Prilaku Politikus, dari Kutu Loncat sampai Belah Diri Ala Amoeba

Jumat, 9 Februari 2018 | 07:14 WIB
0
507
Prilaku Politikus, dari Kutu Loncat sampai Belah Diri Ala Amoeba

Survival for the fittest sejatinya sunatullah setiap orang, tidak terkecuali politikus. Banyak cara mempertahankan diri agar tetap hidup sebagai politikus. Ga peduli harus meniru prilaku hewan, misalnya homo homini lupus, manusia (politikus) yang menjadi srigala bagi sesamanya. Singa podium untuk politikus yang pandai berorasi. Kuda hitam bagi politikus papan bawah yang tiba-tiba mencuat ke permukaan karena jadi anggota Dewan

Singa, kuda dan srigala binatang perkasa dan biasa digunakan sebagai kiasan bagi para politikus. Itu binatang hebat. Tetapi ada juga binatang "hina" seperti kutu dan bahkan binatang yang tidak kasat mata seperti amoeba yang juga dipakai para politikus kita. Kutu loncat sudah biasa digunakan untuk tetap bertahan, amoeba yang pandai membelah diri ditiru agar tetap bisa menjadi orang nomor satu.

Tidak heran "prilaku" atau "sifat" dalam cerita pewayangan pun dimanfaatkan, meski para politikus akan menolaknya mentah-mentah. Dalam pewayangan ada tokoh bernama “Dasamuka" atau Dosomuko (Jawa) yang berarti "sepuluh wajah”. Dalam politik Amerika, ada dua partai yang sangat terkenal, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Ada sejumlah partai lainnya tapi kecil, termasuk partai komunis.

Apabila dalam konvensi calon presiden ada dua calon dalam suatu partai, maka akan dipilih calon yang mendapat dukungan suara terbanyak. Contoh dulu dalam Partai Demokrat ada dua calon yaitu Barack Obama dan Hillary Clinton. Ternyata yang banyak mendapat dukungan suara lebih banyak untuk menjadi calon presiden dari partai Demokrat adalah Barack Obama. Sejarah mencatat, Barack Obama memenangi pemilihan presiden.

Apakah Hillary Clinton terus marah dan kecewa atau keluar dari Partai Demokrat? Ternyata tidak, bahkan Hillary Clinton juga ikut kampanye dan mendukung Barack Obama dalam pemilihan presiden. Saat Hillary Clinton maju mewakili Partai Demokrat melawan Donald Trump, Barack Obama juga kampanye dan mendukung Hillary Clinton.

Atau sebaliknya, calon dari partai Republik yang waktu itu dalam konvensi Donald Trump mendapat dukungan suara terbanyak dan lawannya yang kalah dalam konvensi juga menerima kekalahannya dan mendukung Donald Trump.

Ternyata budaya atau tradisi dalam partai politik Amerika jauh lebih maju dan baik, tidak ada saling jegal rebutan menjadi calon nomer satu. Tidak ada tradisi atau kebiasaan yang kalah dalam konvensi terus mundur dari partai dan masuk ke partai lawannya.

Jadi tidak ada tradisi politik mudah mundur dan masuk ke partai lawannya, ”pamali” kata orang Sunda tea mah. ”Ora elok”, kata orang Jawa.

Mereka benar-benar menjaga marwah partai dan anggota partai, kalau menyeberang ke partai lain dianggap berkhianat.

Bagaimana dengan partai-partai dan politikus-politikus di negara kita Indonesia tercinta? Silahkan lihat dan perhatikan atau nilai sendiri.

Bahkan ada satu partai dengan lambang pohon beringin, yaitu Partai Golkar, karena kalah dalam perebutan untuk menjadi calon presiden dari partai Golkar, bisa pecah dan keluar dari partai, bikin partai sendiri supaya bisa jadi calon presiden.

