Beranikah KPU Eliminasi Bakal Calon Kepala Daerah Bermasalah?

Jumat, 9 Februari 2018 | 13:50 WIB
0
512
Beranikah KPU Eliminasi Bakal Calon Kepala Daerah Bermasalah?

Tentunya pertanyaan tersebut tidak hanya ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) semata. Pertanyaan serupa juga bisa diarahkan kepada parpol pengusung dan pendukung dari si calon kepala daerah yang tersangkut masalah hukum.

Dengan alasan terikat Peraturan KPU, misalnya, Ketua KPU Arief Budiman tetap memberi “kesempatan” kepada Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Jombang yang menjadi bacabup, untuk tetap melanjutkan tahapan Pilkada  Jombang 2018.

Padahal, Nyono telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terkena operasi tangkap tangan (OTT) menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyanti. Total suapnya senilai Rp 275 juta.

Uang yang diberikan kepada Nyono itu berasal dari kutipan jasa pelayanan kesehatan dana kapitasi kesehatan dari 34 puskesmas di Jombang. “Perbuatan Nyono ini keterlaluan, karena diambil dari uang rakyat,” ujar seorang warga Jombang.

Nyono sendiri mengaku bahwa awalnya uang yang diberikan Inna Silestyanti itu sedianya akan digunakan untuk menyantuni anak yatim. Ia mengakui bahwa perbuatannya tersebut melanggar hukum. “Makanya saya mohon maaf,” uangkapnya.

“Saya tidak tahu itu adalah salah satu pelanggaran hukum sehingga saya minta maaf kepada masyarakat di Jombang. Saya minta maaf betul,” ujar Nyono usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Minggu (4/2/2018).

Atas perbuatannya itu, Nyono menyatakan akan mundur sebagai Ketua DPD Partai Golkar dan Bupati Jombang. Ia juga mengaku ikhlas atas proses hukum yang harus dijalani untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Ya otomatis saya harus mundur dari DPD Golkar Jatim dan dari jabatan bupati. Saya ikhlas karena saya salah sehingga perjalanan ini yang harus saya ikuti,” ucapnya, seperti dilansir Kompas.com.

Menurut KPK, suap tersebut diberikan oleh Inna agar Nyono, selaku bupati, menetapkan Inna sebagai Kepala Dinas Kesehatan definitif. Total suap yang diberikan kepada Nyono sebesar Rp 275 juta. Dana itu telah dikumpulkan oleh Inna sejak Juni 2017.

Setelah terkumpul dana itu kemudian dibagi. Sebanyak 1 persen untuk Paguyuban Puskesmas se-Jombang, 1 persen Kepala Dinas Kesehatan, dan 5 persen untuk bupati. Atas dana yang terkumpul ini, Inna telah menyerahkan Rp 200 juta kepada Nyono pada Desember 2017.

Selain itu, Inna juga telah membantu penerbitan izin operasional sebuah rumah sakit swasta di Jombang dan meminta pungli izin. Dari pungli itu diduga Inna menyerahkan uang sebesar Rp 75 juta kepada Nyono pada 1 Februari 2018

Dalam OTT, KPK menyita uang tunai Rp 25 juta dan 9.500 dollar AS. Tak hanya itu. Konon, sumber Pepnews.com menyebutkan, Nyono juga meraup rupiah dari para calon pamong desa se-Jombang kisaran Rp 150 juta, Rp 200 juta, hingga Rp 200 juta.

Setidaknya ada lebih dari 700-an calon pamong se-Jombang. “Kepala Desa setor ke Nyono Rp 50 juta per calon jadi,” lanjut sumber tadi. Untuk Sekdes ada yang Rp 300 juta, Kepala-Kepala Urusan Rp 200 juta. Para calon minim setor Rp 150 juta.

Terkait suap Inna, Nyono disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara Inna sebagai pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

[irp posts="9863" name="Diduga Selingkuh", Bupati Jombang Malah Terjerat Korupsi"]

Menariknya, meski KPK telah menetapkan Nyono sebagai tersangka kasus suap, Minggu (4/2/2018), parpol koalisi tetap mengusung Nyono dan pasangannya, M Subaidi Muhtar, dalam Pilkada Serentak 2018 di Jombang.

Ketua DPC PKB Mas'ud Zuremi mengatakan, partai pengusung tetap solid. “Setelah kami berdiskusi dengan seluruh partai koalisi, termasuk juga pada pagi tadi kami bertemu terkait dengan hal-hal tersebut, “maka diputuskan, dari Partai Koalisi ini tidak ada masalah.”

Artinya, “Pencalonan bupati dan wakil bupati, pencalonan Pak Nyono dan Pak Subaidi pada Pilkada Jombang 2018,” kata Mas'ud saat menggelar jumpa pers di Graha Gus Dur, kantor DPC PKB Jombang, Minggu petang.

Pasangan ini diusung oleh Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem dan PKS serta PAN. Mas'ud menegaskan, partai pengusung menghargai proses hukum KPK atas Nyono. Tapi, pihaknya juga tetap menggunakan asas praduga tak bersalah terhadap kasus yang kini membelit calon yang mereka usung.

Alasan lain, proses pencalonan pasangan dalam Pilkada Jombang 2018 ini memasuki tahap krusial karena seminggu ke depan, KPU Jombang akan menetapkan pasangan yang akan bertarung dalam Pilkada Jombang 2018.

“Sesuai PKPU, kami tidak bisa mundur. Kami tetap mengusung Pak Nyono dan Pak Subaidi sebagai Calon Bupati dan Wakil Bupati Jombang dan kami akan tetap fight,” tutur Mas'ud, seperti dilansir Kompas.com.

Calon Wakil Bupati Jombang, M. Subaidi Muhtar mengungkapkan, dirinya akan melanjutkan langkah seperti apa yang diputuskan Partai Koalisi pengusung pasangan Nyono – Subaidi. “Kami tetap maju. Ini adalah tantangan yang harus kami jawab,” ujar Subaidi.

Extra Ordinary Crime

Sebagai salah satu dari lima Extra Ordinary Crime (artinya, kejahatan yang luar biasa) yang dilakukan seseorang/sekelompok orang berdampak massal, seharusnya KPU berani lakukan langkah ekstra luar biasa juga, misalnya dengan mengeliminasi Nyono.

Itu jika pihak parpol ngotot untuk tetap mengusung Nyono. Apalagi, alasannya selalu pada azas “praduga tak bersalah”, sehingga harus menunggu putusan hakim Pengadilan Tipikor telah berkekuatan hukum tetap (incrach).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf, menyebut, lima kejahatan serius yang sangat merugikan publik. Yaitu, narkoba, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia berat, terorisme, dan lingkungan hidup.

Jadi, sanksi yang berat harus dijatuhkan kepada pelakunya. Menurutnya, jika penyelenggara negara seperti kepala daerah menjadi tersangka dalam kasus-kasus itu, apalagi dia tertangkap tangan dan ditahan, sudah layak diberhentikan tetap dari jabatannya.

“Tidak perlu lagi menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap,” ungkap Asep Warlan, seperti dikutip Kompas.com. Langkah tegas terhadap penyelenggara negara pernah dilakukan Mendagri Tjahjo Kumolo dengan memberhentikannya.

Pertama, Wakil Walikota Probolinggo HM Suhadak yang diberhentikan sementara pada 22 November 2016 setelah menjadi terdakwa kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2009. Keputusan ini sesuai dengan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.

Kedua, Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi, pada Rabu 30 November 2016 setelah BNN menetapkannya sebagai tersangka. Sikap tegas Mendagri ini dinilai di luar kelaziman sesuai UU 23/2014. Biasanya kepala daerah diberhentikan sementara setelah jadi terdakwa.

Ketiga, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho yang diberhentikan sementara karena terlibat kasus penyuapan. Kasus ini berawal dari OTT KPK atas Yagari Bhastara alias Gerry, anak buah OC Kaligis yang menyerahkan uang US$ 5.000 kepada hakim PTUN Medan.

Setelah dikembangkan, ternyata uang itu berasal dari Gatot Pujo Nugroho. Pemberhentian Gatot sebagai Gubernur Sumatera Utara dilakukan Mendagri setelah terdakwa menjalani sidang perdana pada 23 Desember 2015.

Keempat, Bupati Bogor Rachmat Yasin yang juga diberhentikan setelah menjadi terdakwa kasus tukar guling lahan di Bogor. Dalam persidangan, Rachmat Yasin terbukti menerima suap sebesar Rp 4,5 miliar dalam tukar guling lahan hutan seluas 2.754 ha dengan PT BJA.

Kelima, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang diberhentikan sementara oleh Mendagri setelah menjadi terdakwa kasus penyuapan terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar Rp 1 miliar bersama Wawan, terkait Pilkada Lebak, Banten.

Kembali lagi dalam kasus Nyono, apakah Mendagri Tjahjo Kumolo juga bakal bersikap tegas pada Bupati Jombang itu seperti yang menimpa lima kepala daerah di atas? Atau mengulang kontroversi seperti status Basuki Tjahaja Purnama meski menjadi terdakwa?

Jangan sampai terjadi peristiwa seperti saat pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Buton, Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Abdul Samiun–La Bakry pada 24 Agustus 2017. Belum ada satu jam menjabat sebagai bupati terpilih, Samsu Umar Abdul Samiun langsung dinonaktifkan.

Dan saat itu juga, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sultra Saleh Lasata langsungmelantik Plt Bupati Buton pada La Bakry di Kemendagri. Petahana yang menang kembali melawan kotak kosong pada Pilkada 2017 ini didakwa menyuap mantan Hakim Konstitusi Akil Mochtar.

Di sinilah perlu “campur tangan” KPU sebagai penyelenggara Pilkada Serentak 2018 nanti. Karena, KPU-lah yang membuat aturan Pilkada dengan PKPU-nya. Sikap tegas dan berani mengeliminasi balon yang terlibat Extra Ordinary Crime ini dinantikan publik!

***

Editor: Pepih Nugraha