Saya muslim, warga negara Indonesia asli, ras melayu mongoloid, bukan orang Arab atau keturunan Arab, tak perlu menjadi orang Arab, dan tak kan pernah menjadi orang beretnis Arab.
Tetapi karena muslim, setidaknya 5 kali dalam sehari saya merapalkan bacaan-bacaan berbahasa Arab dalam gerakan yang teratur. Dalam bahasa Arab, disebut sholat.
Saya menghafal bacaan-bacaan itu sekaligus mempelajari artinya agar saat mengucapkan sebuah kalimat, saya paham maknanya. Dan saya tidak akan pernah mengganti bacaan sholat itu dengan bahasa Indonesia.
Saya juga sedang menghafalkan kitab tebal berbahasa Arab serta memahami makna dan tafsirnya. Kitab itu disebut Al-Quran. Tak ada buku dalam bahasa Indonesia setebal Al-Quran yang saya hafal. Saya sediakan waktu setiap hari untuk membaca kitab itu.
Bila berkesempatan, pada waktu-waktu tertentu saya akan mengeraskan suara menghimbau orang banyak dalam bahasa Arab. Atau yang disebut dengan adzan. Bertujuan mengajak orang sholat. Saya tak kan mengganti seruan itu dengan bahasa Indonesia.
[irp posts="8054" name="Tren Islam: Antara Kelompok dan Umat"]
Memulai segala aktivitas, saya mengawalinya dengan kalimat berbahasa Arab. Kemudian saya rapalkan juga kalimat lain sebagai doa - juga berbahasa Arab. Hendak makan, tidur, masuk kamar mandi, naik kendaraan, saya lafalkan bacaan berbahasa Arab. Menyudahi segala aktivitas pun saya ucapkan juga kalimat berbahasa Arab.
Bila menyapa rekan sesama muslim, saya ucapkan salam berbahasa Arab yang mengandung doa.
Ada satu sosok yang sangat saya cintai, melebihi cinta kepada diri sendiri. Sosok itu dari etnis Arab. Ia bernama Muhammad SAW. Saya meneladani prilakunya, mencontoh bagaimana ia bergaul dengan manusia, bahkan hingga bagaimana ia masuk ke dalam jamban.
Termasuk cara berpakaian. Sebagaimana pecinta musik Jepang, Korea, musisi Barat dll mencontoh cara berpakaian idola-idola mereka dan budayanya. Atau sebagaimana pecinta sepakbola gandrung dengan jersey klub bola kesayangannya. Atau pecinta anime yang punya istilah cosplay. Apa salahnya saya mengenakan pakaian yang mirip dengan Muhammad saw pernah pakai? Tentu saja itu pakaian khas orang Arab.
Tetapi dengan pakaian itu, saya tak merasa paling baik lalu merendahkan orang lain. Sekedar ekspresi cinta yang diniatkan ibadah, sesekali saya kenakan pakaian model itu.
Tak ada manusia lain walaupun dari bangsa sendiri yang begitu saya cintai dan teladani lebih dari orang Arab itu, beserta keluarganya. Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala ali sayyidina Muhammad.
Dan saya pun mencintai sahabat-sahabatnya yang juga beretnis Arab. Saya mempelajari bagaimana sejarah kehidupan mereka dan meneladani hal yang baik yang terjadi di zaman itu.
Ada orang-orang besar, atau pahlawan, dari bangsa Indonesia yang saya kagumi. Tapi dalam kadar kekaguman yang tak melampaui orang-orang Arab sahabat Muhammad saw.
Saya pun mencintai garis keturunan Muhammad SAW, yang notabene adalah orang-orang Arab.
Saya orang Indonesia yang terpukau dengan keindahan alam Nusantara yang terbentang dari Sabang hingga Marauke. Tetapi kepuasan tertinggi saya bila telah sampai mengunjungi jazirah Arab, khususnya di kota Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji.
Minimal 5 kali sehari saya hadapkan badan ke kota itu untuk mengerjakan ritual sholat. Karena di tengah kota ada bangunan Kakbah yang menjadi kiblat, pusat orang-orang di seluruh dunia menghadapkan tubuhnya ketika sholat.
Saya orang Indonesia. Beragama Islam. Saya dambakan ketika di akhir hayat, kalimat terakhir yang saya ucapkan dalam bahasa Arab. Yaitu dua kalimat syahadat. Semoga Allah permudah. Amin.
Saya orang Indonesia. Muslim. Berinteraksi begitu banyak dengan hal berbau Arab. Meski tak perlu menjadi orang Arab. Interaksi tersebab konsekuensi keimanan.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews