Ketika menyampaikan pesan sebelum mendatangi markas Polri di Jakarta untuk diperikasa, Ustad Zulkifli Muhammad Ali menyampaikan pesan video agar kaum muslimin menjaga para ulama. Agar mengawal para ulama yang menjadi lambang persatuan umat, seperti Ustad Abdul Somad, Ustad Bakhtiar Nasir, dan lain sebagainya. Pesan itu terasa bagaikan amanat seorang pejuang yang akan pergi ke medan tempur.
Di kalangan kaum muslimin sekarang ini memang ada perasaan bahwa penguasa sedang memusuhi umat Islam. Perasaan ini berkembang ke seluruh pelosok Nusantara. Seingat saya, sejak kedzoliman demi kedzoliman di sepanjang sejarah NKRI, baru kali ini pertentangan antara penguasa dan ulama mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Suasana menjadi mencekam dan meresahkan. Para ulama yang kritis menyampaikan penilaian mereka bahwa kedzoliman penguasa sudah melampaui batas.
Para tokoh kaum muslimin prihatin mengapa kasus-kasus “ujaran kebencian” (saya beri tanda kutip karena, menurut hemat saya, ceramah para ulama tidaklah tepat disebut sebagai “ujaran kebencian”) selalu sangat cepat dan segera diproses oleh penegak hukum. Sedangkan, kata para ustad, penghinaan dan ujaran kebencian terhadap kaum muslimin dan para ulama yang memiliki bukti-bukti kuat, yang dilakukan oleh banyak orang boleh dikatakan lambat sekali penanganannnya. Bahkan, banyak yang mengeluhkan bahwa hukum tajam ke pihak pengkiritik penguasa tetapi tumpul ke pihak yang mendukung penguasa.
Kita berkewajiban untuk memperingatkan penguasa negara ini bahwa mereka perlu introspeksi. Sebab, kebijakan yang mereka tempuh terhadap para ulama bisa menimbulkan goresan yang dalam di kalangan kaum muslimin. Taktik “main gebuk” sangat riskan. Salah satu risikonya adalah keterbelahan yang semakin dalam dan keras antara kaum muslimin (yang merasa menjadi korban persekusi) dan umat lain (yang dianggap mendapatkan perlakuan istimewa). Dan juga keterbelahan antara kaum muslimin dengan penguasa.
Ini sungguh berbahaya. Ngeri sekali! Belum pernah terjadi seperti sekarang.
Lembaga-lembaga penegak hukum dan kalangan intelijen memamg diamanatkan untuk menjaga stabilitas keamanan dan sosial. Tetapi, Anda seharusnya tidak lagi melanjutkan “strategi Kopkamptib” di masa lampau.
Kaum muslimin bukanlah orang-orang yang bisa Anda tindas secara terus-menerus seperti tempohari. Cara represif sudah cukuplah sampai di era anti-Islam pada kurun 1980-an. Periode ini boleh dikatakan masa yang paling ganas terhadap kaum muslimin, yang tergambar ketika terjadi pembantaian warga muslim di sejumlah tempat dengan dalih ada gerakan yang mengancam keselamatan negara.
Sekarang, kaum muslimin semakin sulit untuk ditipu-tipu. Masih banyak tipu-muslihat, tetapi opini kaum muslimin tidak bisa lagi dibentuk seperti ketika penguasa dulu dengan mudah melekatkan tuduhan-tuduhan buruk terhadap umat Islam.
Kalau penguasa tetap meneruskan kebijakan anti-umat Islam, kriminalisasi terhadap para ulama, maka yang akan mengalami kerugian besar adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan. Mengapa? Karena kebijakan itu pastilah akan menumbuhkan keresahan yang meluas. Sebaliknya kalau kaum muslimin merasa tenteram, maka ketenteraman itu akan meluas juga ke segenap pelosok.
Keresahan itu tentunya akan mengerucut menjadi “kekuatan perlawanan” yang akan dilepaskan secara demokratis dalam proses pemilihan pemimpin, baik itu pada musim Pilkada tahun ini maupun di musim Pilpres 2019.
Saya tidak paham sama sekali mengapa pemegang kekuasaan bagaikan menerima dan mengimplementasikan masukan dan nasihat yang berisi “racun”. Dan khalayak muslimin tentunya bisa membaca siapa-siapa yang menyodorkan masukan beracun itu. Penguasa seharusnya bisa memfilter masukan beracun itu. Tidak mungkin rasanya penguasa ingin menenggak “racun” dan melakukan bunuh diri.
Kita bersyukur karena para ulama tetap menyampaikan pesan “bersabarlah” menghadapi kedzoliman. Kita percaya sekali kaum muslimin tidak akan terpancing untuk bertindak melawan hukum. Cukuplah kita tunjukkan penolakan terhadap kesewenangan itu di bilik-bilik suara yang akan dibuka dalam beberapa bulan ini untuk Pilkada provinsi dan kabupaten.
Dan cukuplah Pileg dan Pilpres 2019 dijadikan arena untuk memberikan peringatan kepada penguasa bahwa apa yang mereka lakukan sangat melukai kaum muslimin.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews