Sewa Rahim untuk LGBT, Alternatif Kehamilan yang Tak Manusiawi

Kamis, 28 Desember 2017 | 04:51 WIB
0
1603
Sewa Rahim untuk LGBT, Alternatif Kehamilan yang Tak Manusiawi

Sewa rahim (Surrogate Mother) atau jika ditransliterasi Indonesia menjadi surogasi adalah proses penanaman ovum seorang wanita yang subur beserta sperma suaminya yang sah ke dalam rahim wanita lain dengan sebuah perjanjian.

Sewa rahim mencuat ke publik setelah presenter Jeremy Tety mengucapkan bahwa pengidap lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) tetap bisa memiliki keturunan lewat proses penyewaan rahim.

"Siapa yang bilang sejenis tidak bisa menghasilkan keturunan? Iya nggak? Kalau di luar bisa sewa rahim, maaf ya, mungkin di Indonesia belum bisa," katanya dalam acara Debat yang tayang di TV One pada 6 Juli 2015. Video itu ramai diperbincangkan di linimasa media sosial.

Berangkat dari definisi di atas maka sudah tentu pengidap LGBT, bagaimanapun caranya tak bisa memiliki anak dari pasangannya. Karena proses pembuahan terjadi ketika sperma bertemu dengan sel telur. Meskipun menyewa rahim, secara biologis anak tersebut akan mengandung genetika perempuan yang disewanya.

Wanita normal mana yang tega mengorbankan jiwa dan raganya untuk pasangan yang tak jelas stastusnya? Belum lagi si buah hati tak bisa dimilikinya? Jeremy, dan teman-teman pengidap LGBT perlu belajar lebih jauh soal anak dan pengasuhan. Melahirkan manusia bukan soal sperma, rahim, dan kebutuhan seksual lainnya.

Alih-alih solusi, surogasi jutsru tak manusiawi. Banyak masalah menyertai praktiknya; pelanggaran etika, eksploitasi perempuan,komersialisasi rahim yang  rawan pelanggaran Hak Asasi Manusia, mafia sperma, kerentanan psikologis dan sosial seorang ibu dan bayi yang dilahirkan, hingga benturan ketentuan agama.

Di India praktik surogasi banyak menimbulkan pengalaman miris. Rahim wanita dikomersialisasi dan dieksploitasi. Penghasilan rendah mendorong wanita di sana rela melakukan apa aja, termasuk menyewakan rahimnya. Banyak wanita penyewa rahim mengalami gangguan psiklogis terkait bayi yang dikandungnya.

Anandi Chelappan, wanita penyewa rahim  kerap menangis pada bulan pertama pasca-melahirkan bayi “titipan”. Ikatan emosional dengan bayinya tak mudah dilupakan. Ia pernah memohon kepada dokter untuk melihat bayinya, tetapi tidak diizinkan. Sungguh memilukan.

[irp posts="6664" name="LGBT: Angka-angka, Gerakan, dan Proyeksi ke Depan"]

Selama proses surogasi, Anandhi tinggal di sebuah asrama. Keluarganya hanya diizinkan berkunjung sebulan sekali. "Salah seorang anakku berusia empat tahun kala itu. Dia bertanya apakah aku akan punya bayi. Yang kukatakan adalah bahwa aku sedang sakit, itulah mengapa perutku membengkak dan harus dirawat di rumah sakit," jelasnya dikutip liputan6.com.

Sumathi, penyewa rahim lainnya mengaku kesulitan untuk tidur selama tiga bulan pasca-melahirkan. Ingatannya terus melayang-layang ke bayi itu bahkan tak jarang ia harus mengonsumsi obat-obatan untuk menenangkan diri.

Setiap 4 November, Sumathi dan keluarganya merayakan ulang tahun sang bayi. Dia berharap bayi yang pernah dititipkan di rahimnya baik-baik saja. Ia tak pernah bertemu orangtua bayi dan tak tahu siapa mereka. "Aku bahkan tidak tahu bayi yang kulahirkan perempuan atau laki-laki!," jelas Sumathi.

Tribbunnews.com mengutip Families Through Surrogacy, organisasi surogasi nirlaba internasional, memperkirakan biaya rata-rata di berbagai negara: Amerika $100.000 (sekitar 1,4 miliar rupiah), India $47.350 (sekitar 676,4 juta rupiah), Thailand  $ 52.000 (sekitar 742,8 juta rupiah), Ukraina $ 49.950 (sekitar 713,5 juta rupiah). Georgia $ 49.950 (sekitar 713,5 juta rupiah). Di  Meksiko $ 45.000 (sekitar 642,8 juta rupiah). Keuntungan besar menjadikan sewa rahim bisnis segar

Indonesia sudah tepat melarang sewa rahim lewat UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan. Thailand yang terkenal sebagai pusat prostitusi dunia, LGBT pun marak di sana menetapkan sewa rahim sebagai tindakan kriminal pada Agustus 2015.

***