Orang Madura Itu Punya Falsafah “Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato”!

Minggu, 4 Februari 2018 | 16:54 WIB
0
2207
Orang Madura Itu Punya Falsafah “Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato”!

Peristiwa yang menimpa Ahmad Budi Cahyono, 27 tahun, guru tidak tetap (GTT) di SMAN 1 Torjon Kabupaten Sampang, Madura, jelas sudah keluar dari pakem sebagai orang Madura yang harus dipatuhi: Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato.

Kalimat itu dibaca, Bhuppak Bheubuk Ghuru Rato atau dalam bahasa Indonesia: Bapak Ibu Guru dan Raja. Peribahasa ini menggambarkan tingkat penghormatan orang Madura terhadap manusia dan lingkungannya di mana mereka berada.

Penghormatan yang utama adalah kepada Bapak dan Ibu pada khususnya, dan orang tua atau senior pada umumnya. Penghormatan kedua diberikan kepada ulama atau tokoh. Dan ketiga, kepada pemerintah atau birokrat yang memimpinnya.

Andai Moh. Halili, 18 tahun, siswa SMAN 1 Torjun yang menganiaya guru Seni Rupa Budi Cahyono itu memegang teguh ajaran dan budaya Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato itu, niscaya peristiwa tersebut tidak akan menimpa Budi Cahyono.

Dalam dunia pendidikan, baik itu formal maupun informal, sudah saatnya ajaran dan budaya Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato tersebut direaktualisasi kembali di Madura khususnya, syukur bisa diterapkan secara regional Jatim maupun Nasional.

Karena ajaran dan budaya tersebut sangat dalam pengertiannya. Makna ungkapan itu adalah kepatuhan dan rasa hormat orang Madura secara terhadap figur-figur utama. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orang tuanya.

Kemudian pada guru (bisa juga ulama dan tokoh). Dan terakhir, pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan pada figur-figur utama tersebut.

Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura, maka pelanggaran atau paling tidak, jika melalaikan aturan itu, akan memperoleh sanksi sosial sekaligus budaya. Tentu saja, pemaknaan sebatas itu tidaklah sepenuhnya salah mereka.

Jika menyimak falsafah Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato tersebut secara mendalam, sebenarnya ajaran dan budaya itu tidak lepas dari saripati pelajaran agama (Islam) yang dianut oleh orang Madura. Patuh kepada Bapak-Ibu jelas ada dalam Islam.

Begitu pula guru atau ulama dan tokoh. Seperti halnya ulama, seorang guru di Madura tidak jarang juga dipanggil dengan sebutan ustadz, terutama di pondok-pondok pesantren atau di sekolah Islam seperti madrasah dan sekolah Islam lainnya.

Ati’ullaha wa ati’ur rasula wa ulil amri minkum. Makna kalimat ini adalah: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu” (Surat An-Nissa ayat 59). Ini ajaran Islam yang jelas dan saling berkaitan, tidak bisa dipisahkan.

Ulil amri bisa diartikan sebagai umaro atau pemimpin diantara kamu. Dalam konteks orang Madura bisa juga diartikan sebagai rato atau raja (pemerintah). Jika dalam konteks Indonesia tentu saja, pemimpin yang dipilih diantara “orang Madura”.

Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato itu satu kesatuan kepatuhan. Dan, itu adalah ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Kita tahu agama dari orang tua, guru atau ulama, dan pemimpin kita (ulil amri minkum). Itulah Islam.

Ulil amri itu jangan diartikan pemimpin pemerintahan saja tetapi orang tua, guru atau ulama juga bisa disebut sebagai pemimpin. Taat kepada pemimpin di sini adalah dalam hal kebaikan dan kebaikan adalah wujud dari iman kita itu sendiri.

Makanya jangan kita mengaku cinta kepada Allah kalau tidak cinta kepada rasul-Nya. Jangan juga mengaku cinta pada rasul kalau kita tidak mencontoh beliau. Jangan mengaku cinta pada rasul jika kita tidak taat pada pemimpin diantara kita.

Dalam kultur Madura, kepatuhan pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas, bahkan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi diganggu-gugat. Durhakalah jika seorang anak sama sekali tidak patuh kepada kedua orangtua kandungnya.

Bahkan, kata Moh. Hafid Effendy dalam tulisannya di Lontarmadura.com, di masyarakat dan kebudayaan manapun, kepatuhan seorang anak kepada orangtua kandungnya adalah mutlak. Kemutlakan ini sama sekali tidak terkendala, ditopang sepenuhnya oleh aspek genealogis.

Artinya, jika pada saat ini seorang anak patuh kepada kedua orangtua kandungnya, maka ada saatnya pula anak itu harus menjadi figur yang harus dipatuhi anak kandungnya ketika yang bersangkutan telah menikah dan mempunyai anak pula kelak.

