Kearifan Lokal Sunan Kudus dan Eksperimen Futuristiknya

Selasa, 27 Februari 2018 | 14:11 WIB
0
647
Kearifan Lokal Sunan Kudus dan Eksperimen Futuristiknya

Dalam karyanya, Qamiut Tughyan, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani bercerita mengenai Syekh Hasan al-Bashri dan sahabatnya, Syekh Farqad. Nama pertama ulama sufi ahli ilmu, sedangkan nama kedua terkenal sebagai seorang ahli ibadah yang tekun. Saat itu keduanya menghadiri resepsi pernikahan.

Dalam pagelaran itu, keduanya disodori piring emas yang berisi untaian kurma. Karena ada larangan makan dan minum dari wadah emas berdasarkan sabda Rasulullah, maka keduanya menahan diri. Syekh Syekh Hasan al-Bashri tetap duduk di depan piring emas, sedangkan Syekh Farqad menyingkir darinya.

Tak berselang lama, Syekh Hasan lalu mengambil kurma dari piring itu dan memindahkannya ke atas roti dan memakannya. Nikmat. Kemudian, dia menoleh ke arah sahabatnya dan berkata, “Hai Furaiqad, kemarilah dan lakukanlah dengan cara ini.”

Syekh Hasan dengan cerdik melakukan tindakan itu karena berpendapat, bahwa mengosongkan piring emas itu bukan berarti menggunakannya, tetapi menghilangkan kemunkaran. Beliau bisa mengumpulkan antara hukum fiqh dan kesunnahan resepsi pernikahan dengan menyantap makanan yang dihidangkan, menyenangkan tuan rumah, sekaligus menghilangkan kemungkaran serta memberikan pelajaran kepada orang lain mengenai hukum fiqh yang luwes.

Bahkan, dengan gayanya yang khas, Syekh Hasan memanggil sahabatnya dengan sighat tashghir (menjadi Furaiqad) dengan maksud menyindirnya sebagai tanda ketidaksetujuannya pada sikapnya.

Bagi saya tindakan Syekh Hasan di atas cukup cerdik. Beliau mengajarkan sebuah sikap elegan menghadapi kemunkaran sekaligus memberikan sebuah solusi atas kondisi yang tidak memungkinkan bagi mereka berdua makan di atas nampan emas. Dari sini kita bisa melihat apabila sebuah upaya menghilangkan kemunkaran selayaknya diiringi dengan solusi dan dilakukan dengan cerdik.

Membubarkan lokalisasi adalah upaya nahi munkar, sedangkan menyediakan lahan pekerjaan bagi eks PSK adalah solusi cerdas dalam mewujudkan kemaslahatan.

Kita bisa saja mengutip sabda Rasulullah mengenai kefakiran yang bisa mencondongkan pada kekafiran untuk legitimasi atas kemiskinan yang ada. Tapi, menyalahkan ketidakbecusan pemerintah atas kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi yang ada juga bukan solusi yang baik.

Langkahnya, membuka ruang berwirausaha bagi mereka yang termarginalkan, membangkitkan semangat kemandirian, serta membantu permodalan lunak niragunan mungkin bisa dijadikan solusi konkrit. Percayalah, lebih baik menyalakan lilin atau lampu petromak maupun lampu senter dari hape daripada hanya sibuk mengutuk kegelapan. Ehem....

Karena itu, saya sungguh kagum dengan Sunan Kudus yang dalam dakwahnya melakukan sebuah eksperimen futuristik yang, hebatnya, bisa bertahan hingga kini. Dalam membangun masjid beliau menggunakan menara berarstitektur lokal ala candi Hindu yang populer di zamannya, lalu menambahkan pancuran wudlu berjumlah delapan alias Asta Sanghika Marga atau delapan jalan utama yang diugemi masyarakat saat itu.

Tak hanya itu, demi menjaga harmoni sosial, beliau melarang kaum muslimin menyembelih sapi. Alasannya, sapi adalah hewan yang disucikan kaum Hindu. Beliau tidak mau orang Hindu tersinggung. Alhasil, hingga hari ini soto kudus tidak berbahan baku daging sapi, melainkan kerbau.

Yang luar biasa, yang dicanangkan Sunan Kudus itu bisa bertahan saat ini. Saya menduga, kecerdikan dalam memanfaatkan potensi lokal ini yang menyebabkan pilihan Sunan Kudus tetap bertahan dan dipatuhi oleh masyarakat. Beliau tidak menggunakan represi dan pemaksaan kehendak atas pilihannya, melainkan secara langsung membidik alam bawah sadar masyarakat.

Oleh iwake, ora buthek banyune. Ikannya didapat tanpa membuat keruh airnya. Kemampuan seperti ini hanya dimiliki oleh para dai yang pilih tanding: kuat dalam fiqh, luwes dalam dakwah, dan tangguh dalam mentalitas.

Wallahu A’lam Bisshawab.

***