Ketika kita mendengar bahwa kemarin Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk mengkriminalisasi LGBT dan pasangan kumpul kebo, banyak dari kita yang kemudian rame sekali mengatakan “rezim ini melegalkan LGBT/kumpul kebo!”
Sebagian lain malah berteriak “Ini hari yang bagus untuk HAM!” Padahal, kalau kita mempelajari lagi cakupan fungsi dan kewenangan MK, mungkin kita akan mendapatkan jawaban yang berbeda.
Sebagai pembuka, mungkin perlu disampaikan dulu bahwa tidak ada legalisasi LGBT (khusus Transeksual ada syaratna) atau kumpul kebo. Hanya saja, tidak ada yang mengkriminalisasi mereka secara categorical (baru pidana kalau misalnya kepada anak di bawah umur atau dengan paksaan). Sudah lama seperti ini, sehingga tidak ada cerita legalisasi apalagi oleh MK yang literally baru kemarin ngomong.
Sesuai Pasal 24C UUD 1945, MK berwenang salah satunya untuk menguji sebuah Undang Undang (UU) terhadap UUD 1945. Maksudnya adalah ketika ada yang merasa bahwa sebuah UU (baik sebagian maupun seluruhnya) bertentangan dengan UUD 1945 maka ia bisa mengajukannya ke MK untuk membatalkannya. Jika MK berpendapat bahwa UU tersebut melanggar UUD 1945 alias ‘inkonstitusional’, maka UU tersebut (atau sebagian pasalnya) bisa dibatalkan
Nah salah satu bid’ah yang dilakukan oleh MK adalah bahwa ia bisa memutus sebuah UU (atau sebagian pasalnya) adalah conditionally constitutional/inconstitutional, alias ‘konstitusional/inkonstitusional bersyarat’.
Maksudnya adalah bahwa sebuah pasal UU tidak serta merta dibatalkan, tapi sebuah makna atau penafsiran tertentu dipaksakan kepadanya melalui putusan MK. Misalnya adalah dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 kasus Machicha Mochtar soal anak luar kawin.
[irp posts="6335" name="Surat Terbuka Untuk Saudaraku Pengidap LGBT"]
Dalam putusan tersebut, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 43(1) berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Oleh MK, diputus bahwa pasal ini konstitusional bersyarat. Khususnya, pasal ini konstitusional hanya bila ditafsirkan seperti ini:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” (Putusan hlm 37, Amar Putusan butir 3).
Jika ditafsirkan lain maka inkonstitusional.
Nah dalam kasus LGBT dan kumpul kebo ini, silahkan donlot Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016, lalu langsung merujuk pada Pertimbangan Mahkamah terhadap pokok perkara, khususnya butir [3.12] dan seterusnya (halaman 430 dst).
Ternyata sulit ditemukan ada justifikasi terhadap LGBT dan kumpul kebo, apalagi mengatakan bahwa itu harus dilegalisasi!
Kebetulan prediksi saya dulu tidak meleset, karena memang benar. MK mempertimbangkan bahwa permohonan untuk mengkriminalisasi LGBT dan Kumpul Kebo adalah memperluas pasal dengan terlalu jauh sehingga membentuk rumusan pidana yang baru. Maka dari itu, ini sudah bukan lagi termasuk ke dalam cakupan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Terlebih lagi, ini adalah konteks hukum pidana. Dalam hukum pidana, berlaku asas yang disebut dengan Asas Legalitas. Menurut asas ini, tidak boleh mempidana seseorang kecuali dengan hukum yang telah dibuat sebelum terjadinya perbuatan pidana tersebut. Memang putusan MK ini adalah dianggap setara dengan UU, tapi dalam hal membatalkan atau setidaknya barangkali dalam menafsirkan. Kalau untuk membuat norma baru, apalagi norma hukum pidana, ini tidak bisa dilakukan oleh MK.
[irp posts="6199" name="Mahkamah Konstitusi: Untuk Rakyat atau Untuk Kaum LGBT?"]
Karena itulah, MK mengatakan bahwa perkara ini adalah ranah kewenangan legislator untuk merumuskannya. Ini hanya masalah forum saja, yang memang ya bisa dikatakan ‘masalah teknis’. Ini adalah logika yang sama misalnya kenapa sidang tilang kendaraan tidak bisa dilakukan di Pengadilan Agama, kenapa sidang kasus korupsi tidak bisa di Pengadilan TUN, kenapa nggak bisa gugat cerai di International Criminal Court, dan lain sebagainya.
Tentu hal ini tidak disetujui oleh sebagian hakim MK. Sebagaimana kita ketahui, dari sembilan hakim ternyata keputusannya tidak mutlak melainkan 5 vs 4, artinya ini memang berat sekali kasusnya (silahkan lihat putusan hlm 453 dst untuk pertimbangan hakim yang berpendapat berbeda). Jadi secara akademis perdebatan bisa panjang.
Terlepas dari kita setuju atau tidaknya terhadap mayoritas MK, tetapi setidaknya ini bukan masalah apakah para hakim merasa bahwa LGBT dan kumpul kebo adalah perbuatan yang baik dan harus dilegalisasi.
Semoga penjelasan ini bisa membantu semuanya memahami masalah.
***
Tulisan ini pernah dimuat di republika.co.id
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews