Pilkada Jawa Barat dan Karma Politik Para Kandidatnya

Jumat, 29 Desember 2017 | 16:01 WIB
0
518
Pilkada Jawa Barat dan Karma Politik Para Kandidatnya

Menarik sesungguhnya mengikuti dinamika kepolitikan dalam Pilkada Jabar 2018, terutama soal karma politik yang dialami oleh sebagian para kontestannya. Sebut saja salah seorang kontestan yang kerap dijagokan menjadi “yang terkuat” sebagaimana dirujuk oleh banyak lembaga survei, yaitu  Ridwan Kamil (RK).

RK semakin lama malah semakin redup pamor politiknya, bahkan ditinggalkan parpol pengusungnya sendiri. Golkar, yang bersama-sama dengan Nasdem, PKB, dan PPP kini malah menarik dukungannya dari walikota Bandung ini dan sudah mempersiapkan calon kontestan dari internal kadernya sendiri.

Begitupun Deddy Mizwar, yang semula didukung PKS, kini malah harus rela menelan pil pahit, kehilangan dukungan dari partai bulan sabit kembar ini. Apakah ini yang dimaksud oleh adanya karma politik?

Sebuah “karma” tentu saja merupakan keadaan sebab-akibat atau timbal balik yang dialami manusia ketika hidup di dunia, entah itu karena politik, hubungan-hubungan sosial, atau kegiatan perekonomian, yang keseluruhannya terdapat hukum kausalitas seiring dengan perjalanan hidup seseorang.

Ketika dikaitkan dengan frasa “politik”, maka karma bisa saja disebabkan oleh keberadaan seseorang yang terlampau yakin akan popularitas dirinya, padahal, popularitas tidak selalu linier dengan elektabilitas dalam sebuah kontestasi politik.

Popularitas RK akibat ulah lembaga survei yang terlalu dini mempromosikannya, belakangan justru berbalik, beberapa parpol mencabut dukungan. Tentu bukan karena popularitas RK menurun sebagaimana rilis lembaga survei, namun lebih banyak diwarnai oleh suatu karma politik yang mendera dirinya.

Parpol pendukung RK yang sebelumnya tampak yakin mendukung dirinya, kini satu-persatu mulai goyah, terutama setelah Golkar mengalihkan dukungannya terhadap Dedi Mulyadi.

RK yang dulu digadang-gadang oleh banyak parpol karena kesuksesannya menjadi walikota Bandung, tak luput menjadi ajang sesumbar para elit parpol pendukungnya. Kita tentu masih ingat, ketika para elit Golkar menyatakan dukungannya terhadap RK yang dipasangkan dengan Daniel Muttaqien secara meyakinkan, akan sukses mendulang suara di wilayah Pantura, kini kandas sudah.

[irp posts="6866" name="Melihat Kemungkinan Jenderal TNI vs Jenderal Polisi Bertarung di Jabar"]

Pasca lengsernya Setya Novanto dari ketua umum Golkar, kini partai beringin itu mengalihkan dukungannya kepada Dedi Mulyadi yang kemungkinan akan disambut baik oleh PDIP yang memang sudah sejak awal kepincut Bupati Purwakarta ini.

Menariknya, sesumbar para elit Golkar juga sama dilakukan oleh elit partai berlambang Ka’bah yang secara resmi menyatakan dukungannya kepada RK tetapi dengan memasangkan Uu Ruzhanul Ulum, sebagai bakal cawagub dari internal partainya. Dukungan resmi masing-masing elit parpol ini seakan memberikan nuansa “klaim” atas kemenangannya sendiri-sendiri, bukan berdasar pertimbangan “koalisi sehati” yang justru lebih dapat memantapkan beragam unsur koalisi politik didalamnya dalam menangguk “kemenangan bersama”.

Itulah kenapa, karma politik ini nampaknya menimpa RK, akibat sesumbar para elit parpol pendukungnya, termasuk keyakinan dirinya terhadap  popularitasnya yang moncer selama menjadi walikota Bandung.

Karma, tentu saja tidak melulu berkonotasi negatif, karena karma politik secara positif justru sedang menimpa Dedi Mulyadi. Dedi yang oleh Golkar dulu “dibuang” kini semakin “disayang”.

Setelah nahkoda Golkar diambil alih oleh Airlangga Hartarto, dukungan parpol beringin ini tak lagi diberikan kepada RK, tetapi dialihkan untuk membesarkan kadernya sendiri.

Suara elit pusat partai berlambang beringin ini, tentu saja mengikuti suara elit daerahnya, yang menginginkan Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi, maju sebagai cagub di Pilkada Jabar mendatang. Penarikan dukungan Golkar atas RK yang dialihkan kepada Dedi, juga bisa saja imbas dari akibat “karma politik”.

Kontestan lain di Pilgub Jabar 2018, Deddy Mizwar juga terdampak karma politik, di mana dirinya ditinggalkan parpol pengusungnya, PAN dan PKS. Kedua parpol ini nampaknya terdampak “karma politik” di Pikada Jakarta tahun lalu yang sukses menuai kemenangan atas pasangan Anies-Sandiaga yang mengalahkan petahana, sehingga chemistry politiknya tentu saja bersama Gerindra dan sulit membuka koalisi dengan parpol lainnya.

Ketiga parpol—Gerindra, PKS, dan PAN—sepakat membentuk “koalisi reuni” di Pilgub Jabar, mengusung Sudrajat bersama Ahmad Syaikhu seraya  “mencampakkan” Deddy Mizwar yang entah bagaimana nasibnya di Pilkada Jabar nanti, karena dirinya hanya mendapat dukungan resmi dari Partai Demokrat.

[irp posts="6843" name="Maaf, Deddy Mizwar Lebih Pas Calon Gubernur, Dedi Mulyadi Wakil Saja!"]

Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi, nampaknya juga mempunyai riwayat kepolitikan di Pilkada Jabar yang kurang mengenakkan, karena keduanya sama-sama “ditinggalkan” dan “dicampakkan” parpol pengusungnya, bahkan nama yang disebut terakhir justru seperti di “zalimi” oleh parpol yang justru telah membesarkan dirinya di Jawa Barat.

Agak aneh, ketika Golkar justru memilih RK seakan menunjukkan arogansi politiknya dengan tak sedikitpun mempertimbangkan kader internalnya sendiri. Namun, Dedi Mulyadi saat ini bisa sedikit lega, karena karma politik itu justru berlaku, di mana Golkar malah berbalik mendukung dirinya setelah sebelumnya ia dizalimi partainya sendiri.

Nama Dedi Mulyadi dan Deddy Mizwar, perlahan tapi pasti sepertinya memiliki “kesamaan” baik dilihat dari imbas “karma politik” maupun kedekatan aliansi visi dan misi parpol pendukungnya. Peluang besar menanti keduanya, tak penting mana yang harus menjadi cagub dan cawagub, karena mekanisme politik partai-lah yang paling berhak menentukannya.

Dukungan terbesar dipastikan datang dari Golkar dan Demokrat, hanya tinggal menunggu PDIP yang sudah sejak lama melirik ketokohan Dedi Mulyadi. Tidak menutup kemungkinan, jika ada parpol lain yang mengalihkan dukungannya kepada dua kandidat ini, terlebih karena sudah terbentuk “koalisi reuni” yang mengklaim ingin mengulang kemenangan seperti di Pilkada Jakarta tahun lalu.

Karma politik di Pilkada Jabar nampaknya berlaku, dirasakan oleh para kandidatnya yang dipastikan akan bertarung dalam memperebutkan tiket menjadi orang nomor satu di Tanah Pasundan itu. Jabar nampaknya menjadi pertaruhan politik para elit parpol, utamanya guna memuluskan dan mendulang suara menuju Pilpres 2019 mendatang. Parpol pengusung juga nampaknya berkeinginan mengulang “karma politik”, melihat dari fenomena koalisi yang sedang dibangunnya kali ini.

Gerindra, PKS, dan PAN tentu saja seakan memperteguh koalisi abadi-nya setelah sukses mendulang kemenangan di Pilkada Jakarta. Golkar dan PDIP, tentu saja tak mau ketinggalan, menyelaraskan visi dan misinya sebagai parpol pendukung pemerintah, membentuk poros tersendiri.

Ihwal parpol lainnya bisa saja mengikuti, kepada siapa dukungan politiknya dilabuhkan mengingat karma politik itu pasti tetap berlaku. Tidak menutup kemungkinan, PKB sebagai parpol pendukung RK di Pilkada Jabar bakal mengalihkan dukungannya kepada Dedi Mulyadi, mengingat kedekatan Dedi dengan dunia pesantren dan warga Nahdliyyin akan menjadi modal politik Dedi yang akhirnya menggoda PKB agar mau berpindah dukungan kepadanya.

Karma politik di Pilkada Jabar pada akhirnya, mengubah seluruh peta politik yang ada bukan semata-mata karena politik itu dinamis, tetapi karma sepertinya juga ikut menjadi “penentu” pribadi para kontestannya. Cukup tepat rasanya, jika karma politik lebih mewarnai Pilkada Jabar daripada pertimbangan politik-keekonomian yang selama ini menjadi pertimbangan utama parpol dalam setiap perhelatan politik pilkada.

***