Jadi Justice Colloborator, Novanto Bisa Terhindar dari Hukuman 20 Tahun

Jumat, 5 Januari 2018 | 09:04 WIB
0
485
Jadi Justice Colloborator, Novanto Bisa Terhindar dari Hukuman 20 Tahun

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan kesempatan baik kepada mantan Ketua DPR RI Setya Novanto untuk menjadi Justice Collaboratornya (JC) KPK. Hal ini tentu kesempatan baik bagi Novanto untuk mengungkapkan siapa saja penerima uang haram dari proyek KTP-Elektronik yang merugikan negara hingga Rp 5,9 triliun tersebut.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan,  adapun tujuannya dijadikannya Novanto sebagai JC tak lain adalah untuk membuka pesan pihak lain yang terlibat dalam kasus korupsi KTP-el tersebut. "Jika terdakwa memiliki iktikad baik menjadi JC, silakan ajukan ke KPK. Tentu dipertimbangkan dan dipelajari dulu," kata Febri kepada wartawan di gedung KPK, Jakarta, Kamis, 4 Januari 2017.

Dia mengatakan, untuk menjadi seorang JC, Novanto pertama-tama harus mengaku perbuatannya dan juga mau kooperatif untuk membuka pihak lainnya secara lebih luas. Sebab, kata Febri, peran JC itu tidak bisa diberikan kepada pelaku utama korupsi. "Jadi silakan ajukan saja. Nanti akan dinilai siapa pelaku lain yang lebih besar, yang diungkap," ucapnya.

Selain itu pula, tambah Febri, seandainya Novanto bersedia menjadi JC, maka ancaman hukuman yang didapatnya akan diringankan, dari penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun. "Jika menjadi JC, ancaman hukuman penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun dapat diturunkan nanti jika memang JC dikabulkan," ujarnya.

Sidang terhadap Novanto tadi, Kamis (4/1/2018) menghasilkan keputusan penolakan terhadap eksepsi yang diajukan Novanto. Novanto dalam eksepsinya, mengajukan keberatan terkait sejumlah nama politisi yang tiba-tiba hilang dalam dakwaan. Namun, hakim yang memimpin sidang menyatakan keberatan Novanto tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alasan keberatan dan tidak dapat dibatalkan demi hukum.

“Hilangnya nama-nama yang telah dinyatakan telah menerima uang sebagaimana tim penasihat hukum terdakwa tersebut, tentunya tidak menyebabkan surat dakwaan jaksa penuntut umum menjadi batal demi hukum,” kata hakim, seperti dikutip Kompas.com saat membacakan pertimbangan di Ruang Sidang Pengadilan Tipikor Jakarta.

Hakim beralasan, tidak dicantumkannya nama penerima suap kasus KTP-e tersebut menjadi tanggung jawab dan kewenangan jaksa penuntut umum. Adapun nama yang hilang tersebut di antaranya, Yasonna Laoly, Ganjar Pranowo, Olly Dondokambey, dan lainnya. “Hal tersebut tidak akan menjadikan surat dakwaan menjadi kabur,” kata hakim.

Olehnya, keberatan tersebut ditolak hakim dengan alasan bahwa perkara tersebut tengah mengadili Novanto, bukan nama-nama orang yang hilang itu. Sebab, keberatan itu dinyatakan tidak dapat terima. “Sehingga dengan demikian keberatan tim penasehat hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima,” ujar hakim.

Selain itu, hakim juga memiliki pertimbangan lainnya, yakni ketidaksetujuan hakim terkait keberatan Novanto terkait soal adanya kerugian negara yang tidak pasti pada perkara ini. “Terdapat keberatan tersebut majelis tidak sependapat,” kata hakim.

Sementara, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ferry Juliantono beberapa waktu lalu dalam sebuah diskusi di bilangan Jakarta, Sabtu 16 Desember 2017 mengatakan bahwa, Novanto memiliki kesempatan untuk mengungkapkan nama-nama pihak yang menerima aliran dana korupsi KTP-el tersebut.“Bolanya ada di Pak Setya Novanto. Pilihannya tinggal dia diam atau nekat,” katanya seperti dikutip Tempo.co, 16 Desember 2017.

Ferry menilai, jika Novanto tetap irit bicara tanpa mau berterusterang, maka hasil yang akan didapatkan adalah antiklimaks. Sebab hanya keterlibatan Novanto saja yang paling menyakinkan daripada nama-nama besar lainnya yang selama ini disangkutpautkan dengan korupsi tersebut. “Kasus ini akan berakhir hanya pada hukuman yang sangat ringan karena Pak Setya Novanto konsisten irit bicara,” kata dia. ***