Sulitnya Imbangi "Big Scheme" Pasar Tanah Abang ala Anies-Sandiaga

Rabu, 3 Januari 2018 | 08:42 WIB
0
527
Sulitnya Imbangi "Big Scheme" Pasar Tanah Abang ala Anies-Sandiaga

Seperti kita ketahui bersama bahwa Pemprov DKI Jakarta melalui Anies Baswesan dan Sandiaga Uno telah menetapkan solusi penataan Pasar Tanah Abang pada 22 Desember 2017 lalu. Lingkup penataan tersebut mencakup pemberlakuan rekayasa lalu lintas dengan menutup dua jalur yang ada di depan Stasiun Tanah Abang (Jl. Jati Baru) secara berkala pada pukul 08.00-18.00 WIB.

Satu jalur digunakan untuk Pedagang Kaki Lima (PKL), dan satu jalur lagi digunakan khusus untuk jalur bus Transjakarta Explorer berikut disediakannya enam shelter Transjakarta yang akan beroperasi dengan mengelilingi seluruh kawasan Pasar Tanah Abang.

Dari awal prihal penataan kawasan Pasar Tanah Abang ini memang menyita banyak perhatian, fokus pembahasan bukan hanya pada permasalahan yang terjadi di sana seperti kesemerawutan hadirnya PKL di bahu jalan, pungutan liar oknum aparat, premanisme, serta tindak kejahatan. Melainkan penataan kawasan Pasar Tanah Abang yang diharapkan menjadi role model solusi terhadap permasalahan PKL di wilayah lain di Jakarta.

[irp posts="6762" name="Memanusiakan Tanah Abang dan Janji Politik yang Menantang"]

Akan tetapi belum genap seminggu penataan kawasan Pasar Tanah Abang ini menuai polemik. Penutupan jalan di depan Stasiun Tanah Abang guna kegiatan PKL dinilai melanggar peraturan dan fungsi akan jalan yang tertera dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006.

Di luar konteks penataan ini merupakan upaya Pemprov DKI Jakarta memfasilitasi para pedagang, meningkatkan pendapatan para PKL, serta lonjakan pengguna Transjakarta Explorer, bahwa kesemua manfaat tersebut bertolak belakang dengan imbas yang disebabkan seperti keluhan para pengguna kendaraan bermotor, supir angkutan umum, dan pengusaha ekspedisi prihal penutupan jalan Jati Baru, penurunan omset para pemilik kios, serta memperparah kemacetan yang terjadi di area sekitarnya.

Secara garis besar sulit mengimbangi analogi yang dimiliki Anies-Sandiaga, karena solusi yang dikemukakan hanya menitikberatkan penataan PKL tanpa mengindahkan bahwa kebijakan itu melanggar peraturan dan tidak memikirkan dampak yang diakibatkan terhadap lingkup sekitarnya.

Hal ini pun selayaknya tertuang kepada bagaimana Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menyingkapi penyelesaian pedagang di Blok G Pasar Tanah Abang. Kawasan yang semula diperuntukkan untuk menampung para PKL agar mendapatkan tempat yang layak untuk berdagang dan tidak mengganggu ketertiban umum dengan berdagang di bahu jalan justru direncanakan Blok G tersebut akan dirobohkan karena tidak layak.

Ke depannya Blok G (baru) akan terkoneksi dengan Stasiun Tanah Abang dengan menggunakan akses jalur atas seperti jembatan layang (Sky Bridge). Kemudian PKL yang berjualan di sepanjang jalan Jati Baru akan dipindahkan ke Sky Bridge menuju Blok G dan terhubung dengan Pasar Tanah Abang Blok F, A dan B.

Namun dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta masih terkendala dikarenakan belum tersedianya lahan Tempat Penampungan Sementara (TPS) guna merelokasi 900 pedagang aktif dan non aktif yang berjualan di Blok G.

[irp posts="6670" name="Inilah Proyek Percontohan Yang Keren di Tanah Abang"]

Layaknya penataan PKL Pasar Tanah Abang dengan menutup dua jalur yang ada di depan Stasiun Tanah Abang yang menuai polemik, mencakup perencanaan Blok G Pasar Tanah Abang pun nampaknya akan menimbulkan kontradiksi. Hal pertama mengenai belum tersedianya lahan TPS bagi pedagang di Blok G, maka akan menimbulkan pertanyaan lahan manakah atau milik siapa yang akan digunakan mengingat relokasi ini pastinya mengikutsertakan pihak lain yang lahannya disewa oleh Pemprov DKI Jakarta.

[caption id="attachment_7125" align="alignleft" width="504"] PKL Tanah Abang (Foto: Suratkabar.id)[/caption]

Tak luput pula mempertanyakan apakah para pedagang Blok G bersedia direkolasi serta bagaimana proses relokasi tersebut berlangsung (proses hukum atau sisi legalitas).

Kemudian prihal relokasi ini mau tidak mau juga ada kaitannya dengan apakah lokasi yang baru sesuai harapan para pedagang Blok G? Semisal lokasinya strategis, menarik minat pengunjung, dan merupakan sentral keramaian sehingga dagangan mereka laku. Lalu bagaimana tindak lanjut ke depannya akan relokasi ini jika pembangunan Blok G selesai?

Permasalahan utama apabila lokasi relokasi yang pedagang tempati dinilai baik dari sisi ekonomi, maka Pemprov DKI Jakarta harus kembali menata dan meyakinkan pedagang yang direlokasi untuk beralih ke Blok G baru. Bukankah itu menjadikan sebuah pekerjaan kembali? Kemungkinan besar pedagang akan menolak dengan dalih mereka sudah memiliki pelanggan setia di tempat relokasi dan meragukan Blok G yang baru.

Hal selanjutnya adalah perihal waktu. Membangun skema yang Anies-Sandiaga gambarkan akan "big scheme" Pasar Tanah Abang pasti membutuhkan proses atau waktu yang relatif lama. Masalah-masalah baru kemungkinan besar timbul dari apa yang mereka telah rencanakan selayaknya apa yang terjadi penutupan jalan Jati Baru.

Apakah mereka akan tutup mata akan hal tersebut dan apakah mereka mampu menyelesaikan konteks masalah awal dari kawasan Pasar Tanah Abang atau masalah ini akan turun menurun sebagai pekerjaan rumah kepemimpinan Jakarta yang baru kelak?

Menjadi pertanyaan apakah Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akan terus menerus bernaung pada lingkaran besar tanpa memperhatikan hal-hal terkecil namun krusial?

***