Jagung Yang Semakin Pahit, Jokowi Perlu Cermati Menteri Yang Satu Ini

Senin, 5 Februari 2018 | 06:40 WIB
0
965
Jagung Yang Semakin Pahit, Jokowi Perlu Cermati Menteri Yang Satu Ini

sambil menikmati jagung rebus dan secangkir kopi

merenungkan nasib sahabat-sahabat petani yang semakin terpuruk

di manakah nikmat kemerdekaan yang terjanji?

ketika hasil panen mereka dihargai bak sampah setumpuk

meski penjajah sudah hengkang, nasib mereka tetaplah seperti anak tiri

langkah yang semakin gontai karena beban yang semakin menumpuk

Sejak tahun lalu, jagung menjadi komoditi yang tidak habis-habisnya bermasalah. Pemerintah tidak tanggung-tanggung membuka lahan baru untuk jagung, 2 juta hektar di seluruh Indonesia (entah berhasil tidak dibuka 2 juta hektar lahan baru). Panen raya telah mulai dan sekali ini seperti cerita yang biasa kita dengar, petani lagi-lagi menjadi korban. Harga jatuh!

Di Sumut, harga jagung kering diterima pengumpul pada harga Rp.3000,- per kilo, sedangkan harga jagung basah Rp. 2000,- per kilo. Harga diterima pabrik pakan pada harga Rp. 3250,-. Di Jawa, harga lebih rendah lagi, hanya Rp. 2900,- per kilogram jagung kering!

Amran Sulaiman pernah minta BULOG membeli jagung di Rp. 3150 per kilo sesuai HPP. Harga ini untuk jagung kering atau jagung pipil basah? Harus kita ingat kalau petani kecil kita tidak mengerjakan lahan puluhan hektar sekali tanam. Ada yang hanya punya tanah 2000 m2. Dengan hitungan HPP Amran Sulaiman, maka keuntungan petani hanyalah Rp. 200.000,- per bulan. Duh!

Apakah harga jagung menjadi begitu rendah karena produksi jagung 24,5 juta ton untuk lahan tanam 3 juta hektar (Des 2017), berlebihan untuk kebutuhan Indonesia? Kebutuhan jagung Indonesia setiap bulan sekitar 950.000 ton per bulan, berarti hampir mencapai 12 juta ton per tahunnya. Dengan optimisnya Menteri Pertanian, Amran Sulaiman mengatakan akan mengekspor sisa produksi jagung ke Malaysia dan Filipina. Bukan!

Entah sandiwara apa lagi yang terjadi. Karena, tidak hanya hitungan di atas yang tidak masuk akal. Pemerintah dengan gampangnya memberikan kuota impor gandum untuk pengusaha pakan ternak! Petani bukan hanya dikhianati tetapi ditikam dari belakang.

Sungguh kejam Menteri Pertanian ini. Di satu sisi dia menyuruh orang membuka lahan pertanian jagung sebesar-besarnya, tetapi di sisi lain, dia memberikan kuota impor gandum sehingga harga jagung yang bukan hanya tertekan karena panen raya, tetapi karena Silo-silo di pabrik pakan terisi penuh dengan gandum. Dan gandum tetap diimpor sampai bulan Juni nanti. Gendheng!

Sebenarnya, harga jagung sekarang bisa lebih jatuh lagi, tetapi Charoen Phokpand Indonesia keberatan apabila harga jagung terlalu rendah, akan berdampak dengan suplai jagung di masa yang akan datang apabila petani enggan menanam jagung lagi. Sementara pabrik pakan yang lain sudah mengasah pisau tajam-tajam, menggorok leher petani.

Satu hal yang perlu kita cermati, harga pakan sebenarnya juga ikut turun. Seakan-akan pabrik pakan tidak berdosa, ya? Tahukah kita, bahwa semua pabrik pakan besar memiliki peternakan sendiri? Dan taukah kita harga daging dan telur sama sekali tidak turun? Wake up!!!

Ada satu fenomena yang lebih aneh lagi, harga gandum sekarang, terima di pabrik adalah Rp. 3650 per kilo. Lebih mahal dari harga jagung sekarang, yang hanya Rp. 3250,-! Ada apa ini?! Bukannya memproteksi petani lokal, kita malah mendukung petani luar negeri.

Kita harus sadar, bahwa pertanian Indonesia masih banyak memakai tenaga manusia, meski sudah banyak mendapatkan traktor bantuan pemerintah, tetapi penanaman, pemupukan dan pemanenan masih banyak yang dilakukan secara manual. Sementara pertanian luar negeri, bisa dibilang hampir 100% mekanisasi. Karena itulah harga pakan di luar negeri sangat rendah. Kebanyakan kontur tanah di Indonesia, tidak memungkinkan mekanisasi penuh.

 

Memang kita sadari, tantangan dalam bidang pertanian sangatlah besar. Tetapi bersandiwara seakan-akan Menteri telah sanggup menyelesaikan semua masalah pertanian, berhasil menciptakan swasembada pangan, adalah suatu kebohongan besar.

 

Peristiwa belakangan ini, di mana harga beras naik tajam, adalah bukti bahwa, ada kebohongan besar tentang swasembada beras. Begitu juga dengan swasembada jagung. Jagung yang disebut diekspor hanya dalam jumlah yang sangat kecil!!! Kalau melihat data di atas, seharusnya kita mengekspor paling sedikit 12 juta ton jagung! Apa kalkulator saya yang rusak?

Setiap hari, saya bertemu dengan petani jagung yang mengeluh dengan harga yang rendah. Yang jangankan untuk menyekolahkan anaknya, untuk menghidupi diri mereka dengan layak saja pun tidak cukup.

Saya rasa pemerintahan Jokowi sekarang adalah pemerintahan yang paling bersungguh-sungguh membangun bangsa kita (apalagi dibanding rejim sebelumnya), dengan semboyan “KERJA, KERJA, KERJA” dan NAWACITA nya. Tapi, melihat keadaan sekarang, tidaklah berlebihan kalau kita menganggap adanya kartel yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya sendiri, yang memenangkan pertarungan.

BULOG tidak lebih dari badan usaha yang mengutamakan keuntungan, yang fungsinya tidak jelas. Menteri Pertanian yang supaya tidak direshuffle, membangun citra dengan sederet kebohongan, terus menerus.

[caption id="attachment_9725" align="alignleft" width="497"] Petani jagung (Foto: Jitunews.com)[/caption]

Adalah sangat penting, kita pahami, bahwa langkah Pengusaha Pakan Ternak, mengimpor gandum, adalah deretan perlawanan pengusaha sejak pemerintah mengatur tata niaga jagung. Awal mula perseteruan ini adalah ketika ada ketidak pastian supply jagung lokal. Pada waktu itu, pemerintah merasa harga jagung terlalu rendah, Kementan merasa dengan mengurangi impor jagung akan menaikkan harga jagung.

Karena terlalu tergesa-gesa harga jagung naik sampai Rp. 6000,- per kilo nya! Pabrik Pakan gerah, lalu mulai mengimpor gandum, yang pada saat itu belum diatur tata niaganya. Saking banyaknya impor gandum, semua SILO mereka penuh dengan gandum. Pembelian jagung dibatasi dan spesifikasinya kemudian diperlakukan sesuka-suka pabrik penerima. Kemudian ketika pemerintah mulai menerapkan kuota untuk gandum pakan, apakah kita yakin gandum yang diimpor sebagai gandum layak konsumsi manusia tidak merembes ke pabrik pakan?

Ketika masalah terjadi, Pemerintah muncul sebagai pahlawan dan berjanji BULOG akan membeli jagung bila harga jatuh. Sekarang, tata niaga jagung dihancurkan sendiri oleh Mentan. BULOG tetap saja tidak diperintahkan membeli jagung, karena mereka hanya mementingkan keuntungan, bukan menyelamatkan petani kecil. Mana mungkin mereka mau berbisnis yang beresiko mereka akan rugi. Entah apalagi sandiwara yang akan dimainkan Mentan, nantinya.

Secara jernih, sebenarnya jagung ini kalau dikerjakan dengan jujur, akan gampang diselesaikan.

 

 

  • Duduk bersama dengan semua stake holder, Pabrik Pakan, Peternak, Supplier Besar, Perwakilan Petani dan Pemerintah.

 

 

  • Merancang bersama produksi, luasan tanam, impor dan atau ekspornya. Kalau perlu, pabrik pakan diberi tugas membina petani di daerah-daerah tertentu. Komitmen pembelian harga minimal adalah salah satu hal yang masuk akal dan akan memberikan kepastian kepada petani.

 

 

  • Kalau impor gandum dipandang perlu, maka gandum hanya boleh diimpor sebagai pengganti sebagian kebutuhan jagung dan bukan sebagai substitusi total dari jagung dalam komponen pakan ternak. Dengan bahasa lain, gandum boleh diimpor kalau terjadi gagal produksi atau di masa2 produksi menurun.

 

 

Menurut hemat saya, lebih baik, BULOG tidak dilibatkan sama sekali dalam tata niaga jagung. Kenapa? Karena BULOG tidak mempunyai SILO. Tanpa SILO, jagung pasti akan rusak. Kalau impor hanya boleh lewat BULOG, akhirnya, BULOG berperan hanya sebagai calo ijin, pengambil rente. Pada akhirnya, modal pembelian jagung menjadi tinggi, yang pasti berpengaruh dengan harga jual jagung.

Selama ini, BULOG tidak pernah bersungguh-sungguh menyelesaikan masalah pangan dan pakan di Indonesia. Apakah BULOG dibubarkan saja atau dibuat Badan khusus yang menangani pangan? Sebaiknya Badan ini diketuai oleh seseorang yang mengerti benar perihal pangan dan pakan, yang tidak membeli dan menjual, tapi hanya mengatur tata niaganya.

Jadi, biarkan saja, pabrik pakan mengimpor jagung atau pun gandum, tapi dengan pengawasan melekat dari Departemen Perdagangan atau Badan Khusus Pangan/Pakan. Artinya, mereka bertanggung jawab menyerap semua produksi jagung lokal sebelum diberikan kuota impor. Semua pabrik toh memiliki record kapasitas produksinya. Bukan hal yang sulit.

Sudah begitu banyak pembangunan infrastruktur di Indonesia, meski sebenarnya belum diikuti efisiensi biaya logistik, setidaknya tidak berbanding lurus. Dan kita tetap bangga, bahwa kita akan dipandang sebagai negara maju. Tetapi struktur ekonomi, sosial politik dan hankam yang nyatalah, yang akan menopang kita sebagai bangsa yang besar dan kuat. Pakan dan Pangan adalah faktor yang secara langsung mempengaruhi kualitas hidup sehari-hari kita.

Ketika kita mau memperbaiki Tata Niaga Jagung, maka kita tidak bisa hanya jor-joran di hulu, membuka lahan baru seluas-luasnya, tetapi juga jujur dan terbuka dengan pemakai Jagung terbesar, yaitu Pabrik Pakan. Sangat tidak masuk akal, kalau pemerintah bermusuhan dengan pengusaha, akibatnya tidak ada trust, sehingga masing-masing mengambil langkah masing-masing mengamankan diri sendiri.

Keputusan yang diambil sendiri-sendiri, karena ego yang tinggi, tidak akan berdampak baik kepada negara dan bangsa. Kalau masih seperti ini, maka kesalahannya adalah karena individu yang keras kepala dan tak cakap bekerja. Kita berharap Jokowi dapat menilai pembantunya apa adanya.

Begitulah gonjang-ganjing dunia per-jagung-an di Indonesia. Jangan anggap enteng jagung, bisa-bisa seorang menteri terjungkal karena biji-biji jagung yang licin, gampang membuat orang terpleset  kalau tidak hati-hati melangkah!

Medan, 4 Februari 2018, 4 hari sesudah Bulan Berdarah.

Anto Medan

***

Editor: Pepih Nugraha