Selametan dan Tahlilan Bagian dari Tradisi Islam

Rabu, 7 Februari 2018 | 08:01 WIB
0
651
Selametan dan Tahlilan Bagian dari Tradisi Islam

Pernah seseorang menanyakan soal apa dasarnya umat Islam masih melakukan kegiatan “slametan” dan tahlilan jika ada di antara kerabatnya yang meninggal atau kumpul-kumpul di acara syukuran. Pertanyaan ini tentu saja sangat “klasik” dan mungkin lebih klasik dari mobil Mini Morris yang legendaris sejak Mr Bean sukses memperkenalkan lewat berbagai tayangan komoedinya.

Pertanyaan menyoal tradisi ini sepertinya telah menjadi pertanyaan abadi, yang jika-pun ada jawabannya, belum tentu “mereka” mau menerimanya. Padahal, jika saling menghargai dan menghormati dengan tidak saling menghina atau menyakiti, tentu itu lebih baik, bahkan mungkin lebih memiliki nilai ibadah di mata sang Maha Pencipta.

Pertama, soal klasik itu adalah bahwa anggapan di mana “selametan” dan tahlilan yang dijalankan sebagian umat muslim adalah merupakan kebiasaan yang melegenda dalam tradisi dan budaya Hindu-Budha dan bukan berasal dari tradisi Islam. Padahal, Islam sebagai agama, tentu saja tak pernah berdiri sendiri karena terkait dengan tradisi dan budaya agama sebelumnya yang hadir lebih dahulu jauh sebelum Islam itu sendiri ada.

Maka Islam “menyempurnakan” agama-agama terdahulu, bukan menghapus, merusak, apalagi menghilangkannya. Budaya dan tradisi yang baik tetap menjadi bagian dalam tradisi Islam, termasuk shalat, puasa, haji dan beragam ritual lainnya.

Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam momentum “Haji Perpisahan” ketika dirinya berkhutbah dengan membacakan ayat Al-Quran, “pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku” (QS. Al-Maidah:3)

Kedua, tradisi “selametan” tentu saja tidak ngasal, karena kata “selamat” dan “keselamatan” dengan beragam perluasannya—termasuk mengucapkan selamat—terambil dari makna “Islam” sendiri, yaitu “selamat”, “damai” dan “keselamatan”.

Teologi keselamatan (salvation) melekat dalam semua agama—termasuk Islam—dengan sebuah cara pandang universal setiap penganutnya bahwa dengan beragama, tentu saja akan “selamat” dan dalam tahap tertentu, beragama berarti memberikan “keselamatan” baik bagi dirinya dan orang lain.

Maka, Islam sendiri memiliki konotasi “selametan” karena dengan mempraktikannya, bukan saja kita diharapkan bisa “selamet” tetapi orang lain juga ikut “terselamatkan” pada akhirnya. Islam dan selamat, berarti dua kata yang memiliki konotasi sama, bukan dua entitas yang berbeda atau bertentangan.

Ketiga, filosofi “selametan” yang terwakili melalui praktik tradisi yang memberi makan kepada orang dengan tujuan sedekah, mengumpulkan orang lain, berdoa dengan segala macam ritual lainnya justru dilakukan agar orang yang mengadakan selametan tidak akan menyesal setelah dirinya nanti mati. Hal ini jelas tergambar dalam Al-Quran, bagaimana seseorang menyesali kenapa sewaktu hidupnya tidak “selametan” bersedekah dan memberi makan kepada orang lain.

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (QS. Al-Munafiqun: 10).

Menarik bukan filosofinya? Sebelum menyesal maka biasakan “selametan”, bersedekah dan kumpul-kumpul berdoa, sebelum ajal tiba.

Keempat, bahwa soal menyebarkan salam, membiasakan aktivitas yang mengajak kepada “keselamatan” yang kemudian diiringi dengan “makan-makan” atau sedekah, jelas merupakan salah satu wasiat Nabi Muhammad. Bukankah ketika pertama kali Nabi sampai di Madinah ketika hijrah, pernah menyatakan, “tebarkanlah salam atau keselamatan (afsyu as-salaam)” yang kemudian langsung diiringi oleh kalimat “dan berikanlah atau adakanlah sedekah dan makan-makan (ath’imu ath-tho’am)”.

Merekalah yang oleh Nabi dijamin masuk surga dengan selamat (wa tadkhulu al-jannata bis salaam). Bahkan, soal “makan-makan” ini jelas disebut dalam Al-Quran, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS. Al-Insan: 8-9).

Orang-orang yang “selametan” atau tahlilan yang memberikan makan kepada orang lain, tentu saja ikhlas hanya mengharapkan keridhaan Allah dan sama sekali tak pernah berharap balasan terima kasih, karena bagi mereka doa dan berkumpulnya orang-orang  yang hadir dalam setiap acara itu sudahlah cukup membuat hati mereka senang, karena bagaimanapun segala makanan—termasuk besek yang kemudian dibagikan—sudah semestinya tak bersisa, karena jika masih ada yang tersisa sama dengan mubazir yang justru lebih berdosa karena sama saja dengan mengikuti perbuatan syetan.

Mubazir tentu saja suatu kebiasaan buruk yang akan merugikan diri sendiri dan tak memberikan manfaat sedikitpun bagi kehidupan manusia, kecuali kesia-siaan.

Kelima, perihal hitungan hari-hari tertentu dalam tahlilan, seperti hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh dan keseratus, yang dianggap sebagai bagian dari tradisi atau kepercayaan agama lain yang bukan sama sekali berasal dari tradisi Islam. Jika yang dipersoalkan hitungan hari-harinya, maka perhatikanlah bahwa ayat-ayat Al-Quran banyak yang mengungkapkan perhitungan, entah soal berapa lama alam semesta diciptakan, jumlah hitungan bulan, jumlah lapisan langit dan bumi dan masih banyak perhitungan angka lainnya.

Angka tentu saja memiliki “kekhususan” yang hanya diketahui rahasianya oleh mereka yang berakal dan mau mengungkapnya. Terlebih soal hitungan hari dalam tradisi tahlilan, tentu memiliki makna substantif, dimana ruh setelah terpisah dari badan terdapat beberapa hitungan hari sampai ruh tersebut menetap dalam alamnya sendiri.

Rasulullah bahkan pernah menceritakan, bahwa ketika ruh itu keluar dari badan seseorang dan melewati tiga hari, ruh itu berkata, “Ya Tuhanku, izinkan aku pergi melihat jasadku di tempatnya berada”. Maka Tuhan mengizinkannya dan memandang jasadnya dari tempat yang jauh. Setelah melewati lima hari, ruh meminta kembali kepada Tuhannya agar diberikan kesempatan untuk kembali melihat jasadnya dan Tuhan-pun mengizinkannya.

Setelah melewati tujuh hari, lalu ruh meminta kembali hal yang sama agar Tuhan mengizinkan melihat jasadnya. Abu Hurairah juga pernah bercerita, bahwa setiap ruh orang beriman setelah kematiannya akan berputar di sekitar rumahnya selama satu bulan, dia melihat harta bendanya yang ditinggalkan, bagaimana pembagian warisan dan pembayaran hutang-hutangnya.

Setelah genap satu bulan, ruh kembali ke kuburnya, berputar-putar selama satu tahun dan menyaksikan bagaimana orang-orang mendoakannya dan mereka bersusah hati atas kepergiannya. Lalu, setelah satu tahun, ruh akan ditempatkan Allah bersama ruh-ruh yang lainnya hingga hari kiamat (Imam Abdurrahim bin Ahmad Al-Qadli: Daqaiq al-Akhbar fi dzikri al-jannati wan naar).

Lagi pula, kumpul-kumpul dengan berdzikir, membaca al-Quran atau ngobrolin agama adalah prasyarat turunnya rahmat dan ijabahnya doa para malaikat. “Tidak ada suatu kelompok berkumpul di rumah atau di rumah-rumah Tuhan, mereka membaca Al-Quran dan saling mempelajarinya, kecuali diturunkan kepada hati-hati mereka ketentraman (sakinah), ditaburkan kasih sayang (rahmat), didoakan para malaikat, dan Allah senantiasa akan mengingat mereka” (HR Muslim).

Bukankah tahlilan dan “selametan” dalam momen apapun adalah membacakan Al-Quran? Masih tidak percaya jika itu tradisi yang berasal dari zaman Nabi? Anda semestinya belajar lebih banyak lagi dalam hal menghormati dan meneladani tradisi-tradisi yang jelas telah dijalankan sejak masa Nabi.

***

Editor: Pepih Nugraha