Tentang Efek Gema di Telinga dan Halusinasi Yang Memenjara

Jumat, 2 Maret 2018 | 07:35 WIB
0
444
Tentang Efek Gema di Telinga dan Halusinasi Yang Memenjara

Saya beruntung walau sangat terlambat sempat menonton sebuah film klasik, yang sedikit banyak akan membantu memberi penjelasan bagaimana seseorang bisa sangat "rusak otak"-nya tanpa pernah ia menyadarinya. Film ini juga menjelaskan banyak hal bagaimana kerja organ pendengaran, jauh lebih cepat bereaksi dibanding dengan kerja penglihatan.

Saya juga bisa lebih mudah memahami kenapa "metode ceramah" atau dalam banyak kasus bisa disebut khotbah atau dakwah atau pidato atau orasi atau apapun itu istilahnya yang jelas bersibat naratif-verbal bisa sangat cepat mempengaruhi seorang manusia.

Dalam konteks hari ini, relevansinya adalah bagaimana seorang konsultan politik, bisa memberi saran kepada calon kepala daerah atau kepala negara yang berambisi merebut atau mempertahankan kekuasaannya. Berani memberi advice untuk "merebut masjid", karena dari sanalah dimulai arena pertempuran sebenaarnya, bagaimana proses rekrutmen, intimidasi, provokasi secara efektif dapat dilakukan.

Singkat kata, disinilah kabar-kabar bohong, ancaman-ancaman palsu, yang diulang-ulang akan direproduksi sebagai sebuah kebenaran baru!

Film ini berjudul Passage to India, yang memenangkan Academy Awards pada tahun 1984. Saya pikir mulanya, ini film travelling biasa, orang Inggris yang plesir menikmati eksotisme India pada awal 1900-an. Saya sering iri, kenapa tidak ada produser film kelas dunia melakukan hal sama terhadap Indonesia.

Secara umum, demikianlah nasib negara-negara bekas jajahan Belanda, yang sekalipun luas, kaya, dan beragam budaya, namun tetap saja dianggap "random" (baca: tidak dikenal dan tidak menarik). Apalagi setting film ini, hanya menyangkut sebuah gunung batu yang di dalamnya terdapat banyak gua. Situs yang disebut Marabar Cave. Gunung gundul yang hanya batu, yang sebenarnya mungkin tak lebih gunung api purba sejenis Gunung Batu Nglanggeran yang ada di Jogja (Gunung Kidul tepatnya).

Namun di sinilah titik krusialnya bagi para "newbie", pengunjung baru yang tertantang uji nyali. Tatkala memasuki gua ini, sensasi terbesarnya adalah mencari efek gema (echo tepatnya). Ketika seseorang meneriakkan sebuah kata, lalu ia akan mendapat feed back gaung suara yang bersahut-sahutan yang panjang, tampak biasa tapi sebenarnya menyakitkan. Konon sedemikian menyakitkan hingga mudah membuat orang terhalusinasi! Saya bisa mengerti, dulu gua itu terbuka tanpa pintu, saat ini telah ditutup.

Efek suara yang bisa membuat seseorang menjadi "insane", mengalami guncangan dan disorientasi yang berujung pada kegilaan. Dalam konteks film di atas, ia tiba-tiba bisa menganggap orang yang selama ini membantunya, justru tiba-tiba jadi musuh. Bahkan berbagai bukti yang sesungguhnya dapat meringankan, justru membuatnya berat. Prasangka yang datang beruntun, yang membuat stigmanya terhadap orang lain yang tidak disukainya mendapat pembenaran yang kuat.

Bila dikaitkan dengan realitas hari-hari ini di Indonesia, bagaimana kita tidak mudah memahami bagaimana seorang yang semula kita anggap baik, berpendidikan lebih dari cukup, memiliki pekerjaan yang menjanjikan. Intinya memiliki strata sosial ekonomi yang baik, bagaimana ia terjebak dalam peran fitnah, menyebarkan berita bohong, mudah melakukan sikap permusuhan, bahkan mengingkari masa lalunya.

Itulah efek gema (impact of echo), yang mungkin hanya sekali dua ia dengar, tapi terus menerus menggema di kepalanya. Manusia sejenis ini akan selalu merasa dirinya sehat dan bersikap wajar, karenanya ia akan sulit diajak berdialog bahkan untuk dinasehati. Nyaris tidak ada manfaatnya segala wujud komunikasi impersonal. Apalagi kalau ia berada dalam kungkungan komunitasnya!

Konon, satu-satunya cara menyembuhkannya adalah ketika efek gema itu telah hilang dari kepalanya. Sayang dalam film ini, diceritakan efek itu baru benar-benar bisa hilang justru ketika mereka mendekati kematiannya. Saat ia bisa lagi menikmati indahnya bulan, merasakan bumi itu kembali bulat dan melihat cakrawala sebagai batasnya.

Moral dari film ini: ketika ada orang yang percaya bumi itu datar, kencing onta itu obat, poligami itu hebat, menyebarkan kebohongan tanpa beban, bahkah mempercayai korupsi itu halal asal sedekah dan khilafah itu solusi. Apalagi memaksakan pendapat pemimpin itu harus seiman, seraya merendahkan orang lain sebagai kafir.

Kasihanilah saja mereka, mereka sedang mengalami halusinasi yang luar biasa hebat. Kita tak akan pernah merasakan denging dan dengung yang selalu mengejar, rasa sakit tak terperi di telinga mereka.

Sekali lagi kasihanilah mereka...

***

Editor: Pepih Nugraha