Indonesia Dalam Cengkeraman Kakuasaan Berhala

Jumat, 26 Januari 2018 | 06:05 WIB
0
670
Indonesia Dalam Cengkeraman Kakuasaan Berhala

Pada puncak kemusyrikan warga Arab Quraish pada zaman jahiliyah, kota Makkah adalah kota berhala. Kala itu, orang Quraish dan berbagai puak Arab lainnya “kehilangan akal” tentang eksistensi Tuhan. Ketauhidan (pure theology), yang ribuan tahun sebelumnya diajarkan dan didakwahkan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan para nabi sesudahnya, lenyap tak berbekas. Kecerdasan spiritual orang Arab sirna.

Di zaman itu, selama ratusan tahun sebelum kedatangan Baginda Rasulullah Muhammad SAW, mereka menjadi tolol sampai kandas. Berhala-berhala yang mereka buat sendiri kemudian disembah sebagai tuhan. Tidak hanya satu-dua berhala, melainkan ratusan. Ada yang diletakkan di dalam Ka’bah, banyak pula yang di luar.

[caption id="attachment_9034" align="alignleft" width="410"] Ilustrasi berhala di sekitar Kabah (Foto: jejakislam.com)[/caption]

Berhala-berhala itu menjadi sangat “berkuasa” di Makkah. Semua orang tunduk kepada berhala. Para pembesar Quraish termasuk ke dalam golongan orang yang “kehilangan akal”. Mereka menyerahkan diri kepada berhala. Mereka menyembahnya. Baginda Rasul diutus Allah untuk meluruskan itu, untuk mengembalikan akal orang Arab. Dalam rentang 23 tahun saja, Alhamdulillah, ketauhidan orang Arab menjadi murni kembali.

Di Indonesia, akhir-akhir ini ada gejala kebangkitan berhala. Gejala “hilang akal”. Tanpa sadar, para pembesar politik -- khususnya dari parpol-parpol besar-- berama-ramai melakukan pendewaan dan pemujaan terhadap penguasa. Sehingga, sekarang ini penguasa negara berubah menjadi berhala. Ada berhala besar, ada berhala kecil.

Jadi, kalau di zaman jahiliyah Arab dahulu para penguasalah yang menyembah berhala, di Indonesia hari ini para penguasa yang dijadikan sembahan sebagai berhala. Kesamaannya adalah bahwa para pemuja berhala Indonesia juga ingin mendapatkan “berkah” dan “manfaat” dari berhala-berhala mereka, terutama dari Berhala Besar yang memiliki kuasa besar pula.

[irp posts="8816" name="Politik Kebodohan demi Membodohi Publik"]

tahun politik ini, pemujaan kepada berhala-berhala, khususnya Berhala Besar, akan semakin tinggi intensitasnya. Di mana-mana para pemuja Berhala Besar akan menceritakan kepada rakyat tentang kehebatan pujaan mereka. Akan mendakwahkan tentang kemampuan Berhala Besar untuk memberikan manfaat. Meskipun, dalam kenyataannya, Berhala Besar tidak berbeda dengan berhala Quraish yang hanya bisa bergerak kalau ada yang menggerakkan.

Berhala Besar akan dicitrakan sebagai sumber gagasan pembangunan, dielu-elukan sebagai pembela rakyat. Pencitraan ini adalah “pembohongan publik”. Sebab, berhala sepenuhnya bergantung pada kaum pemuja.

Para pemuja bagaikan lupa bahwa berhala terbuat dari benda mati. Berhala Besar pun juga dipahat-pahat dan diukir-ukir untuk kemudian dituhankan sebagai Sim-Salabim pembangunan. Padahal, Berhala Besar diatur gerak langkahnya oleh para pemujanya sendiri.

Sebagian pemuja berhala adalah rombongan syaithon (setan) ekonomi dan keuangan. Berhala dan syaithon sebetulnya saling memerlukan secara spiritual. Sebab, syaithon adalah “ruh” berhala. Sebaliknya, Berhala adalah tempat syaithon bersarang. Syaithon merasa sangat nyaman dan senang dekat-dekat dengan Berhala.

[irp posts="8713" name="Serius, Indonesia Perlu Pemimpin yang Visioner dan Karismatik"]

Syaithon ekonomi-keuangan adalah barisan pemuja berhala yang menyiapkan sesajen. Setelah menyediakan sesajen, para pemuja tentu menuntut restu dari berhala. Karena sangat bergantung pada kelompok khusus pemujanya ini, Berhala pun selalu memperturutkan keinginan syaithon.

Dahulu, lebih-kurang seperti inilah hubungan antara berhala-berhala Makkah dan pemujanya, yakni kaum Quraish dan marga-marga Arab lainnya, yang waktu itu masih berstatus “hilang akal”. Masih jahiliyah.

Sekarang ini giliran orang Indonesia, khsusunya para pemuja berhala, yang dilanda kejahiliyahan. Semua orang yang “belum kehilangan akal”, memikul kewajiban untuk meluruskan “kesyirikan” di negeri ini. Sudah saatnya Anda semua menjadi “para nabi” untuk menyadarkan kembali rakyat yang terlanjur menjadi pemuja berhala.

Yang berakal dan yang bisa berfikir harus berjuang bahu-membahu untuk menyelamatkan bangsa dari cengkeraman kekuasaan Berhala Besar dan berhala kecil.

***

Editor: Pepih Nugraha