Bagaimana dengan kepatuhan orang Madura pada figur guru? Oleh karena peran dan fungsi guru lebih pada tataran moralitas dan masalah-malalah ukhrowi (morality and sacred world) maka kepatuhan orang Madura yang taat tentu saja tidak bisa dibantah lagi.

Bagaimana halnya dengan figur rato? Siapa pun dapat menjadi figur ini entah itu berasal dari etnik Madura sendiri maupun dari etnik lain. Sebab, figur rato ini adalah suatu achievement status yang persyaratannya bukan faktor genealogis melainkan karena faktor prestasi.

Bila demikian, lanjut Hafid Effendy, siapa pun yang dapat dan mampu meraih prestasi itu berhak pula menduduki posisi sebagai figur rato. Namun demikian, dalam realitas praksisnya tidak semua orang Madura dapat mencapai prestasi ini.

Belajar dari kasus Guru Budi Cahyono, tampaknya orang Madura harus kembali mengaktualisasi kembali pegangan hidup: bhuppa’ bhâbhu’ ghuru rato. Tidak ada salahnya jika falsafah itu diaktualisasikan dalam sistem pendidikan di Madura.

Korban sistem pendidikan

Menurut Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jatim Isa Ansori, peristiwa pemukulan oleh siswa pada gurunya yang menyebabkan meninggalnya si guru di Sampang, itu sebenarnya keduanya adalah korban dari sistem pendidikan kita juga.

“Sistem pendidikan kita hanya berpihak pada mereka yang berkebutuhan rata rata, tidak mampu memberi pelayanan kepada mereka yang berkebutuhan khusus, sehingga mereka yang berkebutuhan tidak mendapatkan layanan yang semestinya,” ujarnya.

Isa Ansori mengatakan, ketika pelajaran kesenian seni lukis lalu siswa ternyata tak menyukai seni lukis, apa yang dirasakan siswa ketika di kelas? Tentu bosan, jenuh dampaknya dia akan melakukan sesuatu untuk mengisi kejenuhannya.

“Ada yang tidur,  ada yang main game, ada juga yang mengganggu temannya,” ujar Isa Ansori kepada PepNews.com. Ketika mengganggu, tentu saja guru merasa diabaikan,  dan akhirnya guru memberi sanksi.

“Dalam kasus Sampang, terjadinya seperti itu, sehingga menurut saya kedua-duanya adalah korban,” tegasnya. Guru dituntut untuk memberi pelajaran dengan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan, “anak juga dituntut menghadiri pelajaran meski anak tidak berminat.”

[irp posts="9642" name="Guru Ahmad Budi Cahyono Layak Dijadikan Pahlawan Pendidikan""]

Sehingga, menurut Isa Ansori,  sistem yang harus dievaluasi menjadi sistem pendidikan yang menghargai keunikan setiap anak dan memberi ruang bagi anak untuk menjadi yang terbaik. "Saya sudah berkali-kali menyampaikan ke Kadiknas Jatim,” ungkapnya.

Yang disampaikan Isa Ansori adalah tentang sekolah yang memanusiakan dengan Konsep Sekolah Rumah Anak, “Tapi ya itulah, pelaksanaan pendidikan kita masih beridiom “proyek” dengan ukuran angka-angka kuantitatif,” katanya.

Sehingga, angka-angka kualitatifnya tidak terjangkau dan tidak terukur. “Dengan Sekolah  Rumah Anak diharapkan semua yang berada di sekolah akan merasa menjadi keluarga,  saling menghargai dan saling mengapresiasi,” ujar Isa Ansori.

Fungsi sekolah sebagai rumah kedua bagi anak akan terpenuhi sebagai tempat yang nyaman dan aman bagi anak anak. Konsep Sekolah Rumah Anak, lanjutnya, sejatinya konsep yang mengembagkan perpaduan Standar Nasional Pendidikan dengan UU Perlindungan Anak.

Proses pembelajaran berlangsung sesuai dengan standar pendidikan, dalam pelaksanaannya perlindungan anak juga berjalan, “Sehingga baik guru maupun anak merasa nyaman dalam proses proses pembelajarannya,” ungkap Isa Ansori.

Menurut Kepala Dnas Pendidikan Jatim Saiful Rachman, guru itu pendidik, bukan pengajar, yang membentuk supaya anak menjadi pinter. Sekolah itu proses pendidikan. “Kalau anak sudah terlalu, gak masuk sekolah sampai 2 bulan, kita akan panggil orangtuanya,” ujarnya.

Dari catatan di guru BK, dia memang tergolong merah. Sedianya, pada Jum’at, 2 Februari 2018, itu orangtuanya mau dipanggil BK untuk memberi tahu persoalan yang dilakukan terhadap gurunya tersebut.

“Sebenarnya sudah banyak peringatan terhadap anak ini. Dia buat kenakalan mulai kelas 10. Sering membuat onar di sekolah, sering bolos, dan tidak tertib dalam belajar-mengajar, bisa menjadi catatan di BK,” tegas Saiful Rachman kepada PepNews.com.

***

Editor: Pepih Nugraha