Sebut saja, Prabowo yang kalah dalam konvensi, ke luar dari partai dan bikin partai sendiri, yaitu partai Gerindra. Dari dulu jadi calon presiden belum jadi-jadi sampai sekarang, bahkan tahun depan mau mencoba peruntungan lagi. Apa ga capek toh, Pak, jadi calon mu?

Wiranto juga keluar dari partai dan bikin partai sendiri, Hanura. Sutiyoso atau Bang Yos juga sama kelaur dari partai dan bikin partai PKPI. Surya Paloh juga keluar dari partai dan bikin Partai Nasdem yang suaranya menggelegar dan iklannya wira-wiri di stasiun TV-nya sendiri. Jauh sebelumnya, Edy Sudrajat yang kalah oleh Akbar Tandjung dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, juga bikin partai.

Itulah gambaran tradisi politikus-politikus kita kalau gagal jadi calon presiden atau gagal jadi ketua umum partai, terus pindah atau bikin partai sendiri.

Bahkan ada cerita lucu, yaitu mantan Jenderal TNI Endriartono Sutarto,yang waktu itu kader Partai Nasdem ngebet banget pengin jadi calon presiden dari Partai Nasdem, tapi partai Nasdem yang ditunggu-tunggu juga belum memberi rekomendasi kepada mantan Jenderal ini. Akhirnya mantan Jenderal ini lari dan keluar dari partai Nasdem dan ikut konvensi di partai Demokrat, ternyata nilainya kalah jauh dari Dahlan Iskan.

Kalau diibaratkan, pengin beli tiket kereta di Stasiun Senin karena antri dan ga sabar, lalu lari dan pindah ke Stasiun Gambir dengan harapan ga antri dan tidak penuh, ternyata di Gambir juga antri dan penuh. Gagal deh mumet, sampai sekarang mantan Jenderal Endriartono Sutarto tidak ada beritanya lagi.

Ada lagi kader Nasdem yang jadi menteri pemerintahan presiden Jokowi, yaitu menteri Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno. Karena dipecat, sekarang jadi dewan pembina partainya Tomy Soeharto.

Perilaku politikus kita kadang memang lucu-lucu dan menjengkelkan, pengin cara instan dan pengin dinomersatukan dan yang lain disuruh minggir, padahal mereka pendatang baru yang sering bikin iri kader-kader lain yang sudah lama.

Bagaimana dengan perilaku anggota partai dan anggota DPR atau wakil rakyat kita? kurang lebih sama, bahkan hari ini di partai A ,besok sudah di partai B dan besoknya lagi di partai C.

Mudahnya anggota DPR kita berpindah-pindah partai hanya karena sudah tidak cocok atau kerena ada perselisihan dengan partai, mereka mundur dan masuk partai lainnya. Hari ini mengkritik kebijakan pemerintah, besok sudah memuji-muji kebijakan pemerintah karena sudah masuk ke partai pemerintah.

Bahkan ada anggota DPR independen alias tidak diakui sebagai kader partai PKS, terus ditawari supaya pindah ke partai Golkar, tapi yang bersangkutan belum memberi jawaban dengan pasti. Gengsi atau cuma umbar kata, mana tau kita.

Prilakau wakil rakyat atau kader partai yang mudah pindah-pindah partai lain -disebut juga sebagai kutu loncat- mirip seoarang karyawan atau pegawai swasta yang resign atau mengundurkan diri dari perusahaan dan pindah ke perusahaan lainya. Bedanya motivasi pindah kerjaan karena penghasilan yang lebih baik.

Wakil rakyat atau kader partai yang pindah ke partai lain biasanya akan mendapat posisi sebagai anggota DPP partai atau jabatan tinggi dalam struktur partai.

Makanya wakil rakyat dan kader partai kita tidak punya loyalitas tinggi atau ada tradisi yang baik atau positif, mereka banyak wajah, bisa memerankan tokoh apa saja tergantung di partai mana mereka sekarang.

Inilah “Dasamuka” sepuluh wajah politikus kita.

Hari ini bisa memaki-maki, besok bisa memuji-muji, entah besok ngomong apalagi.

***

Editor: Pepih Nugraha