Catatan ILC Moslem Cyber Army (1): Berita Penting dan Berita Umum

Kamis, 8 Maret 2018 | 23:20 WIB
0
910
Catatan ILC Moslem Cyber Army (1): Berita Penting dan Berita Umum

Diskusi ILC TV One semalam ditandai dengan “hoax” tafsir penggalan ayat 191 surah Al Baqarah, “Alfitnatu asysyadu minal qatl, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.” Diucapkan dengan fasih oleh Raja Juli Antoni dan juga Fadli Zon.

Fitnah dalam ayat itu ditafsirkan sebagai hoax, atau berita bohong. Padahal kalau kita baca sejumlah kitab tafsir, tidak satu pun yang menafsirkan seperti itu.

Tafsir Ibnu Katsir menyebutnya, kekafiran, kemusyrikan, dan berpaling dari jalan Allah Ta’ala yang meliputi diri mereka itu lebih berat, kejam dan dahsyat bahayanya dari pada pembunuhan.

Sayyid Quthb dalam Tafsir Fidzilalil Qur’an mengatakan, fitnah itu berupa intimidasi maupun perbuatan nyata atau berupa peraturan dan perundang-undangan bejat yang dapat menyesatkan manusia, merusak dan menjauhkan mereka dari manhaj Allah serta menganggap indah kekafiran dan memalingkan manusia dari agama Allah itu.

Tafsir Jalalain menyebut, fitnah itu sama dengan kemusyrikan mereka.

Mau yang tafsir jaman now? Sama saja. M. Qurasih Sihab (MQS ) dalam tafsir Al Mishbah menulis, “Jika yang dimaksud kata “mereka” pada ayat ini adalah mereka yang secara umum melakukan agresi terhadap kaum muslimin, maka kata “fitnah” berarti segala bentuk ketidak adilan, baik penganiayaan fisik, maupun kebebasan beragama , karena hal itu merupakan bentuk permusuhan".

Nah, berarti konteks ayat itu yang ditafsirkan sebagai, "berita bohong itu sama dengan pembunuhan",  kalau nggak mau disebut hoax ya nggak nyambung lah. Tapi bukan berarti berita bohong itu dibenarkan. Ada ayat khusus bicara soal itu. Ayat yang dikutip oleh UAS pada cupilkan tanya jawab dengan Kapolri, dan yang diucapkan oleh Ustadz Hilmi Firdausi pada diskusi ILC itu.

Ayat 6 surah Al Hujurat. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Ayat di atas untuk kata "berita" menggunakan kata “naba” (berita besar) "bi nabain" bukan “khabar” (berita umum). MQS dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi, hal 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan “khabar” menunjukkan berita secara umum.

Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.”

Awalnya, M. Syafi Ali alias Savic Ali mau keluar dari pembicaraan soal MCA. Menurut Savic ada yang lebih besar ketimbang soal MCA. Padahal apa yang Pak Polisi ungkapkan dari hasil penyelidikannya soal kasus Family MCA sudah masuk kategori “Naba.” Nampaknya Savic ingin memperluas pembicaraan, bukan sekedar pro kontra MCA.

Savic memulainya dengan apa yang dia sebut, Hoax industry, Outrage industry, semacam propaganda kebencian yang terstrukur gitu dengan mengambil contoh luar negeri.

Savic nyerah juga kalau harus ngasih contoh terlalu jauh ke luar negeri yang belakangan oleh Bang Karni Ilyas disebut nggak nyambung. Savic balik ke dalam negeri. Memberi contoh MCA.

Nampaknya Savic masih mengambil posisi netral, ditandai dengan menyebut HRS dengan ustadz Riziek Shihab, dia berusaha jujur mendiskripsikan MCA yang aseli. Dia menyebut MCA tidak tunggal. Ada yang pro khilafah, ada yang nggak. Ada yang sekedar memosting video ceramah para ulama, banyak juga yang sangat politis. Sampai di sini Savic masih bertahan menjadi “pengamat” yang netral.

Pertahanannya mulai jebol ketika dia menyebut banyak MCA yang menghina Kyai Said ( Agil Siradj ) yang disebut sebagai ulama kami. Kebalikan dari ucapan Kapitra yang menyebut MCA dibentuk untuk membela ulama yang sering dihujat, dihina di medsos. Berarti Savic mulai memainkan playing victim antara ulama kami dan bukan ulama kami yang sama-sama dihina.

Untuk membedakan perilaku MCA yang perilakunya tidak tunggal dan ada yang menghina “ulama kami” itu, Savic bercerita dengan bangga bagaimana dia melatih jaringan Nitizen NU, semua harus punya komitmen, nggak boleh hoax nggak boleh fitnah.

Dan sepengetahuannya terhadap jaringan Nitizen NU Savic bilang, “kami hampir tidak pernah menggunakan kata-kata yang sangat kasar apalagi nyinyir, walaupun dalam konteks demokrasi masih dibenarkan".  Sebaliknya dia menuding nitizen yang berafiliasi pada MCA banyak yang kata-katanya kasar yang ditujukan pada "ulama kami".

Tapi di penghujung “ceramahnya” Savic seakan meruntuhkan sendiri argumen yang telah dia bangun dengan cukup baik. Semakin meneguhkan bahwa berpihak adalah pilihan, netral adalah kebohongan. Belum kering bibirnya membanggakan diri melatih jaringan Nitizen NU yang anti ucapan kasar dan anti nyinyir, dia menutup ceramahnya dengan mengatakan, "Kyai Said lebih pinter dari ustadz Riziek Shihab".

Lha kalau pelatihnya saja begitu, gimana yang dilatih?

(Bersambung)

***

Editor: Pepih Nugraha