Mengapa Tito Karnavian Sebaiknya Mengundurkan Diri sebagai Kapolri?

Jumat, 2 Februari 2018 | 17:54 WIB
0
771
Mengapa Tito Karnavian Sebaiknya Mengundurkan Diri sebagai Kapolri?

Jenderal Polisi Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D. Jika kita menyimak latar belakang pendidikan, perjalanan karir dan prestasi-prestasinya hingga akhirnya dipilih oleh Presiden sebagai Kapolri, tidak bisa dipungkiri bahwa beliau ini sosok yang hebat. Putra bangsa cemerlang yang lahir dari institusi kepolisian Republik Indonesia yang patut kita banggakan.

Tapi, mengapa saya malah berpendapat sebaiknya beliau mengundurkan diri dari jabatan Kapolri yang sedang diembannya saat ini?

Kita tentunya sama-sama mahfum bahwa institusi kepolisian adalah satu dari sekian institusi yang sangat penting sekali bagi keutuhan suatu negara, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini sangat penting sekali jika dilihat dari sudut pandang fungsinya sebagai penjaga keamanan dan melindungi seluruh rakyat sipil Indonesia. Tanpa kepercayaan masyarakat umum, mustahil institusi kepolisian bisa berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan didirikannya institusi ini.

Saya awali dengan mencuatnya kasus Papa Minta Saham tahun 2015 yang lalu, yang hingga kini bisa dikatakan tidak jelas bagaimana akhirnya. Berikut transkrip yang memuat nama Tito.

MR: Kapolda Papua itu kan sahabat saya, sahabat dekat.

MS: Tito?

MR: Tito. Akhirnya (dia) ditarik ke Jakarta supaya enggak mencolok, jadi Asrena (Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Anggaran). Sekarang Papua sudah jalan, kasih hadiah sama Jokowi. Padahal maunya Jakarta bukan dia. Pak BG maunya bukan Tito. Pak BD maunya Pak Budi, tapi Budi ditaruh di Bandung, Tito Jakarta. Yang minta Jokowi.

Dari kasus ini, mulai muncul keragu-raguan saya terhadap kredibilitas dan integritas Tito Karnavian.

[irp posts="9468" name="Kalau di Belahan Dunia Lain, Pak Tito Sudah Langsung Letak Jabatan"]

Sikap Tito terhadap Aksi Bela Islam (ABI). Ketika kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama aka Ahok baru naik ke permukaan, kasus yang telah memunculkan sejarah baru bagi perjalanan demokrasi di negara kita, Tito menyampaikan pendapatnya bahwa Ahok tidak bermaksud menista agama.

"Dalam bahasanya itu, 'Jangan percaya kepada orang,' bahasanya, 'Bapak-bapak, ibu-ibu punya batin sendiri tidak pilih saya. Dibohongi pakai....' Kata 'pakai' ini penting sekali. Tapi dalam konteks itu tidak ada maksud terlapor mengatakan Al Maidah itu bohong," Tito menjelaskan di Istana Presiden, Jakarta, Sabtu, 5 November 2016 sebagaimana diberitakan Liputan6.com.

Tito memang sempat membantah bahwa penjelasan itu bukan pendapat pribadinya, beliau hanya mengutip tafsir yang disampaikan oleh ahli agama dan bahasa kepada penyidik Badan Reserse Kriminal Polri, namun hal itu (setahuku) tidak ada dijelaskan ketika ia menyampaikan penjelasan tersebut.

Mengetahui keakraban Tito dan Ahok sebelum kasus ini muncul, yang juga diakui oleh Ahok sendiri, saya tetap berkeyakinan bahwa alam bawah sadarnya saat itu sedang berusaha untuk membela Ahok. Suatu pembelaan yang sangat tidak layak, mengingat posisinya sebagai Kapolri.

Keyakinan ini diperkuat dengan sentimen Tito setahun kemudian terhadap aksi Reuni 212 yang ia sebut sebagai aksi politik. Sementara itu aparat penegak hukum terkesan mengistimewakan Ahok dengan cara memenjarakannya di Mako Brimob, suatu tindakan yang menurut sebagian pengamat hukum sebagai tindakan pelanggaran hukum.

Masih terkait kasus penistaan agama ini, kasus dugaan makar dalam ABI 212 yang dilontarkan Tito hingga kini tidak jelas bagaimana kelanjutannya (Republika, 2 Februari 2018). Suatu dugaan yang telah menimbulkan keresahan masyarakat dan bisa dilihat sebagai upaya Tito untuk menekan, mengendalikan atau menggembosi aksi tersebut.

Bagaimana dengan kasus Muhammad Rizieq Shihab? Kasus persekusi yang dialami oleh Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Ustad Tengku Zulkarnaen di Bandara Susilo, Sintang, Kalbar? Persekusi Fahri Hamzah di Manado? Sekedar mengingatkan, saat itu beliau dalam rangka kunjungan kerja sebagai Wakil Ketua DPR RI. Persekusi Ustad Abdul Somad? Status tersangka Ustad Zulkifli Muhammad Ali? Penyerangan Novel Baswedan? Victor Laiskodat? Kriminalisasi ulama? Hingga Komnas HAM dan DPR pun mempertanyakannya.

Dan yang paling mutakhir, soal pidatonya di Pondok Pesantren Annawawi, Serang, Banten, 8 Februari 2017, yang telah menciptakan kegaduhan baru, yang dianggap telah melecehkan ormas Islam selain NU dan Muhammadiyah, pidato yang sangat berpotensi mengadu domba ummat Islam.

Banyak dan akan panjang sekali jika dijabarkan semuanya di sini, apalagi secara mendetail. Secara ringkasnya;

"Polri di bawah kepemimpinan Tito telah berubah wujud ke atas seperti partai politik pendukung pemerintah, ke bawah seperti ormas bersenjata."

~ Ahmad Doli Kurnia, Politisi Muda Partai Golkar.

"Sekarang ini kan trending topik kita soal kriminalisasi kepada siapa yang dianggap lawan hukum begitu tegas. Tetapi kepada mereka yang dianggap kawan hukum tidak berjalan. Jadi, hukum ini tumpul ke kawan tajam ke lawan.”

~ Fadli Zon, Wakil Ketua DPR.

[irp posts="4463" name="Dari Papua, Presiden Jokowi Bisa Menimang-nimang Gatot atau Tito"]

Kesemuanya itu membuat kepercayaan saya terhadap sosok ini habis sudah. Pun, saya tidak menafikan prestasi-prestasi Tito, khususnya dalam memperbaiki kondisi internal Polri seperti menaikkan anggaran dan pembentukan korps-korps baru. Beliau memang hebat secara teknis tugas-tugas kepolisian, tetapi sebagai Kapolri, dalam hal ini sebagai pemimpin umum penegak hukum sipil, menurutku sih, tidak.

Jika Tito Karnavian bersikap gentleman, lebih mengutamakan wibawa atau kehormatan institusi Polri daripada dirinya sendiri, sudah selayaknya beliau mengundurkan diri.

Catatan,  "Jika institusi Polri dan TNI dijadikan sebagai alat untuk kepentingan politik sosok, partai atau golongan tertentu saja, maka kehancuran negara itu akan disegerakan".

~ Rahmad Agus Koto, warga biasa.

***

Editor: Pepih Nugraha