Berhubung sekarang sudah memasuki awal tahun baru, maka segala sesuatu yang perlu diganti lekaslah ganti dengan yang baru. Selain kalender yang berganti dari tahun 2017 menjadi 2018, tak ada salahnya dong apabila kita "move on" dari hal-hal yang mengecewakan dan mengganggu di masa lalu. Misalnya "move on" dari kenangan mantan terindah atau pikiran-pikiran yang mengganggu selama ini. Jangan mau kalah sama kalender, kalender aja baru, masa hati kamu nggak ? hehehe (apa sih).
Bergantinya tahun tak bisa dianggap sebagai angin lalu saja. Sebab, ada banyak harapan (doa) yang tersirat, di mana tahun yang baru ini haruslah lebih baik dari tahun sebelumnya, Amin. Terlebih mengingat tahun sebelumnya banyak sekali permasalahan yang ngalor ngidul rasanya, namun begitulah masa lalu ada. Masa lalu hadir bukan untuk disesali, bukan juga untuk dilupakan, melainkan untuk dijadikan pembelajaran hidup di masa yang akan datang.
Sama seperti masa lalu yang tercatat dalam sejarah perjalanan Indonesia ketika masa penjajahan oleh Belanda, sebagian orang kerap kali mengungkit masa lalu tersebut untuk dibanding-bandingkan. Tak lain dan tak bukan adalah membandingkan negara tercinta ini dengan negara lain yang dulunya bekas jajahan Inggris.
Berbeda dengan Malaysia dan Singapura yang merupakan negara bekas jajahan Inggris. Hampir 3,5 abad dimulai dari tahun 1596-1946 Indonesia kedatangan Bangsa Belanda yang selanjutnya menjajah negeri ini dengan sejuta alasan yang membuat Belanda tergiur menjadi penguasa. Meski sama-sama sebagai negara bekas jajahan Bangsa Eropa, namun ada beberapa perbedaan yang tertinggal sampai saat ini, dan sering dikaitkan dengan keuntungan serta kerugian sebagai negara bekas jajahan, kurang lebih adalah seperti ini:
1. Pendidikan
Sudah dari saya sekolah sampai kuliah kerap kali mendengar perbedaan ini. Seorang guru sejarah pernah berkata, ketika dijajah oleh belanda bangsa Indonesia sengaja dibuat bodoh terhadap ilmu, berbeda dengan negara tetangga yang dijajah oleh inggris. Negara jajahan inggris diberikan pendidikan dan diajarkan bagaimana cara bercocok tanam dengan baik, namun tidak untuk Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bahwa tercatat dalam buku sejarah kalau Bangsa Indonesia tidak diizinkan untuk bersekolah, sekalipun boleh sekolah ya itu untuk kalangan tertentu saja karena awal didirikannya sekolah adalah khusus untuk keturunan bangsa Belanda saja. Itu pun sekitar abad ke-19 di mana muncul kebijakan politik etis yang terangkum dalam Trias Politika, meliputi irigasi (perairan), migrasi (kependudukan), edukasi (pendidikan).
Saat itulah Belanda baru memikirkan pendidikan bagi bangsa Indonesia, itu juga tak murni untuk meningkatkan pendidikan bangsa Indonesia sepenuhnya, sebab dalam praktiknya ada penyaringan khusus untuk bangsa Indonesia yang tergolong berdarah biru atau kalangan elit saja, demi kelancaran ekonomi politik Belanda. Tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids, 1908 pun cukup menjelaskan kedaan saat itu :
"Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah".
2. Bahasa
Banyak yang bilang kalau seluruh Negara bekas jajahan Inggris diwariskan Bahasa yang menguntungkan negara tersebut, apalagi ketika bahasa inggris menjadi bahasa internasional. Negara-negara yang turut masuk dalam Negara Persemakmuran (pernah dijajah oleh Inggris) telah menggunakan bahasa Inggris sebegai bahasa kedua setelah bahasa ibu di masing-masing negara. Jadi tak heran masyarakat yang dulunya pernah dijajah oleh bangsa Inggris, sampai sekarang pandai berbahasa Inggris.
Lantas ke mana saja Indonesia selama 3,5 abad dijajah oleh Belanda? Kenapa tak melestarikan bahasa Belanda sebagai bahasa kedua, atau setidaknya masyarakat Indonesia banyak yang bisa berbahasa belanda sampai sekarang ini, sebab 3,5 abad bukan lah waktu yang singkat.
3. Sistem Pemerintahan
Memasuki masa kemerdekaannya dari Belanda, Indonesia sempat kebingungan dengan sistem pemerintahan yang harus dibuat, sebab Belanda tak mewariskan struktur pemerintahan yang baik. Berbeda dengan Inggris terhadap negara jajahannya, dalam masa penjajahannya Inggris tak hanya menjajah saja namun turut memajukan negara jajahannya termasuk dalam sistem pemerintahan, katanya. Bahkan sering kali terdengar kalau budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di Indonesia adalah sebagai bentuk warisan dari Belanda untuk Indonesia.
Dari obrolan bersama keluarga, teman dan dosen di pertemuan beberapa mata kuliah sering kali mengangkat tema tersebut sebagai sebab akibat mengapa negara bekas jajahan Inggris menjadi negara maju sementara negara bekas jajahan Belanda tidak. Padahal kalau bicara tentang maju atau tidaknya sebuah negara tak bisa sepenuhnya diasumsikan seperti itu, sebab segala bentuk dan isi suatu negara dengan negara lainnya sudah pasti berbeda, meskipun ada beberapa faktor luar yang turut mempengarhui.
Ketiga perbedaan di atas sudah seringkali saya dengar sampai membuat saya muak dan ketawa cekikikan. Misalnya dalam hal pendidikan, bukankan Indonesia pernah lebih unggul dibanding Malaysia ? meskipun sekarang telah berubah dari "Dulu Indonesia mengirim Guru ke Malaysia" menjadi "Sekarang Indonesia mengirim TKI ke Malaysia".
Namun tetaplah memberikan fakta bahwa semenjak memasuki masa kemerdekaanya tingkat pendidikan Indonesia pernah lebih unggul dengan berdirinya Universitas-universitas, bahkan Indonesia banyak mengirimkan guru untuk mengajar di Negara bekas jajahan Belanda tersebut, malah beberapa pemuda dari negeri jiran banyak yang datang ke Indonesia untuk menimba ilmu.
Nah yang kedua ini yang sering bikin saya ketawa cekikikan bagaikan setan di siang hari bolong, yaitu bahasa. Banyak yang bilang kalau negara bekas jajahan inggris itu pinter-pinter bahasa Inggrisnya, hal ini tentu menguntungkan mereka ketika bahasa Inggris resmi menjadi bahasa internasional, beda dengan masyarakat Indonesia yang cuma sebagian saja bisa berbahasa Inggris.
Padahal, mudah saja fakta tersebut dibalik dengan jika seandainya saja bahasa internasional adalah bahasa Belanda, jelas sampai sekarang kita akan lebih unggul berbahasa Belanda berkat leluhur yang mewariskannya demi keuntungan di masa sekarang, ibaratnya sudah ada modal awal untuk berbahasa Belanda.
Sedangkan kalau berbicara sistem pemerintahan saya tak akan banyak berpendapat sebab sampai sekarang ini saya masih mengiyakan kalau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah warisan Belanda yang membuat negeri ini bobrok, atau memang ego saya saja yang sengaja menyalahkan Belanda untuk buruknya budaya dalam sistem pemerintahan yang diwariskannya. Karena saya tak mau menerima bahwa KKN di negeri ini dinggap murni sebagai budaya Indonesia, Duuuh.
Namun terlepas dari itu semua sebenarnya tidaklah penting bagi kita menyesali peristiwa yang tercatat dalam sejarah itu.
"Ah, siapa bilang kalau kita nyesel dijajah sama Belanda dan berharap Inggris aja yang ngejajah?"
Loh kalau gak nyesel ngapain banyak dari kita yang membandingkan negara bekas jajahan Belanda dengan jajahan Inggris? Bukankah dengan seperti itu cukup menyampaikan bahwa sebagian bangsa ini merasa kecewa dan menyesal pernah dijajah oleh Belanda, sambil berharap seandainya saja yang menjajah Indonesia adalah Inggris pasti tak akan begini, Wewww.
Ada hal yang lebih penting dari masa lalu yang memilukan tersebut, di mana perjuangan tulus dari para pahlawanlah yang terpenting untuk dikenang dan dijadikan pembelajaran dalam hidup saat ini dan mendatang. Segera bangun dari rasa penyesalan, sekarang sudah 2018, tak ada yang penting dari memilih dijajah oleh Belanda atau Inggris, sebab keduanya adalah sama-sama dijajah oleh bangsa asing di negeri sendiri.
Mari ubah pola pikir kita dengan yang baru, jangan terjebak dalam masa lalu yang isinya hanyalah keluh kesah saja, sebab terlalu lucu hal seperti itu dijadikan alasan mengapa Indonesia sekarang begini.
Akhir kata saya ucapkan terimakasih, selamat Tahun baru untuk Indonesia yang lebih baik. Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews