Dua Wakil Ketua DPRD DKI Ini Mendadak Jadi Corong Pemerintah

Rabu, 31 Januari 2018 | 08:19 WIB
0
491
Dua Wakil Ketua DPRD DKI Ini Mendadak Jadi Corong Pemerintah

Di seluruh dunia ini, salah satu fungsi penting anggota parlemen yang di sini disebut Anggota DPR/DPRD adalah berbicara. Sebab, muasal kata parlemen itu adalah "parler", kata kerja dalam bahasa Perancis yang artinya "berbicara". Jadi, pekerjaan anggota parlemen alias anggota DPR/DPRD itu ya berbicara. Kalau tidak berbicara, itu namanya makan gaji buta.

Berbicara kepada siapa? Di ruang rapat Dewan, anggota parlemen harus berbicara kepada pemerintah. Di wilayah konstituen, mereka harus berbicara kepada rakyat, menampung aspirasi rakyat untuk disampaikan dan dibicarakan di gedung dewan.

Jadi, terus saja berbicara, tapi bukan asal bicara, sebab mereka diposisikan untuk selalu mengkritik dan mempertanyakan kebijakan pemerintah. Ini terkait salah satu fungsi penting anggota DPR/DPRD ini adalah mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk produk kebijaksanaan pemerintah yang sejatinya bersangkut-paut dengan kepentingan rakyat. Nah, anggota Dewan ini adalah wakil rakyat itu.

Tetapi apa jadinya jika anggota DPR/DPRD malah propemerintah, menjadi corong pemerintah, dan berbicara keras untuk kepentingan pemerintah seperti yang ditunjukkan dua pimpinan DPRD DKI Jakarta yaitu  Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik dan Abraham "lulung" Lunggana?

Kalau sudah begini perkaranya, mungkin namanya harus dikoreksi; bukan lagi wakil rakyat, melainkan wakil pemerintah!

Ironis juga ga apa-apa, sebab keduanya tidak dipilih oleh pemerintah, melainkan oleh warga Jakarta saat pemilu lalu. Kalau kemudian keduanya mendadak jadi corong pemerintah, ya jangan salahkan sistem yang sudah menggarisbawahi fungsinya sejak lembaga itu ada, yaitu mengawasi jalannya pemerintah. Jangan salahkan juga Mohamad Taufik dan Haji Lulung karena mereka juga manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa. Ini semata-mata kecanggihan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta saja!

[caption id="attachment_9386" align="alignright" width="506"] PKL di Tanah Abang (Foto: Jawapos.com)[/caption]

Ketika zaman gubernur Basuki Tjahaja Purnama berkuasa, kedua anggota DPRD ini sudah berada di rel yang benar, yaitu mengkritik terus kebijakan pemerintah dan mereka tidak perlu malu hati makan gaji buta seperti sekarang ini. sekarang ketika kekuasaan berganti di bawah Gubernur Anies Baswedan dan wakilnya Sandiaga Uno, mereka tiba-tiba lupa akan fungsi utamanya, yaitu mengkritik jalannya pemerintah. Keduanya mendukung blas hampir semua kebijakan Anies-Sandi tanpa cela dan noda. Wajar dong kalau sekarang disebut wakil pemerintah!

Mau contoh? Salah satu kebijakan yang sedang ramai disorot dan dibicarakan adalah masalah penataan Tanah Abang yang menurut orang awam pun aneh dan membingungkan. Penataan ala Anies-Sandi yang seperti kurang kerjaan ini malah menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Pro PKL, tapi mengabaikan nasib sopir metromini alias angkot dan pedagang yang punya kios permanen. Jalanan yang seharusnya diperuntukkan buat lalu-lintas, malah ditutup menjadi kawasan niaga. Jalan yang berfungsi sebagai lalu-lintas kendaraan  itu itu ada undang-undangnya loh, Mas Bro!

Alih-alih pujian, malah kritikan bernada makian yang didapat. Langkah Anies-Sandi menutup Jalan Jatibaru untuk tempat dagang PKL, misalnya, dikritik Direktorat Polda Metro Jaya dan Ombudsman. Sopir angkot yang biasa beroperasi di sana pun berdemo, tidak kalah sama LSM. Mereka meminta Pemprov DKI membuka kembali jalan itu karena memang jalan buat berjalan, bukan buat jualan.

Belum lagi suara warga sekitar yang memprotes keras dan mengaku tidak digubris oleh Gubernurnya sendiri, sebagaimana termuat dalam surat seorang warga yang ditujukan kepada Harian Kompas. Warga berhak protes wong untuk masuk pekarangan rumahnya saja sulitnya minta ampun akibat penutupan jalan itu. Tempo hari sopir angkot demo meminta jalan itu dibuka kembali. Akibatnya, Transjakarta menghentikan layanan Tanah Abang Exlorer yang gratis tapi mematikan penghasilan sopir angkot.

Ibarat hamil tua atau bom waktu, "revolusi sopir angkot" yang didukung warga sekitar, pengguna jalan dan pemilik kios permanen tinggal menunggu waktu meledak saja. Jika tidak diantisipasi, kerusuhan komunal tidak terelakkan.

[irp posts="9209" name="Sebab Becak Setitik Rusak Jakarta Sebelanga"]

Sebagai wakil rakyat yang harus bersuara kritis, Lulung seperti tidak sedang mewakili rakyat, ia malah mendukung pemerintah yang menutup jalanan umum agar PKL bisa berjualan di sepanjang jalan di depan Stasiun Tanah Abang itu. Entah punya saham apa di antara ratusan tenda temporer yang berjejer itu, yang jelas Lulung menjadi "prorakyat PKL" atas kebijakan pemerintah yang menuai banyak kritik ini.

Keberadaam becak yang kembali diperbolehkan setelah puluhan tahun dirumponkan pun menuai badai kritik. Nah, sebagai wakil rakyat Taufik seharusnya ikut mengkritik kebijakan pemerintah yang bisa menjadikan Jakarta kota semrawut lagi. Tetapi apa yang terjadi? Selain mendukung blas kebijakan pemerintah Anies-Sandi, Taufik malah mengatakan keberadaan becak adalah janji Jokowi-Ahok. Di sini terlihat betapa "Jaka Sembung bawa golok"-nya wakil ketua DPRD itu.

Idem dito dengan Lulung, Taufik juga mendukung kebijakan Anies-Sandi soal PKL di Jalan Jati Baru itu. Uniknya, Taufik membandingkan sikap polisi terhadap penutupan Jalan Jatibaru dengan jalan lainnya.

"Kenapa sih Polda enggak minta buka jalan eks Kedubes Inggris? Kenapa itu enggak direkomendasikan dibuka juga? Kalau yang ini kan untuk rakyat kecil, tinggal traffic di sana diperbaiki," demikian bela Taufik, Senin 29 Januari 2018. Tidak lupa Taufik mengingatkan, seharusnya kebijakan yang pro terhadap rakyat miskin didukung. Soal Tanah Abang macet pun Taufik membela pemerintah, katanya dari dulu juga sudah macet, tapi nggak ribut seperti sekarang ini.

Soal fungsi jalan yang dirampas untuk kepentingan PKL, Lulung juga angkat bicara. Menurut dia, polisi memang berupaya menegakkan Undang-undang dengan meminta fungsi jalan dikembalikan. Namun, jika bicara aturan, kata Lulung, seharusnya bukan Jalan Jatibaru saja yang dipersoalkan melainkan juga jalan lain yang kini ditutup permanen. Balik lagi Lulung menyebut lokasi-lokasi yang disebut "soulmate"-nya tadi. Berputar satu suara.

 

"Artinya di Istana dibuka dong. Di eks Kedubes Inggris dibuka, Kota Tua dibuka. Itu kalau kita mau patuhi aturan," kata Lulung. Lulung berkilah, Anies bisa menggunakan diskresinya dalam hal penutupan jalan ini agar kebijakan ini tetap bisa dilakukan meski ada Undang-undang yang mengatur tentang fungsi jalan. Sebagai landasan argumennya, Lulung menyinggung pemerintahan sebelumnya yang juga biasa menggunakan diskresi.

"Kenapa sih dulu orang pakai diskresi enggak ribut? Ambil yang besar-besar lagi. Emang laut, didiskresi? Enggak ada laut diskresi," ujar Lulung seperti dikutip Kompas.com.

 

[caption id="attachment_9384" align="alignleft" width="511"]

Penarik becak di Jakarta (Foto: Poskotanews.com)[/caption]

Soal becak, Taufik membela Anies-Sandi saat Fraksi PDIP yang masih berfungsi mengkritik rencana ini. Taufik bilang, becak ini juga pernah dijanjikan Jokowi dan Ahok saat Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu. Lumayan aneh, kenapa tidak dia tuntut keberadaan becak semasa Jokowi-Ahok berkuasa? Bukankah dengan demikian ia bersuara atas nama rakyat karena menagih janji politik Jokowi-Ahok semasa kampanye?

Memang pada 2012 lalu Joko Widodo yang masih berstatus calon gubernur pernah membuat kontrak politik dengan warga bantaran Waduk Pluit di Muara Baru, salah satunya meminta Jokowi melindungi dan menata ekonomi informal, seperti PKL, becak, nelayan tradisional, pekerja rumah tangga, asongan, pedagang kecil, dan pasar tradisional. Tapi tidak pernah secara eksplisit dikatakan becak masuk Jakarta.

Taufik punya cara sendiri untuk mendukung keberadaan becak di Jakarta, bukan asal kata-kata. Konon ia sedang membuat becak modifikasi sebanyak 3-5 buah di mana "cakmod" alias becak modifikasi itu akan disumbangkan untuk penarik becak yang ada di lingkungan rumahnya di Warakas, Jakarta Utara.

Soal aturan keberadaan becak di Jakarta, ah itu sih gampang. Bagi Lulung yang wajib membela Anies-Sandi, meski Pemprov DKI Jakarta belum mengajukan usulan revisi perda ke DPRD DKI untuk mengubah aturan becak, tapi pemerintah boleh mengusulkan di tengah jalan meski tidak masuk Prolegda. Selama sifatnya darurat, katanya, revisi perda di luar prolegda bisa dilakukan. "Kan sifatnya emergency," kilahnya.

Fungsi DPRD

Bukan bermaksud mengajari bebek berenang, ini sekadar mengingatkan saja bahwa Fungsi DPRD sama dengan fungsi DPR di Senayan, yaitu terkait legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. DPRD adalah lembaga legislatif yang merupakan penyeimbang terhadap kekuasaan eksekutif (gubernur) yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi. DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.

Merujuk Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang susunan dan kedudukan MPR atau DPR serta DPD dan DPRD, disebutkan bahwa DPRD mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

 

 

  • Legislasi: Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPRD selaku pemegang kekuasaan membentuk peraturan daerah.

 

 

  • Anggaran: Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD yang diajukan oleh Bupati.

 

 

  • Pengawasan: Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan peraturan daerah dan APBD.

 

 

Tugas, Wewenang dan Hak DPRD;

 

 

  • Membentuk peraturan daerah provinsi bersama Gubernur.

 

 

  • Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah.

 

 

  • Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah.

 

 

  • Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

 

 

  • Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang Membebani masyarakat dan daerah.

 

 

  • Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[2]

 

 

DPRD juga memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPRD memiliki hak mengajukan rancangan peraturan daerah, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, mengikuti orientasi dan pendalaman tugas, protokoler, serta keuangan dan administratif.

Tentang hak interpelasi itu sendiri, Taufik mengaku  sudah mendengar kabar sejumlah anggota DPRD menggulirkan hak interpelasi terhadap Anies-Sandi dan ia menyadari itu merupakan hak anggota DPRD DKI Jakarta. Namun, menurut Taufik, interpelasi tidak perlu dilakukan karena selama ini Anies-Sandi sudah membuat kebijakan yang pro rakyat kecil.

***

Editor: Pepih Nugraha