Oleh: El Hakim Law
Jagad dunia maya Indonesia kembali diramaikan dengan isu Islamophobia. Kali ini yang menjadi pihak adalah kampus vis a vis mahasiswanya dalam konteks penggunaan cadar dalam wilayah universitas. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta mengeluarkan surat resmi dengan nomor B-1031/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 sebagai dasar untuk "menindak" mahasiswinya yang mengenakan cadar selama kegiatan akademik.
Memang penindakan tersebut diawali dengan pendekatan "humanis" yakni konseling hingga yang represif yang puncaknya adalah dikeluarkan dari kampus alias DO.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah tindakan ini dibenarkan secara konstitusional mengingat Indonesia sendiri adalah negara hukum dan UUD NRI 1945 seharusnya masih jadi sumber dari segala hukum yang ada di NKRI, termasuk aturan dari kampus negeri?
Melacak Alasan Pelarangan Cadar
Pihak kampus berpandangan bahwa cadar yang dikenakan oleh mahasiswinya bisa mempengaruhi kegiatan akademik. Lansiran media online yang didasarkan dari pernyataan resmi kampus menegaskan bahwa dosen pengajar tidak bisa maksimal dalam mengajar karena tidak tahu apakah benar ini mahasiswinya atau bukan.
Termasuk adanya potensi kecurangan ketika ujian dengan kehadiran orang yang bukan seharusnya. Pedagogis menjadi ratio-legis keluarnya aturan pelarangan tersebut.
Hal yang lebih tragis lagi ketika penggunaan cadar yang juga merupakan hasil dari ijtihad ulama madzhab digeneralisir sebagai bentuk syiar atas simbol ideologi radikal yang pasti ujung-ujungnya diturunkan pada terorisme termasuk phobia atas gerakan transnasional yang secara legal sudah dibubarkan, sebut saja HTI sebagai contoh (dan ekstremnya dituduh "wahabi").
Kemudian asumsi-asumsi yang penuh bias afirmatif ini dijadikan alasan untuk menendang mahasiswi keluar dari kampus yang dibiayai dari peluh keringat uang rakyat.
[caption id="attachment_11988" align="alignleft" width="568"] UIN SUnan Kalijaga (Foto: Merdeka.com)[/caption]
Padahal faktanya pengenaan cadar bagi muslimah (bukan muslim) merupakan pilihan keyakinan yang didasarkan pada luasnya fiqih Islam. Bahkan beberapa pendapat justru menguatkan pengenaan cadar dalam kondisi yang bisa menimbulkan fitnah.
Sedangkan di zaman now yang begitu bebasnya dapat mengakses informasi termasuk mengunduh foto muslimah, tentu perlindungan atas kehormatan mereka juga menjadi yang prioritas sekaligus hak muslimah itu sendiri untuk melindungi kehormatan mereka dalam konteks cadar adalah wajah. Inilah yang setidaknya yang seharusnya diperhatikan sebagai alasan pembenar pengenaan cadar bagi muslimah (bukan muslim) di tengah era yang penuh fitnah.
Sekali lagi, preferensi fiqih seseorang tidak bisa dipaksakan terlebih jika memang secara syar'i ada dasarnya, sebagaimana tidak bijak memaksa muslim yang mengeraskan (jahr) bacaan basmalah untuk dipelankan (sirr) ketika memimpin salat karena keduanya memiliki dasar.
Termasuk memaksa muslimah melepas cadar, padahal hal tersebut adalah preferensi personal yang menjadi pilihan yang disediakan dalam fiqih Islam. Hanya orang tidak faqih yang bertindak intoleran dan represif ketika melihat khilafiyah yang oleh ulama saja dibebaskan memilih.
[irp posts="9354" name="Jilbab di Antara Agama dan Budaya"]
Lantas, bagaimana kacamata konstitusi meninjau pelarangan kampus termasuk upaya intimidatif terhadap pengenaan cadar bagi muslimah?
Mari sejenak kita membuka (atau mengunduh) kembali konstitusi bangsa kita.
Perlindungan atas Kebebasan Menjalankan Praktik Agama
Terdapat banyak pasal yang menegaskan tentang pentingnya posisi agama bagi warga negara, tidak pandang suku, agama maupun rasnya termasuk strata pendidikan. Di antara banyak pasal tersebut antara lain
1. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
2. Pasal 28E ayat (1): Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
3. Pasal 28E ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
4. Pasal 28G ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang ada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
5. Pasal 28H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
6. Pasal 28I ayat (1): Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
7. Pasal 28I ayat (2): Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
8. Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
9. Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap - tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ketentuan-ketentuan di atas secara tegas, tersurat, dan meyakinkan memberikan jaminan secara legal-konstitusional atas pengenaan cadar oleh muslimah di Indonesia vice versa segala tindakan represif-intimidatif yang tidak didasarkan pada logika hukum positif sudah selayaknya dicabut atau ditarik daripada harus menanggung dosa konstitusional. Sekali lagi, aturan pelarangan mahasiswi mengenakan cadar adalah tindakan inkonstitusional!
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh kampus untuk melarang cadar, jelas berkaitan dengan niat yang pembuktiannya memerlukan proses persidangan yang adil dan objektif, bukan asumtif dan feodal secara satu arah. Jika yang menjadi alasan adalah kenyamanan dosen, bukankah kampus tersebut adalah institusi berisi ruang toleran yang merajut titik temu perbedaan dengan cara intelek, bukan feodal?
[irp posts="9625" name="Ketika Semua Muslimah Kembali pada Hijabnya"]
Pun kalau yang menjadi excuse DO mahasiswi bercadar tersebut untuk menghindari perjokian atau titip absen, cukup cek saja wajah mahasiswi tersebut baik melalui sesama mahasiswi dibuktikan dengan KTM atau bisa langsung bila dosennya juga wanita.
Tidak perlu-lah mengadakan konseling yang secara tak langsung mendiskreditkan mahasiswi tersebut dan menganggap mereka anak bermasalah. Atau jangan-jangan ada nominal yang terkandung dibalik pelarangan praktik ibadah ini?
Oleh sebab itu, sudah selayaknya mahasiswi muslimah bercadar tidak lagi dianggap sebagai common enemy, seakan tak ada lagi permasalahan moral lain yang bahkan bisa jadi mengancam bangsa ini secara langsung seperti korupsi di tingkat rektorat atau minimal titip absen yang dianggap lumrah. Atau jangan-jangan kampus ingin membuka cadar untuk "menikmati" wajah cantik mahasiswinya?
Teruslah melawan demi kehormatanmu, wahai muslimah!
Kalau orang bugil saja merdeka, mengapa engkau harus takut?!
Tabik.
***
El Hakim Law, Founder Lingkar Studi Islam & Kepemimpinan, menulis untuk Selasar, platform berbagi pengetahuan dan pengelaman paling lengkap dan keren diIndonesia.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews