Kekuasaan Rakyat dan Degradasi Politik

Selasa, 27 Februari 2018 | 09:48 WIB
0
677
Kekuasaan Rakyat dan Degradasi Politik

Pejabat dan penguasa tertinggi di negeri demokrasi bernama Indonesia itu adalah RAKYAT. Rakyat adalah penguasa negeri secara de facto dan de jure. Tapi rakyat tak mungkin menjadi pemimpin semuanya karena jumlahnya sangat banyak. Karenanya, diwakilkanlah kekuasaannya itu pada seseorang bernama PRESIDEN dengan cara dipilih oleh rakyat, kita semua. Agar tidak kesepian sendirian, seperti Nabi Adam AS dibarengi Hawa, presiden perlu dibantu, ditemani berdua. Kita tunjuk dan pilih lagi wakilnya, itulah WAKIL PRESIDEN.

Keduanya, presiden dan wakilnya (pasangan) adalah orang yang kita suruh atau disuruh rakyat untuk mewakili rakyat memimpin negeri. Statusnya bawahan rakyat, suruhan rakyat. Rakyatlah yang berwenang memilih dan mengganti presiden. Presiden pun dilatik oleh MPR sebagai wakil rakyat. Presiden dipilih rakyat bukan untuk berkuasa pada rakyat, sendirian atau bersama partainya, melainkan untuk melayani, mengabdi dan mengemban amanat rakyat sebagai penguasa tertinggi.

Untuk melaksanakan tugasnya mewakili rakyat (kita semua) dalam membangun negeri dan mengelola negara, terlalu berat kalau hanya berdua. Mereka harus dibantu oleh para pembantu untuk membantu orang-orang yang kita suruh. Para pembantu itu adalah PARA MENTERI yang membantu tugas-tugas dan pekerjaan presiden yang kita suruh.

Kekuasaan rakyat kepada para menteri semakin jauh, terhalang oleh presiden. Untuk menegur kerja menteri yang gak benar, rakyat tak usah menegur menterinya, cukup menegur presidennya yang telah memilih mereka. Bahasanya kira-kira begini: "Hei Presiden, kamu yang bener dalam memilih para menteri untuk bekerja membantu kamu, jangan sembarangan, rakyat menilainya. Kalau kamu gak bener, mau kamu saya ganti?"

Kemudian, dalam bekerja melaksanakan tugas-tugasnya mewakili rakyat, presiden harus dikontrol, wewenang, tugas dan kekuasaannya, agar tidak semena-mena, tidak lupa diri, tidak sok kuasa dan melupakan yang menitipkan kekuasaan kepadanya yaitu penguasa tertinggi: rakyat. Untuk itu dibuatkanlah aturan-aturan agar presiden, wakilnya dan para menteri tidak bekerja dan berkuasa sembarangan.

Para pengontrol presiden atau pesuruh/pelayan rakyat itu adalah para ANGGOTA DPR. Jelas sekali DPR itu singkatan dari "Dewan Perwakilan Rakyat," artinya para anggota DPR, Pusat dan Daerah, adalah wakil-wakil rakyat atau yang disuruh rakyat untuk mengontrol kekuasaan dan kerja presiden.

Sebenarnya, bisa saja rakyat mengontrol langsung presiden, datang langsung ke kantornya yang disebut Istana, tapi presiden akan terlalu capek kalau harus melayani rakyat semuanya satu persatu, atau perkelomppok-kelompok, tak mungkin, tak akan tertib karena terlalu banyak.

Maka, untuk kontrol rakyat ini kita tugaskanlah orang-orang yang juga kita pilih yaitu para anggota DPR. Mereka kita pilih untuk kita tugaskan mengontrol kerja presiden, wakilnya dan menteri-menterinya. Semuanya itu bawahan kita, penguasa tertinggi, rakyat Indonesia.

Selain presiden, wakilnya, para menteri dan DPR, perlu juga ada lembaga yang menyiapkan para calon pemimpin, daerah dan pusat. Lembaga ini adalah lembaga dimana rakyat mengorgansisasikan dirinya dalam organisasi yang khusus mengurus masalah-masalah politik. Itulah PARTAI POLITIK. Sebenarnya, partai politik harusnya satu, wadah seluruh rakyat. Tapi karena keinginan rakyat yang sangat banyak itu beda-beda, maka partai tak mungkin satu, maka ada beberapa partai sesuai kebutuhan.

Tugas partai harusnya bukan hanya berebut kekuasaan tapi bersama-sama mengontrol kekuasaan. Presiden yang disiapkan partai dan lahir dari partai tertentu, ketika menjadi presiden, dia bukan lagi mewakili partainya, tapi mewakili seluruh rakyat Indonesia sebagai penguasa tertinggi. Walaupun, ada pergesekan antar partai, yang harus selalu diingat adalah amanat rakyat bersama yaitu kepentingan rakyat.

Menjadi masalah adalah bila kelompok-kelompok rakyat yang tergabung dalam partai-partai itu ingin berkuasa dan menguasai rakyat yang lain sebagai "animal desire" (hasrat kebinatangan/kebuasan).

Akhirnya, sekelompok rakyat mengawasi, mengontrol dan mengkritik kekuasaan ketika ketika salah dam menyimpang, sebagian lainnya menjadi pendukung bahkan pendukung buta kekuasaan karena kelompoknya merasa menjadi penguasa atau sedang berkuasa yang hidup enak, layak, makmur dan menikmati kekuasaan menguasai kelompok-kelompok lainnya.

Di sinilah politik mengalami degradasi nilai dan makna, bukan lagi kesepakatan bersama di atas nilai-nilai keadaban untuk mengurus dan mengelola negeri sebaik-baiknya tapi hanya menjadi ajang perebutan kekuasaaan bahkan kekuasaan hewani yaitu kepuasan berkuasa dan menguasai yang lain.

Kenapa bisa begitu? Inilah politik yang terpisah dari nilai-nilai sakral dan pesan-pesan ilahiyah bahwa tugas hidup itu untuk menjadi khalifah, untuk memakmurkan bumi bersama-sama bukan untuk saling mengekspresikan hasrat nafsu mengumbar kekuasaan.

***

Editor: Pepih Nugraha