Akhir-akhir ini marak ummat Islam demam istilah “Khilafah”. Khilafah yang dimaksud merujuk pada istilah Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah, yang mana Khalifahnya digelari sebagai Khalifatullah. Mereka terjebak pada “Lughat” atau “Etimologi”, dan sama sekali tidak memahami “Terminologi” Khilafah atau Imamah (Nasbul Imam).
Proyek ngambang ini dilestarikan dan dikonstruksi oleh kalangan Islam Transnasional seperti HTI, Ikhwanul Muslimin, al-Qaeda, Jabhat al-Nushra, ISIS, dan lain-lain. Indonesia adalah negara berkedaulatan atas dasar demokrasi Pancasila, bukan sebuah sistem yang lahir dari legitimasi Tuhan (devine legitimacy). Pancasila adalah hasil Ijtihadi yang bersifat Ijma’ (konsensus).
Lahirnya Pancasila dijadikanlah sebagai “Democratisch Beginsel” atau dasar demokrasi yang menjadi dasar negara Indonesia (Rechts idiologie).
Pancasila merupakan sebuah falsafah negara Indonesia sebagai mana Bung Karno menyebutnya dalam bahasa Belanda sebagai “Philosofiche grondslag” yang diartikan sebagai pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya, untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.
[irp posts="6461" name="Indonesia Sudah Khilafah (1)"]
Pancasila ini juga adalah buah “stenografisch verslag” yaitu hasil dari pidato Bung Karno yang diucapkan dengan tidak tertulis dengan cara spontan (voor de vuist), sehingga atas lahirnya Pancasila dijadikanlah sebagai “Democratisch Beginsel” atau dasar demokrasi yang menjadi dasar negara Indonesia (Rechts idiologie).
Jelas Pancasila sangat bertentangan dengan ide Khilafah HTI dan kawan-kawannya. Terus apa sebenarnya di belakang kepentingan Khilafah mereka itu? Apa hanya sebagai hasutan-hasutan perpecahan ummat Islam di Indonesi, dengan mengangkat seorang Imam besar yang sampai saat ini belum pulang?
Khilafah adalah penyakit dalam Islam kontemporer saat ini, di mana negara Islam sudah memilih Nation State (daulah qaumiyah) istilah kita menyebutnya sebagai Negara Bangsa, sedangkan Khilafah adalah ide non state lahir dari romantisme masa silam tentang Daulah Islamiyah kepemimpinan tunggal.
Smith al-Hadar salah seorang pengamat Timur Tengah dari Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) menyebutnya Khilafah sebagai ajaran utopis, hal yang tidak mungkin “mustahil”.
Benalu Khilafah ini memang dibentuk oleh kepentingan-kepentingan asing, sebagaimana Hillary Clinton mencoba memanfaatkan ideologi Islam Wahhabi untuk memecah belah Timur Tengah, sehingga mempermudah mereka untuk menguasai kilang minyak dan sumberdaya alam di Timur Tengah. Karena, sejatinya negara kapitalis berambisi untuk menaklukan negara bangsa dengan berbagai cara dari mulai perang moneter, perang ekonomi, serta budaya hingga tarung senjata yang dapat membahayakan kehidupan dan masa depan dunia.
[irp posts="5597" name="Dilema Negara Menghadapi Khilafah"]
Indonesia hari ini hampir masuk perangkap itu, dikoyak-koyak melalui internal ummat Islam sendiri. Seperti dikatakan Noam Chomsky bahwa ambisi Amerika Serikat sebenarnya hanya ingin menciptakan ketergantungan abadi seluruh negara terhadapnya.
Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah selalu bersandar pada istilah Khalifatullah sebagai pemimpinnya. Saya merujuk pada kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah yang dikarang oleh Abi al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi pada cetakan Kuwait, yang ditahkik oleh Dr. Ahmad Mubarak al-Baghdadi, menggunakan istilah Khalifatullah ada dua pendapat;
Pertama, menggunakan istilah ini tidak apa-apa atas dalil Q.S Al-An’am ayat 165, tentang Khalifah fil Ardli, yang mana pendapat ini dari kalangan minoritas (qil) ulama, dengan mengistilahkan Khalifah fil Ardli berarti mendapatkan hak menjadi Khalifatullah, yakni hak prerogatif Allah bisa dilegitimasi atas dasar ini, sehingga justifikasi "kafir" misalnya, sangan mudah keluar dari lisan yang berpemahaman seperti ini.
Mayoritas ulama ini menentang adanya penggunaan istilah Khalifatullah menisbahkan kepada Allah, hal ini bagi mereka berdosa “fujur” karena, menisbahkan makhluk yang sifatnya Yagibu wa Yamutu (hilang dan mati), terhadap Allah yang Laa Yaghibu wa Laa Yamuutu (tidak hilang dan tidak mati).
Kedua, adalah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Mayoritas ulama ini menentang adanya penggunaan istilah Khalifatullah menisbahkan kepada Allah, hal ini bagi mereka berdosa “fujur” karena, menisbahkan makhluk yang sifatnya Yagibu wa Yamutu (hilang dan mati), terhadap Allah yang Laa Yaghibu wa Laa Yamuutu (tidak hilang dan tidak mati). Jelas sekali ditentang atas dasar bahwa Abu Bakr menyebut dirinya Khalifatu Rasulillah (Pengganti Rasulullah).
Dalam arti ini semua, banyak orang yang menggunakan dalil al-Quran untuk melegitimasi dirinya atau kelompoknya untuk kepentingan-kepentingan politik.
Seorang Abu Bakr menolak dirinya disebut sebagai Khalifatullah sehingga istilahnya adalah Khalifatu Rasulillah, dan seterusnya Umar Khalifatu Khalifati Abi Bakrin, Utsman Khalifatu Khalifati Khalifati Umar ibn Khattab, begitu juga ‘Ali Khalifatu Khalifati Khalifati Khalifati Utsman ibn Affan, tidak ada para Sahabat yang berani menisbahkan Allah dalam gelar Khalifahnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews