Islam Nusantara Ala Nahdlatul Ulama, Sebuah Kritik Historis

Rabu, 24 Januari 2018 | 20:38 WIB
0
811
Islam Nusantara Ala Nahdlatul Ulama, Sebuah Kritik Historis

Memang menarik jika kita analisis menyoal Islam Nusantara Ala Nahdlatul Ulama dan mengkritisi beberapa pemikiran tokoh NU yang mengusung paradigm Islam Nusantara bahkan slogan Islam Nusantara dijadikan sebuah tema dalam acara mukhtamar NU yang akan diselenggarakan di Jombang Jawa Timur, Agustus mendatang. Di Mukhtamar Nahdlatul Ulama (NU) yang ke-33 bertema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.

Meskipun term Islam Nusantara bukanlah hal yang baru, bahkan ada dari kalangan Cendekiawan NU pengarang buku Atlas Wali Songo, Kang Mas Agus Sunyoto seperti yang dilansir dalam tebuireng.org mengatakan “Islam di Indonesia adalah Islam kultural yang menjunjung tinggi nilai budaya dan tradisi. Menurutnya Nusantara ini terislamkan karena Wali Songo yang secara mengejutkan mampu membumikan Islam di Nusantara”.

Namun pro dan kontra pun berdatangan dari berbagai pihak yang berkepentingan, sehingga memunculkan sebuah narasi baru yang sangat hangat dan relevan untuk diperbincangkan.

[irp posts="6880" name="Sepengetahuanku tentang Nahdlatul Ulama"]

Diskusi ini muncul ketika ada pernyataan tegas dari Rais Tanfidziyah Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siradj saat pembukaan Munas Alim Ulama NU, 14 Juni 2015 di Mesjid Istiqlal Jakarta. Ia mengatakan bahwa yang paling berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU. Mengingat bahwa pada awal kelahirannya sampai saat ini NU selalu mengedepankan Islam yang ramah, penuh kasih, toleran, mengedepankan jalan tengah (tawassuth) dan menjauhi kekerasan dan pengrusakan.

Pernyataan itu mendapat respon dari Presiden Indonesia ke-7, Jokowi, yang menegaskan bahwa Islam yang dibutuhkan saat ini adalah Islam yang model seperti itu, dalam bahasanya Presiden Jokowi menegaskan “Islam kita adalah Islam Nusantara”.

Kritik term Islam Nusantara

Nusantara dalam istilah Gajah Mada adalah sebuah kepulauan besar yang menguasai beberapa pulau yang terbentang dari ujung timur ke ujuang barat yang meliputi kekuasaan Majapahit, Istilah Nusantara pertama kali digunakan oleh Majapahit sebagai konsep kenegaraan yang mana dalam literatur Jawa diperkirakan pada abad ke-12 hingga ke-16 Masehi.

Menurut Kang Lucky Hendrawan (budayawan Sunda), “Nusa adalah pulau Jawa tempat kekuasaan Majapahit dan Antara adalah kepulauan di luar Majapahit yang berada pada kekuasaan Majapahit (kecuali kerajaan Sunda)”.

Jadi saya kira Nusantara adalah sebuah kepulauan yang membentang dari ujung Papua sampai ujung Sumatera yang mana adalah bekas kekuasaan Majapahit yang berada di Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur, sehingga istilah ini mendominasi atas negara kepulauan maritime yaitu Indonesia sebagai negara yang didiami ribuan Pulau.

 

Ketika muncul sebuah slogan Islam Nusantara adalah Islam Jawa dalam artian Jawanisasi sehingga menghasilkan sebuah konklusi di kalangan masyarakat awam yaitu Jawa Sentris.

 

Jika memang Islam Nusantara adalah Islam yang menjunjung tinggi toleransi, keadilan, dan sebuah model Islam yang mengakulturasikan dirinya dengan budaya lantas bagaimanakah Islam di luar Nusantara (non-Nusantara)? Jangan sampai paradigma berpikir Islam Nusantara menjadi sebuah sekat baru dalam Islam sehingga memicu sebuah polemik dan konflik.

Jika model Islam Nusantara ini adalah model Islam yang benar dan menganggap dirinya benar sedangkan yang lain adalah salah berarti itu adalah sikap yang salah. Dan jika memang Islam Nusantara ini adalah respon atas munculnya gerakan-gerakan Islam radikal yang diakomodir oleh beberapa Ormas Islam di Indonesia, lantas bagaimana dengan gerakan Islam non-Nusantara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan lain-lain?

Bukankah pada intinya dan subtansinya Islam adalah agama yang Rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), agama yang menjunjung nilai-nilai ilahiyat, humanis, dan menjunjung tinggi nilai keadilan? Apakah ada manusia di berbagai belahan dunia ini yang tidak sepakat dengan keadilan?.

[irp posts="1305" name="Antara Kiprah Nahdlatul Ulama dan Magnet Pilkada DKI"]

Menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub MA, Islam adalah agama, dan Nusantara adalah budaya, sedangkan agama dan budaya tidak bisa disatukan. Akan tetapi Islam yang bercorak budaya memang ada yaitu Islam di Indonesia, adapun Islam Nusantara itu adalah logika yang salah ada juga Muslim Nusantara bukan Islam Nusantara, tapi Islam juga bukan Arab sentris tapi apa kata al-Qur’an dan al-Sunnah.

Konklusinya jika memang sebuah term Islam Nusantara memicu adanya konflik Horizontal antar warga negara, maka para elit NU harus mengkaji ulang atas term tersebut. Jangan sampai citra Islam yang pada hakikatnya sebagai agama rahmat dan citra Indonesia sebagai negara yang berfalsafah terhadap Pancasila atas dasar kekeluargaan terpecah belah oleh satu Istilah yang baru popular saat ini yaitu Islam Nusantara.

Sumber tulisan: rikaldikri.com

***

Editor: Pepih Nugraha