Namanya Tsamara, tapi saya sering membaca dan melafalkannya sebagai Asmara. Lebih mudah diingat dan dirasakan. Hacis...!!!
Tulisan ini tidak membahas tentang pribadi dia secara khusus, apalagi sampai ngulik-ngulik apakah sudah berpasangan atau belum. Tidak sama sekali. Photo itu sengaja diunggah sebagai stopping power aja bagi yang sedang scrolling timeline.
Beberapa pakar marketing menyebut zaman now ini sebagai New Wave Culture, sebuah budaya gelombang baru yang juga bermakna adanya pergeseran yang (bahkan) berkebalikan. Di dalamnya ada sebuah kenyataaan bahwa dunia marketing sekarang didominasi oleh 3 kekuatan besar yaitu JUNIOR, WOMEN dan NETIZEN.
Para orang tua zaman dulu, untuk membangun sebuah brand perusahaan mereka memerlukan puluhan tahun dengan biaya yang tidak sedikit. Namun anak JUNIOR sekarang, untuk melakukan hal yang sama mereka hanya perlu beberapa tahun saja dengan biaya yang relatif lebih murah.
Coba kita tengok cerita kripik singkong Mak Icih yang melejit hanya bermodal dan memanfaatkan kehiruk-pikukan permainan di media sosial saja, atau cerita sukses steak Holycow yang lahir dan tumbuh dengan kekuatan endorser orang radio di media sosial.
Pergeseran dari dominasi Senior ke Junior ini tetap mempunyai gap yang cukup serius. Para orang tua merasa merekalah sebagai pemilik kebijaksanaan (wise) karena usia dan pengalaman hidupnya, sementara para anak muda melihat cara-cara yang dilakukan oleh para orang tuanya sudah tidak relevan lagi. Bahkan bisa jadi, sang Senior tiba-tiba terjangkit gejala post power syndrome dan melihat sang Junior itu sebagai "ancaman".
Di tataran kehidupan politik kita bisa dengan jelas melihatnya. Misalnya, beberapa politikus senior seakan melecehkan sang Junior dengan menyampaikan beberapa wejangan satire seperti diminta untuk meluruskan kencing dulu atau mereka berbaik hati akan membawakan permen kepada para politikus Junior.
**
Nah, kekuatan kedua dipegang oleh WOMAN.
Di zaman dulu seakan sudah menjadi ketetapan final kalau kaum pria (MEN) sebagai pengatur dunia ini. Kaum perempuan cukup sebagai secondary layer bahkan sekedar pelengkap.
Kehidupan internet telah memberikan pintu yang sangat luas bagi mahluk ciptaan Tuhan yang hobinya ngomel dan cerewet seperti kaum hawa ini. Kondisi ini memberi keuntungan bagi kaum perempuan untuk eksis, beraktualisasi diri dan terbuka menyampaikan gagasan.
[irp posts="8546" name="Selamat Datang di Dunia Politik Tsamara Amany!"]
Dan kita lihat, tanpa gembar-gembor atas nama kesetaraan gender, kaum perempuan semakin banyak yang tampil menjadi srikandi-srikandi dunia yang sesungguhnya.
Pergeseran dari MEN ke WOMAN ini bukan tanpa gap. Banyak kaum pria yang masih gagap dan belum bisa move on dengan perubahan ini.
Di tataran politik kita pun bisa melihatnya, sampai-sampai sebuah partai baru yang 66% keterwakilannya adalah kaum perempuan tak luput dijadikan target perundungan (bully). Coba lihat bagaimana mereka memplesetkan nama partai itu ke dalam singkatan yang hanya dimengerti oleh kaum yang (maaf) gampang ngacengan.
Atau ketika seorang perempuan tampil menjadi pemimpin sebuah negeri atau wilayah, maka rujukan ayat kitab suci dan hadist menjadi pelurunya.
**
Sampailah kita kepada kekuatan yang terakhir, yaitu NETIZEN.
Pergeseran dari CITIZEN ke NETIZEN adalah konsekuensi logis zaman internet yang membuat dunia menjadi flat dan nyaris ada di genggaman. Dunia ada dalam kendali jari jemari kita yang lentik.
Kentut di Sabang (lagi-lagi maaf), dalam hitungan detik baunya sudah sampai di Merauke. Hal ini menunjukkan bahwa kanal komunikasi zaman sekarang itu sungguh menakjubkan. Murah dan cepat.
Seandainya kanal komunikasi seperti ini terjadi saat zaman Orde Baru, bisa dipastikan kekuasaan itu tidak akan mencapai 32 tahun.
Oia, ulasan tentang kekuatan JUNIOR, WOMEN dan NETIZEN sebagai dominasi pasar di zaman now ini, setidaknya bertali simpul dengan sosok Dik Asmara ini, eh Tsamara.
Selamat wiken, jangan lupa bahagia.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews