Ahmed Zaki Iskandar, Calon Tunggal Jejak di Hati Rakyat

Sabtu, 27 Januari 2018 | 18:00 WIB
0
538
Ahmed Zaki Iskandar, Calon Tunggal Jejak di Hati Rakyat

Nama saya sudah tercantum di formulir A.A.I-KWK, tanda bukti pendaftaran pemilih. Siapa yang akan saya pilih? Ketika saya tanyakan pada petugas pendaftaran, siapa saja calon bupatinya? Jawabannya tidak mengagetkan, hanya ada calon tunggal lawan kotak kosong!

Ternyata benar. Petahana Ahmed Zaki Iskandar berpasangan dengan HM Romli. Keduanya dari Partai Golkar. Pak Zaki adalah petahana yang juga menjabat sebagai ketua DPD Golkar Kabupaten Tangerang, Pak Romli saat ini menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Tangerang. Sebanyak 12 Parpol yang terdiri dari 10 parpol kelas nasional dan 2 parpol kelas lokal mengusung pencalonan keduanya. Sama dengan tidak ada parpol yang tersisa.

Saya tidak terkejut. Penilaian ini memang subyektif. Sebagai orang awam saya tidak akan masuk pada program kerja yang telah Pak Bupati kerjakan. Silakan baca sendiri program yang telah dilaksanakan dan akan dilaksanakan.

Kalau petahana baik dari kebijakan dan perilakunya terekam dalam jejak digital, jejak Pak Zaki terekam dalam hati warga, setidaknya hati saya.

Foto yang saya sajikan ini adalah foto koleksi pribadi saya ketika beliau mendatangi kampung saya pada tahun 2013. Tanpa protokoler, tanpa bawa-bawa wartawan, beliau blusukan meninjau koperasi warga dan meninjau infrastruktur. Tanpa canggung beliau duduk bersama warga, mencicipi jajanan pasar yang disuguhkan, tanpa bidikan kamera wartawan.

Sebagai gambaran. Kalau Bu Risma di Surabaya boleh dibilang jejaknya terekam di hati rakyat, dan juga jejak digitalnya terekam di media. Kalau Pak Zaki hanya terekam di hati rakyat. Beliau nampaknya memang kurang menyukai publikasi berlebihan. Nggak hobi ngevlog pula. Beliau memang orang kaya, tapi nggak pura-pura miskin. Bisa jadi kalau di rumah memakai sandal jepit, tapi di luar rumah selalu nampak rapi. Bukan nggak pernah pake kaos, tapi kalau acara resmi beliau lebih memilih pakaian resmi. Intinya, nggak dibuat-buat gitulah. Proporsional

Bisa dipahami kalau parpol-parpol baik yang berlabel nasionalis dan agamis rame-rame mengusungnya. Beliau dikenal sangat dekat dengan rakyat, dekat dengan berbagai kalangan. Termasuk sangat dekat dengan para ulama. Hampir pada setiap kegiatan keagamaan beliau selalu hadir. Terutama pada acara santunan anak yatim, bukan hanya hadir, tapi juga turut menyumbangkan sebagian hartanya.

Dan, nampak dari gesturenya dikerjakan dengan ikhlas, bukan untuk pencitraan dan juga tanpa bidikan wartawan. Adalah satu dua wartawan lokal, sekali-sekali wartawan nasional jika acara itu berskala besar.

Itu hanya sebagain kecil penyebab elektabilitasnya tidak ada yang bisa menyaingi. Makanya tidak heran parpol-parpol selain Golkar berhitung seribu kali melawan petahana bupati Tangerang ini. Pilkada kita dikenal berbiaya mahal. Melawan petahana yang elektabilitasnya tak ada lawan hanya membuang-buang duit percuma.

Tapi di kalangan pengamat beda lagi. Calon tunggal dianggap sebagai kemunduran demokrasi. Seperti tergambar dari acara debat di Kompas TV tadi malam yang menghadirkan politisi Golkar, PDIP dan pengamat Titi Angraini dari Perludem dan Ray Rangkuti dari Lingkar Madani.

Politisi PDIP yang mewakili parpol-parpol pengusung calon tunggal berpendapat, memaksakan calon untuk melawan calon petahana yang elektabilitasnya nyaris seratus persen hanya akan menciptakan demokrasi pura-pura. Kedua pengamat itu punya pendapat yang berbeda, justru calon tunggal yang akan melawan kotak kosong sebagai demokrasi pura-pura.

[caption id="attachment_9130" align="alignleft" width="531"] Ahmed Zaki Iskandar (Foto: Tribunnews.com)[/caption]

Begitulah kalau pengamat politik hanya asyik bermain dalam kubangan tex book. Keduanya sama sekali tidak meneliti, kenapa terjadi calon tunggal? Benar pernah ada calon tunggal yang nyaris kalah dengan kotak kosong. Tapi 'kan tidak semuanya begitu. Lain ladang lain belalang. Coba kalau pengamat ini meluangkan sedikit waktu meneliti, terjun langsung ke kabupaten Tangerang yang punya calon tunggal, bertanya secara acak pada warga kabupaten Tangerang, tentu analisanya akan lebih tajam

Demokrasi bukan sekedar kontes dua pasangan calon atau lebih. Demokrasi 'kan untuk rakyat bukan sekedar memenuhi hasrat dan syarat demokrasi itu saja. Parpol parpol yeng bergerombol di satu petahana tentu bukan hanya sekedar mau ngumpul saja, tapi sudah berdasarakan survey dan analisa yang matang hingga pada satu kesimpulan, rakyat menghendaki petahana dua priode.

Tinggal nanti diuji, apakah petahana yang unggul atau kotak kosong? Sebagai warga kabupaten Tangerang saya sih yakin, kotak kosong akan kalah telak.

Tereserahlah mau dibilang kampanye juga nggak apa-apa. Kotak kosong 'kan nggak bisa protes. Kotak kosong juga nggak bisa mengupload foto lagi sholat. Kotak kosong juga nggak mendadak memakai pakaian muslim, nggak bisa mendadak solah-olah dekat dengan ulama.

Juga bukan pro atau anti calon tunggal. Tergantung kondisinya lah. Kalau di tingkat nasional di mana masyarakat jelas-jelas terbelah, kalau nanti ada calon tunggal memang patut dicurigai. Soalnya memang nggak nyambung dengan realitas yang terjadi di masyarakat.

Kalau di kabupaten Tangerang, realitasnya memang petahana jejak kebaikannya ada di hati masyarakat.

Kata siapa?

Kata saya.

27012018

***

Editor: Pepih Nugraha