Zaman Ahok rusun bisa sewa Rp160 ribu sampai Rp300 ribu sebulan. Bisa ditempati seumur hidup. Itu sudah termasuk biaya perawatan dengan subsidi dari Pemda. Zaman Anies harus membeli dengan mencicil. Cicilannya Rp 1,8 juta sampai Rp 2,2 juta sebulan. Dibayarkan selama 20 tahun. Tentu saja ada besaran bunga juga.
Kita jangan bicara soal bunga bank termasuk riba apa gak. Anggap saja riba tidak berlaku untuk Anies. Kalau Ahok tentu tidak ada riba, wong sistemnya sewa.
Kenapa harus beli? Kata Anies karena soal kepemilikan itu penting. Property harganya bisa meningkat. Jadi nanti, katanya, aset masyarakat meningkat setelah rusun itu dimiliki. "Tapi gak boleh dijual," pungkasnya.
Jadi nilai aset meningkat, buat apaan? Bedanya kepemilikan sama sewa itu terletak dari kebebasannya untuk memindahtangankan. Atau jual beli. Kalau gak boleh dijual, cuma bisa ditempati, buat apa jadi hak milik?
Kalau cuma untuk ditempati saja, ya mendingan sewa. Jaman Ahok biaya sewa cuma Rp160 ribu sebulan, termasuk biaya perawatan karena disubsidi Pemda. Wajar dong Pemda keluarkan uang biaya perawatan, wong property itu milik Pemda kok. Kalau cuma bayar Rp180 ribu, artinya sistem ini berlaku untuk masyarakat yang penghasilannya paling minim sekalipun. Masyarakat paling miskin.
[irp posts="8938" name="Sudah Tepat Anies Batalkan Pembuatan Lift di Rumah Dinasnya"]
Sementara di jaman Anies titik tekannya di kepemilikan, tapi tidak boleh dijual. Cicilannya paling kecil Rp1,8 juta sebulan. Belum termasuk biaya perawatan. Jika biaya perawatan tiap unit Rp200 ribu, maka bebannya sekitar Rp2 juta.
Makanya sistem Anies hanya untuk orang yang punya penghasilan minimal Rp7 juta yang bisa. Kalau penghasilannya cuma Rp3 juta, jangan mimpi ye, bong.
Lantas gimana perumahan untuk masyarakat penghasilan minim. Mereka yang tinggal di slum-slum kumuh? Di emperan kali yang harus direlokasi?
Ohh, beda. Kalau Ahok berfikirnya untuk membenahi hunian kumuh itu jadi tempat tinggal lebih beradab. Mereka dipindahkan ke rusun. Diberi furniture gratis. Sewanya murah. Makanya sewa rusunnya terintegrasi dengan pembenahan bantaran kali. Sedangkan DP 0% seperti kebijakan yang nyelonong sendiri.
Artinya, dengan konsep perumahan seperti itu, gak mungkin ada relokasi penduduk pinggir kali. Arti lainnya, kali-kali di Jakarta akan dibiarkan kotor lagi. Jangan sebel kalau di tahun-tahun yang akan datang banjir akan menggila lagi. Ini semua cuma konsekuensi logis saja.
[caption id="attachment_9289" align="alignleft" width="572"] Rusun (Foto: Beritasaru.com)[/caption]
Apakah sebagai rakyat Jakarta Anda mau membeli rumah yang tidak bisa dijual lagi? Kalau tidak bisa dijual lagi, otomatis tidak bisa dijadikan jaminan jika mau pinjam modal ke bank.
Ok, membeli rusun konsep Anies Rp2 juta sebulan. Dibayar selama 20 tahun. Artinya orang harus membayar Rp 480 juta. Ingat, ini soal kepemilikan rusun. Pasti ada masa pakai bangunan, biasanya 50 tahun. Artinya untuk penempatan selama 50 tahun, bayarannya ya 480 juta itu.
Bagaimana jika pada 50 tahun yang akan datang, bangunan sudah tidak layak huni lagi? Hilang deh, duit Rp 480 juta.
Bandingkan dengan sewa sistem Ahok. Jika bayarannya Rp160 ribu sebulan, dalam 50 tahun rakyat hanya membayar sewa Rp96 juta. Sama-sama bisa menempati rusun. Sama-sama gak bisa menjual.
Kalau jadi orang waras, kamu pilih mana. Bayar Rp480 juta atau Rp96 juta, dengan manfaat yang sama persis? Menurut survei, 58% rakyat Jakarta lebih suka membayar Rp480 juta itu. Namanya juga horang kayah...
"Kaya sama bloon bedanya menang tipis ya, Mas," celetuk Bambang Kusnadi.
Dua lima jigo
Dua lima jigo
Jadi seratus...
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews