lentik.

Kentut di Sabang (lagi-lagi maaf), dalam hitungan detik baunya sudah sampai di Merauke. Hal ini menunjukkan bahwa kanal komunikasi zaman sekarang itu sungguh menakjubkan. Murah dan cepat.

Seandainya kanal komunikasi seperti ini terjadi saat zaman Orde Baru, bisa dipastikan kekuasaan itu tidak akan mencapai 32 tahun.

Oia, ulasan tentang kekuatan JUNIOR, WOMEN dan NETIZEN sebagai dominasi pasar di zaman now ini, setidaknya bertali simpul dengan sosok Dik Asmara ini, eh Tsamara.

Selamat wiken, jangan lupa bahagia.

***

Editor: Pepih Nugraha