Ketika Israel Memanipulasi Sejarah di Jerusalem

Sabtu, 30 Desember 2017 | 05:37 WIB
0
480
Ketika Israel Memanipulasi Sejarah di Jerusalem

Sebagai seorang Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menganggap perjalanannya ke "Tembok Ratapan," sebagai perjalanan bersejarah. Setelah itu, ia mendeklarasikan Jerusalem sebagai ibukota Israel. Dalam kenyataannya, Donald Trump telah membuat sejarah kelam bagi penduduk Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Usaha perdamaian antara Palestina-Israel, atau lebih mendekatkan ke arah kemerdekaan bangsa Palestina untuk merdeka dan berdaulat, kembali menjadi mentah setelah Donald Trump memperlihatkan sikap tidak seperti Presiden AS sebelumnya. Memang benar bahwa pendeklarasian ini sudah disetujui Kongres AS dan para Presiden AS sebelumnya selalu menunda kapan harus melakukannya.

Saya melihat ini merupakan skenario besar dari AS dan Inggris untuk memberi peluang lebih besar kepada penduduk Yahudi memiliki tanah air sendiri meski untuk mendirikan sebuah negara, penduduk Yahudi mengambil secara tidak sah tanah Palestina. Itu sudah terlihat sejak Abad VII, ketika bangsa Arab menguasai wilayah yang dikuasai Yahudi.

[irp posts="5461" name="Donald Trump Cemas atas Bersatunya Fatah dan Hamas"]

Bangsa Seljuk dan Ottoman mendudukinya mulai Abad XI. Akibatnya kelompok Yahudi lebih banyak masuk ke wilayah Palestina yang dulunya memiliki wilayah sangat luas.

Setelah Perang Dunia II, bangsa Arab Palestina memperoleh perlakuan tidak adil dari negara pemenang perang, khususnya AS dan Inggeris. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No 181 tanggal 29 November 1947, wilayah Palestina yang luas itu dipecah menjadi tiga bagian.

Kaum Yahudi memperoleh 56 persen dari seluruh wilayah Palestina. Inilah yang dikatakan perampasan wilayah Palestina itu. Kemudian Arab Palestina si pemilik wilayah, malah memperoleh 42 persen. Dua persen lagi, termasuk kota tua Jerusalem masuk dalam pengawasan internasional.

Saya semakin tidak paham dengan pembagian wilayah oleh PBB ini. Yaitu tidak adil. Penduduk Palestina yang awalnya memiliki wilayah sangat luas, ternyata oleh PBB secara tidak adil. Sekarang wilayah dua persennya lagi termasuk Jerusalem diakui Presiden Donald Trump sebagai ibukota Israel.

[irp posts="5812" name="Status Jerusalem: Donald Trump Sedang Membuat Ribuan “Hot Spot”"]

Setelah merdeka tahun 1948, Israel malah terus memperluas wilayahnya dengan mendirikan pemukiman baru untuk penduduk Yahudi di wilayah Palestina. Bayangkan, hal itu terus terjadi sejak 1948 hingga sekarang. Adalah wajar jika wilayah Arab Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza pun ada dalam pengawasan Israel.

Buktinya, ketika Menlu RI Retno Marsudi tahun lalu ingin pergi ke Tepi Barat dari Yordania, Israel tidak mengizinkan. Kita pun bertanya-tanya mengapa Israel melarang? Bukankah itu wilayah Palestina?

Tentang Jerusalem sebagai ibukota Israel pun demikian. Pernyataan Trump lebih berat mengikuti loby Yahudi di AS. Boleh jadi sebagaimana diperlihatkan kepada dunia baru-baru ini, AS selalu menggunakan hak vetonya jika kepentingannya terganggu.

Bagaimana dunia bisa adil jika hanya lima negara yang memilikinya dan kemudian  melakukan hal yang bertentangan dengan Piagam PBB itu sendiri?

***