Kemerdekaan Bangsa Palestina dan Kurdi yang Makin Jauh dari Harapan

Sabtu, 20 Januari 2018 | 22:46 WIB
0
865
Kemerdekaan Bangsa Palestina dan Kurdi yang Makin Jauh dari Harapan

Sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan  secara resmi bahwa Jerusalem adalah ibukota Israel, maka sejak saat itu pula harapan bangsa Palestina untuk merdeka semaki jauh dari harapan.

Harapan merdeka bangsa Palestina yang sudah lama terpendam sejak Israel memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1948 dan sejak diselenggarakannya perjanjian Oslo, sudah semakin sirna. Berbagai cara telah dilakukan Israel untuk perlahan-lahan menghilangkan peta bumi Palestina.

Perjanjian Oslo yang dimotori oleh AS itu pun tidak berfungsi lagi. Untuk apalagi isi perjanjian yang memberikan keleluasaan memberi status presiden dan duta besar kepada bangsa Palestina, jika wilayahnya yang luas itu sudah dibagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara tidak adil?

Pun dengan mendirikan pemukiman baru penduduk Yahudi melewati batas Israel dan masuk ke wilayah Palestina,  bukankah hal ini sama dengan mencaplok tanah Palestina perlahan-lahan?

Pada bahagian lain, AS juga mengumumkan akan merekrut 30.000 milisi Kurdistan yang akan ditempatkan di perbatasan Suriah-Turki. Hal ini sudah tentu akan menancing reaksi kemarahan dari Turki dan Suriah. Karena selama ini suku Kurdi menjadi musuh bersama kedua negara itu.

Di samping itu, dengan menempatkan suku Kurdi, AS seakan-akan memberi pesan, bahwa Presiden Suriah Bashar Al-Assad dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan akan terus digoyang sebagaimana keberhasilan AS menjatuhkan kekuasaan Presiden Irak Saddam Hussein di Irak.

Dengan dimanfaatkannya suku Kurdi oleh AS, sama halnya dengan pemerintah Irak  menanfaatkan suku Kurdi berperang melawan pengikut Negara Islam di Irak. Mereka direkrut menjadi tentara Irak. Jika untuk merdeka di Irak? Tetap pemerintah Irak melarangnya. Ini terbukti ketika wilayah otonom Kurdi di Irak mengadakan pemungutan suara untuk merdeka, 92 persennya setuju merdeka. Tetapi pemerintah Irak tetap tidak mengizinkan.

Suku Kurdi adalah salah satu suku bangsa besar karena jumlahnya yang mencapai 30 juta jiwa. Mirip seperti nasib bangsa Palestina, akibat kolonialisme Barat di Timur Tengah, rumpun bangsa Persia yang mendiami daerah Kurdistan ini terancam hilang dalam sejarah dunia.

Jika Palestina berada di bawah pendudukan Israel, maka perhatian dunia Islam relatif sangat besar dibandingkan dengan suku Kurdi yang hampir sama sekali tidak ada.

Dilihat sejarahnya, sebenarnya kemerdekaan Kurdi pernah dijanjikan Presiden AS Woodrow Wilson (1856-1924) melalui Perjanjian Servesi (the Treaty of Sevres) tahun 1920 antar Kekhalifan Turki Usmani dan sekutu AS untuk membagi-bagi wilayah bekas kekuasaan Turki Usmani. Hanya saja terbentuknya negara baru Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Ataturk yang meliputi sebagian besar wilayah Kurdistan telah memupus harapan itu. Sejak itu konflik antara suku Kurdi dan Turki terus berkembang.

Pasca kemerdekaan Irak tahun 1932, bangsa Kurdi semakin terisolasi dan terpecah-pecah. Mereka yang mendiami daerah-daerah perbatasan ini selalu menjadi korban pertikaian antara Irak, Iran dan Turki. Karena frustasi akan semakin tertutupnya peluang menuju kemerdekaan, muncullah kelompok-kelompok militan Kurdi.

Jadi suku Kurdi ditempatkan AS di perbatasan Turki dan Suriah selain untuk lebih memecah suku Kurdi itu, sekaligus dimanfaatkan untuk mengganti pemimpin Turki pilihan AS. Bukankah kudeta di Turki yang gagal baru-baru ini, pemimpin kudetanya berlindung di AS?

***

Editor: Pepih Nugraha