Neraka 40 jam di Tengah Laut, Detik-detik Tenggelamnya Tampomas II

Selasa, 20 Februari 2018 | 07:11 WIB
0
898
Neraka 40 jam di Tengah Laut, Detik-detik Tenggelamnya Tampomas II

perjalanan ini

terasa sangat menyedihkan...

mengapa di tanahku terjadi bencana

mungkin tuhan mulai bosan melibat tingkah kita

yang selalu salah dan

bangga dengan dosa-dosa

........

Belum lagi seperempat jam lagu Ebiet G. Ade itu selesai dinyanyikan biduanita Ida Farida, penumpang KM Tampomas II panik. “Api! api...!!” pekik mereka. Dan asap tebal dari bagian belakang kapal milik PT Pelni itu mengurung mereka.

Itu terjadi sekitar pukul 22.15 hari Minggu 25 Januari 1981. Kecuali yang tinggal di restauran dan asyik mendengarkan band serta suara Ida itu, sebagian besar penumpang baru saja memasuki kamar masing-masing. Tapi segera mereka menghambur ke luar.

Dari pengeras suara, terdengar perintah untuk menggunakan pelampung. Para penumpang di dek, hiruk-pikuk berebut alat berwarna kuning itu. Belum lagi sejam berdiri di anjungan, kaki udah tak kuat merasakan panas. Api di dek bawah rupanya sudah menyundulkan sengatnya. Para penumpang kembali berebut potongan-potongan kayu untuk alas kaki mereka.

Siapa orang pertama yang melihat kebakaran itu masih belum diketahui. Yang jelas, dia adalah awak kapal yang malam itu bertugas di bagian mesin.

“Saya terima laporan pertama dari dia,” ujar Hadi Wiyono, masinis III yang malam itu berada di posnya, di anjungan, sebagai perwira piket.

Laporan itu disampaikan lewat interkom, alat penghubung dari ruangan ke ruangan. “Ada kebakaran di car deck (dek tempat mobil),” bunyi laporan tadi seperti ditirukan Hadi pada TEMPO. Hadi ganti meneruskan laporan itu ke nakoda, Kapten Abdul Rivai. Sebagai “penguasa tunggal” di kapal berbobot mati 6.139 BRT itu, Rivai memerintahkan agar api disemprot dengan alat pemadam kebakaran yang ada.

“Tapi karena sudah penuh asap, saya menyemprot sekenanya saja,” ujar Sudibyo, perwira di bagian listrik. “Dan karena mata sudah tidak kuat lagi saya menyelamatkan diri. Sebenarnya belum semua isi tabung habis,” katanya lagi.

Tampomas II toh masih terus berjalan, dengan kecepatan 15 knot atau sekitar 25 km/jam. Untuk menghindari kebakaran menjalar ke mesin, Rivai memerintahkan agar mesin dimatikan. Tapi lantaran semua penerangan ikut padam penumpang bertambah panik. “Ada beberapa orang yang langsung terjun ke laut,” ujar Kasim, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara (STIA) Ujungpandang yang baru saja menghadiri Porseni dan Wisuda sarjana STIA se-Indonesia di Jakarta dengan 80 orang anggota rombongan, termasuk istri para sarjana baru.

“Yang terjun malam itulah yang banyak meninggal,” kata Kasim pula. Ia menyebut sebagian besar grup penari dalam rombongan STIA yang terjun malam itu tidak tertolong lagi.

Setelah menerima laporan bahwa kebakaran tidak bisa dipadamkan, Rivai memerintahkan untuk menghidupkan mesin. “Rivai bermaksud membawa Tampomas II ke pulau terdekat,” ujar sumber TEMPO di Ditjen Perhubungan Laut, mengutip hasil pemeriksaan oleh suatu tim resmi atas ABK yang selamat. Mesin hidup, tapi cuma sebentar, karena terjadi ledakan di dek mobil.

Hadi Wiyono memperkirakan sekitar 20-an awak kapal meninggal karena terkurung di dalam ruang mesin. Dari sinilah kemudian beredar kabar terjadinya konflik antara Rivai dengan markonis, perwira yang bertugas di bagian komunikasi.

Markonis Odang Kusdinar, kabarnya sudah minta izin kepada Rivai untuk segera mengirim berita SOS ketika laporan kebakaran diterima dari perwira piket. Tapi Rivai konon memilih lebih baik tak mengirimkan sinyal SOS dulu — yang memang tak dapat dilakukan sembarangan, karena akan merepotkan kapal di seluruh dunia. Yang perlu, api dihabisi segera. Tapi upaya memadamkan api ternyata tidak berhasil. Satu-satunya jalan yang tinggal mengirimkan berita kebakaran itu ke radio pantai.

Tapi sudah terlambat. Alat komunikasi yang ada tidak bisa digunakan lagi. Dan Odang sendiri, entah kenapa, sewaktu dicari sudah tidak ada di kapal.

[caption id="attachment_10816" align="alignright" width="510"] Kapten Abdul Rivai (Foto: Tribunnews.com)[/caption]

Rivai, sebagaimana dikatakan Hadi Wiyono, kemudian mengambil “bola api” sebagai jalan terakhir untuk memberitahukan bahwa di situ ada kapal dalam keadaan bahaya. “Bola” itu sebesar bola tennis. Kalau dilemparkan ke atas, akan meledak dan menimbulkan cahaya ultra violet yang tajam — sebagai tanda SOS. “Anehnya bola api itu tidak meledak di udara,” ujar Hadi Wiyono pasti.

Lantaran bagian tengah kapal semakin panas, para penumpang berlomba mencapai tempat paling tinggi di anjungan atau haluan. Seorang penumpang, pemuda keturunan Arab bernama Nur Abdullah, kemudian berteriak dari haluan agar ada di antara yang di anjungan — tempat paling tinggi — mengumandangkan adzan. Maksudnya untuk meredakan angin dan gelombang, sebagaimana biasa dilakukan nelayan Bugis. “Tapi terdengar justru takbir beramai-ramai, sehingga mirip malam lebaran,” keluh Nur Abdullah.

Sepanjang malam pertama itu mereka tidak bisa melihat apa-apa lagi. Kecuali gelap dan asap.

Fajar hari Senin telah menyingsing. Seluruh cakrawala kelihatan tcrang. Kapal KM Sangihe terus melaju dengan kecepatan 10 knot dari arah Ujungpandang ke Surabaya. Sebagaimana biasa, begitu fajar datang pertama-tama yang harus dilakukan mualim kapal adalah melihat sekeliling cakrawala dengan teropong. Dan pagi itu Mualim I Sangihe, J. Bilalu, melihat ada asap mengepul di arah barat. “Kap!” Bilalu memanggil Agus K. Sumirat, Kapten Kapal Sangihe, “boleh juga tuh Pertamina. Dia bisa dapatkan sumur minyak baru lagi,” kata Bilalu sambil menuding asap yang dia lihat. Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB.

Karena di seluruh cakrawala tidak ada pemandangan lain, sebentar-sebentar mata Kapten Sumirat melihat ke sana — yang kebetulan memang berada di arah yang akan dilewati.

Satu jam kemudian Bilalu kembali meneropong asap yang sudah kian mendekat. “Kap! Asap itu dari kapal. Bukan pengeboran minyak Pertamina,” pekik mualim itu. “Kita menuju ke sana,” sahut Kapten Sumirat.

Pagi itu udara cukup cerah untuk ukuran Januari yang biasanya selalu berkabut tebal. Sangihe terus melaju untuk melihat kapal apa yang mengeluarkan asap itu. Tepat pukul 07.35, Bilalu bisa membaca tulisan di kapal itu meskipun belum jelas benar Tampomas II.

Para penumpang Tampomas II juga sudah melihat kedatangan Sangihe. Hadi Wiyono segera mencari cermin di kamar penumpang untuk di-”soklehkan” ke arah Sangihe datang.

Saat itu juga Markonis Sangihe, Abubakar, diperintahkan untuk memberitahu Radio Pantai mana saja yang bisa dihubungi. Abubakar memutar-mutar saluran radio di ruang Markonis yang berdampingan dengan ruang kemudi itu. “Tiga menit kemudian saya bisa berhubungan dengan Radio Jakarta, memberitahukan bahwa KM Tampomas II terbakar,” ujar Abubakar.

Memang hanya itu yang bisa diberitahukan. Sangihe sendiri masih belum pasti, apakah Tampomas II perlu pertolongan darurat. Hanya Sangihe terus mendekat dan Kapten Sumirat mengumpulkan awak kapal untuk bersiap-siap melakukan pertolongan.

Tapi begitu jarak tinggal dua kilometcr, Sumirat melihat para penumpang sudah berada di atas kapal. “Kirim SOS”, perintah Sumirat pada Abubakar, lewat lubang kecil yang menghubungkan ruang markonis dengan ruang kemudi. “Pukul 08.15 persis saya kirim SOS dengan morse,” ujar Abubakar. Dengan demikian diharapkan seluruh kapal dan stasiun pantai menangkap sinyal SOS dari Sangihe itu.

Sangihe terus mendekat, pelan-pelan dilihat oleh Sumirat, Tampomas sudah buang jangkar. Berarti Sangihe bisa lebih dekat lagi tanpa takut terjadi tabrakan “Saya kelilingi dulu Tampomas untuk melihat dari arah mana bisa mendekat,” ujar Sumirat. “Untuk fender (merapat) dari lambung kanan jelas tidak bisa, karena asap mengarah ke kanan. Tapi mau fender di lambung kiri juga susah, karena ada tali jangkar yang kalau tertabrak bisa putus dan berbahaya,” tambahnya.

Ada kesulitan lain yang lebih menghambat lagi. KM Sangihe sendiri sebenarnya dalam keadaan sakit. “Kalau kapal ini normal, kami tidak akan lewat sini,” ujar Sumirat.

Sangihe mestinya harus membawa 900 ekor sapi dari Pare-Pare ke Padang. Tapi karena mesin rusak, ia nongkrong dulu di Pare-Pare sampai 6 hari. Akhirnya bisa juga jalan — tapi Sumirat minta agar kapal itu dibawa dulu ke Surabaya untuk dinaikkan dok. “Itulah sebabnya saya tidak berani ambil jalan lurus ParePare-Surabaya, tapi menyusuri dulu pantai Sulawesi. Kalau saya ambil jalan lurus tidak akan ketemu Tampomas,” kata Sumirat.

Itu bukan kerusakan satu-satunya. KM Sangihe sebenarnya punya 3 mesin pembangkit listrik — tapi tinggal sebuah yang masih hidup. “Akibatnya saya tidak bisa melakukan manouver (olah gerak),” ujar Sumirat. “Kalau tidak bisa melakukan olah gerak, bagaimana bisa fender, ” katanya pula.

Sumirat, 46 tahun, sebenarnya sudah tiga kali berpengalaman melakukan fender di tengah laut. “Tapi kali ini benar-benar tidak bisa,” katanya. “Kapten Rivai, Nakoda Tampomas, adalah teman sekelas saya, di AIP. Bayangkan bagaimana perasaan saya setelah tidak berhasil merapat di kapalnya.”

Setelah tidak mungkin melakukan fender di lambung kanan dan kiri, Sumirat memutuskan untuk “parkir” di depan Tampomas dengan harapan bisa mendekat dari arah depan. Ketika jarak tinggal 300 meter lagi, Sumirat memerintahkan buang jangkar sepanjang 6 segel (142 meter).

Dengan demikian jarak kedua kapal itu tinggal sekitar 150 meter. Sumirat sekali lagi memerintahkan untuk melepaskan dua segel lagi, sehingga jarak keduanya tinggal sekitar 100 meter.

Seorang ABK (Anak Buah Kapal) Sangihe mencoba melemparkan tali ke Tampomas. Tapi tak sampai. ABK yang lain kemudian mengambil pistol khusus yang dipakai untuk menembakkan tali “Tapi sungguh aneh, pistol itu mejen,” ujar Husin Hamzah, ABK Sangihe asal Gombong.

Sementara itu dari arah Tampomas, sudah ada tali yang hanyut. Seorang ABK Sangihe kemudian melemparkan tali ke arah tali yang hanyut tadi berhasil menyangkut. Tali Tampomas itu ditarik pelan-pelan, kemudian diikatkan di KM Sangihe. Jarak antara kedua kapal bisa lebih diperpendek lagi. Tapi tali itu terancam putus kalau terus ditarik, sementara semakin siang gelombang semakin besar.

Karena itu, Sumirat menghendaki ada dua tali. “Siapa yang berani membawa tali ini ke sana?” ujar Sumirat. Seorang pemuda yang menumpang Kapal Sangihe tiba-tiba maju, menyediakan dirinya. “Saya tidak tahan lagi mendengar jeritan mereka,” ujar Youce Freddy, 20 tahun, pemuda asal Manado yang akan cari kerja di Jakarta.

Penumpang yang sudah berkumpul di haluan Tampomas kedengaran riuh sekali, memang. “Panas! Panas! Neraka! Cepat kirim air!” teriak mereka bersahut-sahutan. Sebagian tidak sabar lagi lantas menerjunkan diri ke laut –hanyut ke arah Sangihe.

Persiapan mengirim Youce segera dilakukan. Tali yang akan dibawa Youce diikatkan di pinggangnya, agar kalau ia terjatuh bisa ditarik kembali. Waktu itu sudah pukul 12.00 siang. Youce mulai merambat sambil bergantung di tali pertama.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga dan keberaniannya, pemuda itu maju pelan-pelan pada tambang. Selamat! Youce sampai di Tampomas II. Langsung ia mengikatkan tali itu. Tapi ia kaget. “Saya terkejut sekali. Begitu sampai di Tampomas saya lihat sekitar 20-an mayat berserakan di geladak,” katanya.

Mayat itu sudah berwarna hitam. Di antaranya seorang wanita tetap dalam keadaan merangkul anaknya yang berumur sekitar 3 tahun.

Tali yang dibawanya tadi sudah terikat di Tampomas. Tapi malang, belum selesai ditarik kencang, tali pertama sudah putus. Akibatnya Sangihe hanyut, lalu membentur Tampomas. Tali kedua pun putus. Semakin siang gelombang memang semakin besar, sehingga Sangihe terhempas menjauh dari Tampomas.

Sementara hubungan tali tadi diusahakan, dua buah sekoci diturunkan. Sebenarnya ada empat sekoci di Sangihe Tapi hanya satu mesin listrik yang hidup yang hanya cukup untuk menurunkan dua sekoci. Itupun yang satu putus dan hanyut.

Satunya lagi langsung diserbu oleh penumpang yang terjun dari Tampomas. Ada 8 awak kapal Sangihe yang diturunkan dalam sekoci itu untuk membantu para korban naik ke sekoci. Setelah penuh, sekoci ditarik dan para korban dinaikkan ke Sangihe.

Sekoci itu pun sekali lagi diluncurkan dan sebentar saja juga sudah penuh pula ada 158 orang yang akhirnya diselamatkan KM Sangihe sepanjang hari Senin itu. Semuanya dalam keadaan sehat — kecuali luka bakar di kaki mereka.

Upaya untuk mendekat Tampomas lagi sudah tak mungkin. Gelombang semakin besar. Tali temali juga sudah habis. Sangihe kini hanya “menghadang” saja korban yang hanyut ke arah kapal itu. Di lambung kiri Sangihe memang ada tangga yang terus terpasang. Tiga orang awak kapal menggelantung di tangga itu sambil menyaut korban yang hanyut di dekatnya.

Sampai Senin sore itu, belum ada kapal lain yang datang. Tapi beberapa kapal diberitakan sedang menuju tempat itu. Markonis Abubakar sepanjang hari itu tidak henti-hentinya berteriak-teriak di kamarnya. Ia melayani pertanyaan- pertanyaan dari berbagai instansi.

“Mestinya kami kan cukup menjawab salah satu instansi saja, lantas yang lain menanyakan ke instansi tadi,” tutur Abubakar. Suaranya sudah hampir tidak kedengaran karena 24 jam secara nonstop berteriak. “Sampai-sampai sebuah radio kami sekarang rusak” tambahnya.

Sumirat, Kapten kapal yang berwajah seperti bintang film Koesno Soedjarwadi itu hanya menunduk sedih, ketika ditanya bagaimana pendapatnya tentang kecaman para penumpang Tampomas yang menggambarkan seolah-olah Sangihe penakut. “Apa pun pendapat orang, akan saya terima dengan lapang dada. Saya memahami perasaan mereka, yang sudah begitu dekat dengan Sangihe, tapi tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Sumirat.

Mereka tak bisa berbuat-apa-apa — termasuk melawan haus dan panas.

Sepanjang Senin itu, tidak ada hujan di sekitar Tampomas. Pernah sekitar pukul 15.00 ada satu dua titik air dari langit, tapi tidak sampai membasahi mereka. “Kalau ada hujan tentu mereka tertolong sekali. Ketika ada gerimis saja mereka pada menengadahkan wajahnya ke langit supaya bisa basah,” ujar seorang pelaut yang menyaksikan detik-detik itu.

Tapi setelah lepas tengah hari, mendung dan kabut memang semakin tebal. Dan ketika senja telah tiba, Sangihe menjauh dari Tampomas sampai sekitar 1.300 meter, diikuti sumpah serapah penumpang yang masih penasaran di Tampomas. “Semata-mata lantaran khawatir, kalau terjadi benturan di waktu malam,” bantah Sumirat.

Malam itu KM Ilmamui, juga milik Pelni, yang baru datang pada pukul 21.00, langsung parkir sekitar 2 km dari Tampomas. Ilmamuilah yang meneruskan pemberitahuan SOS dari Sangihe keberbagai stasiun radio pantai.

Empat jam kemudian, pukul 01.00 dini hari, Selasa 27 Januari, datang lagi kapal tangker Istana VI. Istana juga langsung parkir di sebelah Ilmamui. Dua kapal lagi malam itu datang di Masalembo: Adhiguna Karunia dan Senata. Semuanya langsung lego jangkar, menbentuk barisan sekitar dua kilometer dari Tampomas.

[caption id="attachment_10815" align="alignleft" width="588"]

Tampomas II Tenggelam[/caption]

Keesokan harinya mereka bergerak maju. Istana VI, karena penuh muatan minyak, punya kelebihan sebagai penolong: memudahkan para korban naik ke kapal itu lantaran dindingnya rendah. Ada 144 orang yang diselamatkan Istana VI di samping 4 jenasah.

Kapal yang paling banyak menyelamatkan para korban adalah KM Sengata, milik PT Porodisa Lines. Kapal khusus pengangkut kayu bulat dari Kalimantan ke Taiwan atau Jepang ini memang punya perlengkapan khusus, berupa jaring yang bisa dipasang di sepanjang lambung kanan dan kiri. Banyak korban yang selamat karena cepat meraih jaring itu, kemudian memanjat naik. Akhirnya tercatat 169 korban yang tertolong di sini, plus dua mayat.

Para korban juga banyak memuji Sengata, karena keberaniannya mendekat Tampomas. Kapal ini sempat beberapa detik merapat di Tampomas dan 6 orang memanfaatkannya. “Begitu dekat saya loncat” ujar Sudibyo, 38 tahun, perwira listrik Tampomas II yang bisa mermantaatkan kesempatan emas itu.

Sampai pukul 12.00 hari itu juga tidak ada turun hujan. Tapi kabut dan angin terus menjadi hambatan. Pukul 12.30, tiba-tiba ada ledakan di bagian belakang dan Tampomas II mulai miring. Di bagian belakang kapal ini ada 12 tabung besar berisi Elpiji yang biasa dipakai untuk dapur. Tampomas II memang satu-satunya kapal di Indonesia yang menggunakan Elpiji. “Begitu miring banyak penumpang longsor bertindihan,” ujar Youce yang terus berada di Tampomas II sampai saat terakhir. Youce kemudian berenang menuju Sengata.

Hanya 20 menit kemudian Tampomas II tenggelam, mulai dari pantatnya. Tapi tenggelamnya haluan kapal itu tidak kelihatan dari kapal lain, karena cuaca diguyur hujan lebat sekali. Saat itu ada pertanyaan masuk ruang markonis menanyakan bagaimana posisi Tampomas. “Dijawab bagaimana, Kap” tanya Abubakar.

“Karena tidak kelihatan, saya suruh jawab saja: sedang menuju ke dasar laut,” ujar Sumirat.

Begitu hujan reda, Tampomas II memang sudah tidak kelihatan. “Anehnya keadaan cuaca berubah jadi cerah sekali,” ujar Sumirat. Tinggal di sana sini tampak orang terhanyut — sisa-sisa sebuah perjalanan yang sangat menyedihkan.

Reportase Dahlan Iskan, TEMPO Edisi. 50/X/07 – 13 Februari 1981

***