Menyiasati Agar Bisa Tetap Salat Jumat di Norwegia

Senin, 5 Februari 2018 | 08:07 WIB
0
561
Menyiasati Agar Bisa Tetap Salat Jumat di Norwegia

Tadi siang sekitar jam 10:30 ponsel saya berdering. Dari layar terlihat siapa peneleponnya: kantor administrasi Rossabø Skole. Seingat saya terakhir saya ditelepon kantor sekolah saat jam sekolah adalah 4 tahun yang lalu. Kala itu beberapa kali Fatih sakit sehingga harus dijemput untuk pulang. Firasat kali ini sama. Dan ternyata memang betul.

Ibu petugas administrasi mengabarkan dengan suara kalem bahwa Fatih sakit.

Saya yang sejak dulu memang nggak gampang panik tiap anak sakit, menjawab dengan kalem pula bahwa saya akan segera menjemputnya.

Sebelum si ibu menjawab, saya mendengar samar-samar suara Fatih.

"Dia bisa pulang sendiri katanya. Dia mau menuntun sepedanya pulang," kata Si Ibu.

"Baiklah. Saya ada di rumah menunggu dia," jawab saya.

Akhirnya Pak Suami yang hari ini ngantor di rumah (demi bisa ikut Jumatan tepat waktu) mengambil inisiatif untuk menunggu Fatih di jalan. Untunglah jarak sekolah ke rumah dekat saja. Cukup 4 menit naik sepeda sudah sampai.

Dan tak lama Fatih dan ayahnya tiba di rumah. Saya spontan memegang keningnya. Dingin. Suhu di luar memang nyaris 0 Celcius seperti biasa di musim dingin begini.

Setelah meletakkan tas dan ganti baju, Fatih langsung minum fruit tea panas favoritnya. Pipinya memerah, hidungnya meler. Suhu termometer cuma 35 Celcius. Alhamdulillah nggak demam. Insyaa Allah ini cuma alergi dingin biasa, atau mungkin winter blues.

Kami suruh dia tidur. Setelah berdoa dan sebelum terpejam, dia berpesan, bahwa dia mau ikut ayahnya Jumatan.

Maklumlah, selama musim dingin ini salat Jumat dimulai antara jam 12:00 hingga 14:00. Tak ada waktu yang sama sepanjang tahun seperti di negeri khatulistiwa.

Ketika puncak musim dingin Desember lalu, jam 13:30 sudah masuk 'asar. Jadi salat Jumat biasanya dilaksanakan berdekatan dengan salat 'asar. Nanti di ujung musim dingin, waktu Jumatan juga akan bergeser mundur. Siang semakin panjang.

Dan musim panas nanti, kaum muslim melaksanakan Jumatan jam 15:30.

Begitulah seni hidup di negeri 4 musim. Urusan ibadah harus ikut menyesuaikan pergerakan matahari yang terus berubah seiring berubahnya musim.

Selama musim dingin ini Fatih jarang ikut Jumatan, karena dia baru sampai rumah jam 14:30 ketika Jumatan sudah usai.

[caption id="attachment_9734" align="alignleft" width="486"] Masjid di Oslo, Norwegia.[/caption]

Soal izin Jumatan untuk anak sekolah sampai saat ini masih belum ada aturannya di Haugesund, Norwegia. Saya pernah tanyakan hal ini ke walikelas Fatih. Dia tak tau jawabannya. Akhirnya pertanyaan ini diteruskan ke kepala sekolah untuk dibicarakan di dinas pendidikan Haugesund. Sampai sekarang kami masih menunggu jawaban.

Semoga ada jawaban yang melegakan sebelum Fatih baligh dan Jumatan jadi wajib untuknya.

Jumatan seringkali dianggap sesuatu yang "granted" bahkan dijadikan hari libur di negara-negara Arab. Bahkan di negara mayoritas muslim seperti Indonesia masih banyak lelaki dewsa muslim yang menggampangkan masalah Jumatan ini.

Di Eropa dan negara-negara di mana muslim adalah minoritas, kami harus menyiasati agar ibadah ini tidak ditinggalkan begitu saja tanpa alasan yang kuat.

Seperti Pak Suami yang minta izin kerja di rumah tiap Jumat di musim dingin. Kantornya sangat jauh dari masjid.

Syukurlah jam kerjanya cukup fleksibel, dan pimpinannya bisa mengerti.

Keadaan seperti ini mungkin tidak berlaku untuk semua tempat kerja di sini. Ketika salat Jumat dimulai jam 12:00 beberapa waktu lalu, pesertanya sangat sedikit. Kemungkinan karena mereka susah untuk meninggalkan pekerjaan.

Setelah tidur nyenyak selama 1 jam, Fatih terlihat cerah lagi.

"Ayo, Yah. Kita Jumatan! Kita berangkat sekarang aja, supaya nggak ketahuan teman-temanku. Nanti mereka pikir, aku sakit kok malah jalan-jalan."

Hikmah sakit sejenak hari ini: akhirnya bisa mengobati kangen ikut Jumatan.

Setiap hari adalah perjuangan. Setiap hari ada cerita istimewa, sekecil apapun itu.

***

Editor: Pepih Nugraha